ANALISIS UKURAN EPIDEMIOLOGIS DEMAM BERDARAH DENGUE DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2024
Ditujukan Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Epidemiologi
Muhammad Al Fauzan (140610230011)
Hugo Rishad Evansyah
(140610230088)
Muhammad Yusril Hidayat (140610230089)
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan situasi DBD tahun 2024 melalui tiga ukuran epidemiologis utama, yaitu prevalensi per 100.000 penduduk, Case Fatality Rate (CFR), dan Prevalence Odds Ratio (POR). Penelitian menggunakan desain cross-sectional dengan data sekunder dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat yang mencakup 27 kabupaten/kota. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kota Sukabumi memiliki prevalensi tertinggi (440,70 per 100.000 penduduk), sedangkan Kabupaten Indramayu memiliki prevalensi terendah (kurang dari 40 per 100.000). Nilai CFR tertinggi ditemukan di Kota Cimahi (1,41%) dan terendah di Kabupaten Pangandaran (0%). Sebagian besar wilayah memiliki nilai POR mendekati 1, yang menunjukkan risiko infeksi relatif serupa antara laki-laki dan perempuan, meskipun terdapat variasi kecil di beberapa daerah seperti Kota Cirebon (1,26) dan Kota Banjar (0,70). Visualisasi peta tematik dan dashboard interaktif membantu memperjelas distribusi spasial serta mempermudah interpretasi hasil analisis. Hasil penelitian ini menegaskan perlunya kebijakan pengendalian DBD berbasis bukti, dengan fokus pada wilayah yang memiliki prevalensi dan CFR tinggi. Penguatan surveilans, peningkatan kapasitas layanan kesehatan, dan pengendalian vektor secara terpadu menjadi langkah strategis dalam menekan angka kesakitan dan kematian akibat DBD di Jawa Barat.
Kata kunci: DBD, prevalensi, CFR, POR, epidemiologi
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) remains a major public health problem in Indonesia, including in West Java Province. This study aims to describe the epidemiological situation of DHF in 2024 through three main indicators: prevalence per 100,000 population, Case Fatality Rate (CFR), and Prevalence Odds Ratio (POR). The study employed a cross-sectional design using secondary data from the West Java Provincial Health Office, covering 27 districts and cities. The analysis showed that Sukabumi City had the highest prevalence (440.70 per 100,000 population), while Indramayu Regency had the lowest (less than 40 per 100,000). The highest CFR was found in Cimahi City (1.41%), and the lowest in Pangandaran Regency (0%). Most regions had POR values close to 1, indicating a relatively similar infection risk between males and females, although slight variations were found in several areas such as Cirebon City (1.26) and Banjar City (0.70). Thematic maps and interactive dashboards were used to visualize spatial distribution and facilitate data interpretation. The findings highlight the need for evidence-based DHF control policies, with a focus on areas with high prevalence and CFR values. Strengthening surveillance systems, improving clinical service capacity, and implementing integrated vector control programs are strategic efforts to reduce DHF morbidity and mortality in West Java.
Keywords: dengue, prevalence, CFR, POR, epidemiology
Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga kini masih menjadi salah satu tantangan utama dalam bidang kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat [12]. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penularannya sangat dipengaruhi oleh interaksi antara agen penyakit, manusia sebagai inang, serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor tersebut [2].
Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang besar dan tingkat kepadatan permukiman yang tinggi, sehingga memiliki potensi penularan DBD yang relatif tinggi pula [6]. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2024, kasus DBD tercatat di seluruh 27 kabupaten dan kota dengan jumlah kasus serta kematian yang masih cukup tinggi [3]. Kondisi ini menegaskan pentingnya dilakukan analisis epidemiologis secara menyeluruh untuk memahami persebaran penyakit, tingkat keparahan, dan perbedaan risiko antar kelompok penduduk.
Untuk menggambarkan situasi DBD secara komprehensif, penelitian ini menggunakan tiga indikator epidemiologis utama, yaitu prevalensi per 100.000 penduduk, case fatality rate (CFR), dan prevalence odds ratio (POR) [7]. Prevalensi menunjukkan besarnya beban kasus pada populasi, CFR menggambarkan tingkat keparahan penyakit serta efektivitas penanganan klinis, sedangkan POR digunakan untuk menilai perbandingan peluang terinfeksi antara laki-laki dan perempuan [1].
Permasalahan utama dalam penelitian ini berfokus pada pola epidemiologis DBD di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2024. Penelitian ini berupaya menjawab seberapa besar prevalensi DBD per 100.000 penduduk di setiap kabupaten/kota dan juga nilai case fatality rate (CFR) pada masing-masing wilayah. Selain itu, penting untuk mengetahui bagaimana nilai prevalence odds ratio (POR) antara laki-laki dan perempuan dapat mencerminkan adanya perbedaan risiko infeksi berdasarkan jenis kelamin.
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dan menganalisis prevalensi DBD per 100.000 penduduk di tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, menilai CFR sebagai ukuran tingkat keparahan penyakit, serta menghitung POR antara laki-laki dan perempuan sebagai indikator perbedaan risiko infeksi. Selain itu, hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan peta tematik untuk menunjukkan variasi geografis penyebaran penyakit di seluruh wilayah.
Implikasi dari penelitian ini adalah memberikan dasar ilmiah yang kuat bagi pengambil kebijakan, khususnya pemerintah daerah dan instansi kesehatan, dalam menetapkan prioritas intervensi pengendalian DBD di tingkat kabupaten/kota. Hasil analisis ini juga diharapkan dapat memperkuat sistem surveilans epidemiologi daerah, meningkatkan ketepatan sasaran program pemberantasan sarang nyamuk, serta menjadi acuan dalam penyusunan strategi penanganan kasus untuk menekan angka kematian akibat DBD di Provinsi Jawa Barat secara berkelanjutan.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami pola penyebaran DBD dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Bhatt et al. (2013) menunjukkan bahwa wilayah Asia Tenggara menjadi pusat utama penyebaran DBD dengan insidensi tertinggi di dunia [4]. Gubler (2011) menyatakan bahwa urbanisasi dan mobilitas penduduk berkontribusi pada peningkatan transmisi virus dengue di kawasan tropis [10]. Kyle dan Harris (2008) menambahkan bahwa faktor lingkungan dan kepadatan vektor berperan besar terhadap persistensi endemisitas [14].
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023), peningkatan kasus DBD sering terjadi pada musim hujan karena kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular [22]. Secara epidemiologis, terjadinya suatu penyakit menular dapat dijelaskan dengan model segitiga epidemiologi (epidemiologic triangle) yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu agent (agen penyebab penyakit), host (inang yang rentan), dan environment (lingkungan yang memungkinkan penularan). Interaksi antara ketiga faktor ini menentukan munculnya dan penyebaran penyakit di suatu populasi [21].
Penularan virus dengue terjadi secara tidak langsung, di mana virus dengue (agent) berpindah dari satu manusia ke manusia lain melalui perantaraan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor. Lingkungan yang memiliki banyak genangan air bersih, suhu hangat, dan kelembapan tinggi mendukung perkembangbiakan nyamuk, sehingga meningkatkan risiko penyebaran DBD.
Chien dan King (2020) melaporkan bahwa perbedaan jenis kelamin dapat memengaruhi risiko terpapar DBD, di mana laki-laki lebih rentan karena aktivitas di luar rumah lebih tinggi. Lee et al. (2023) juga menemukan perbedaan tingkat keparahan antara laki-laki dan perempuan [15]. Secara nasional, Kementerian Kesehatan RI (2024) menunjukkan bahwa kasus DBD masih terjadi setiap tahun dengan variasi antarprovinsi, dan Jawa Barat menjadi salah satu kontributor terbesar [6]. Laporan ini juga menggarisbawahi pentingnya indikator prevalensi dan CFR untuk menilai keberhasilan program pengendalian.
Dalam konteks epidemiologi kuantitatif, ukuran seperti prevalensi, Case Fatality Rate (CFR), dan Prevalence Odds Ratio (POR) digunakan untuk menggambarkan besarnya masalah kesehatan dan perbedaan risiko antar kelompok. Ukuran-ukuran ini membantu menentukan tingkat beban penyakit, tingkat keparahan, serta perbandingan risiko antar jenis kelamin.
Penelitian lokal oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2024) menunjukkan adanya ketimpangan beban penyakit antar kabupaten/kota, baik dari sisi jumlah kasus maupun tingkat kematian [3]. Pendekatan analisis spasial dan indikator seperti POR direkomendasikan untuk mengevaluasi disparitas risiko berdasarkan jenis kelamin atau wilayah [8].
Dari sisi metodologi, desain cross-sectional merupakan pendekatan yang paling umum digunakan dalam analisis epidemiologi DBD [1]. Grimes dan Schulz (2002) menjelaskan bahwa desain ini efektif untuk menggambarkan situasi kesehatan masyarakat pada satu periode waktu, meskipun tidak dapat membuktikan hubungan kausalitas [5]. Dengan demikian, penelitian ini mengikuti pendekatan deskriptif cross-sectional berbasis data sekunder untuk menggambarkan prevalensi, CFR, dan POR DBD pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2024 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat [3]. Data tersebut berasal dari laporan surveilans tahunan DBD yang mencakup 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. Informasi yang digunakan meliputi jumlah penduduk, jumlah kasus DBD, dan jumlah kematian akibat DBD berdasarkan jenis kelamin.
Analisis dilakukan secara deskriptif cross-sectional dengan menghitung tiga indikator utama epidemiologi.
Menggambarkan proporsi penduduk yang terinfeksi DBD:
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = (𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝐷𝐵𝐷 / 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘) × 100.000
Nilai ini digunakan untuk membandingkan tingkat beban penyakit antar kabupaten/kota [11].
Menunjukkan proporsi kasus yang meninggal karena DBD:
𝐶𝐹𝑅 (%) = (𝐾𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝐷𝐵𝐷 / 𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝐷𝐵𝐷) × 100%
CFR menjadi indikator keparahan penyakit dan efektivitas penatalaksanaan klinis di setiap wilayah.
Digunakan untuk menilai perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan:
𝑃𝑂𝑅 = (𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖 / (𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖 − 𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖)) ÷ (𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 / (𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 − 𝐾𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛))
Keputusan : ● POR > 1 → laki-laki lebih berisiko
● POR < 1 → perempuan lebih berisiko
● POR ≈ 1 → risiko serupa [9]
Alur kerja penelitian ini dirancang dalam beberapa tahap operasional:
| No | Kabupaten/Kota | JPL | JPP | JKL | JKP | JML | JMP |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
| 1 | BOGOR | 2974061 | 2835729 | 1706 | 1698 | 7 | 16 |
| 2 | SUKABUMI | 1458705 | 1410238 | 368 | 473 | 2 | 2 |
| 3 | CIANJUR | 1350395 | 1288430 | 1013 | 919 | 2 | 9 |
| 4 | BANDUNG | 1953971 | 1885750 | 1812 | 1777 | 17 | 21 |
| 5 | GARUT | 1458601 | 1393276 | 1533 | 1736 | 2 | 12 |
| 6 | TASIKMALAYA | 1016563 | 979496 | 360 | 403 | 3 | 5 |
| 7 | CIAMIS | 651625 | 646158 | 691 | 729 | 4 | 7 |
| 8 | KUNINGAN | 629774 | 610225 | 1053 | 1112 | 3 | 2 |
| 9 | CIREBON | 1263071 | 1225975 | 946 | 887 | 0 | 6 |
| 10 | MAJALENGKA | 689351 | 680218 | 700 | 575 | 8 | 3 |
| 11 | SUMEDANG | 619513 | 607147 | 1080 | 1223 | 2 | 5 |
| 12 | INDRAMAYU | 997493 | 982587 | 271 | 257 | 1 | 1 |
| 13 | SUBANG | 838911 | 838717 | 986 | 943 | 13 | 12 |
| 14 | PURWAKARTA | 539514 | 524418 | 537 | 551 | 6 | 8 |
| 15 | KARAWANG | 1321284 | 1290781 | 1689 | 1590 | 9 | 10 |
| 16 | BEKASI | 1711222 | 1676379 | 1023 | 879 | 2 | 5 |
| 17 | BANDUNG BARAT | 974016 | 937645 | 1803 | 1951 | 5 | 13 |
| 18 | PANGANDARAN | 224519 | 222753 | 439 | 451 | 0 | 0 |
| 19 | KOTA BOGOR | 578674 | 565434 | 1603 | 1514 | 8 | 8 |
| 20 | KOTA SUKABUMI | 186135 | 183961 | 801 | 830 | 2 | 4 |
| 21 | KOTA BANDUNG | 1298551 | 1293212 | 3886 | 3794 | 14 | 17 |
| 22 | KOTA CIREBON | 178969 | 177660 | 334 | 263 | 1 | 1 |
| 23 | KOTA BEKASI | 1285093 | 1287116 | 2220 | 1947 | 17 | 9 |
| 24 | KOTA DEPOK | 1008092 | 1002820 | 2689 | 2351 | 4 | 9 |
| 25 | KOTA CIMAHI | 292434 | 289560 | 397 | 453 | 8 | 4 |
| 26 | KOTA TASIKMALAYA | 391746 | 379093 | 871 | 906 | 1 | 4 |
| 27 | KOTA BANJAR | 105511 | 103806 | 166 | 234 | 3 | 2 |
| 28 | JAWA BARAT | 25997794 | 25318584 | 30977 | 30446 | 144 | 195 |
Berdasarkan data jumlah kasus DBD di 27 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2024, tercatat total 61.423 kasus dengan sebaran yang tidak merata antarwilayah. Kasus tertinggi ditemukan di Kota Bandung dengan 7.680 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah tercatat di Kota Banjar dengan hanya 400 kasus. Rata-rata kasus per kabupaten/kota mencapai sekitar 2.275 kasus, menunjukkan bahwa DBD masih menjadi masalah kesehatan signifikan di sebagian besar wilayah Jawa Barat. Jumlah kasus pada laki-laki (30.977) sedikit lebih tinggi dibandingkan perempuan (30.446), mengindikasikan perbedaan paparan yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan aktivitas di luar rumah. Sementara itu, total kematian akibat DBD mencapai 339 jiwa, dengan distribusi yang juga bervariasi antarwilayah.
Peta persebaran kasus DBD di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Bogor memiliki jumlah kasus yang jauh lebih besar dibandingkan daerah lainnya, terlihat dari warna merah tua pada peta. Sebaliknya, daerah dengan warna yang lebih terang seperti Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Sukabumi menunjukkan jumlah kasus yang relatif rendah. Pola spasial ini menggambarkan bahwa penularan DBD cenderung lebih tinggi di wilayah perkotaan padat dengan mobilitas masyarakat yang besar serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Temuan ini menegaskan perlunya intervensi berbasis wilayah dengan fokus pengendalian pada daerah berisiko tinggi untuk menekan angka kejadian DBD dan meningkatkan efektivitas program pencegahan di tingkat lokal.
Prevalensi DBD per 100.000 penduduk digunakan untuk melihat besarnya beban kasus DBD di suatu wilayah dengan menyesuaikan perbedaan ukuran populasi. Berdasarkan hasil perhitungan tahun 2024, prevalensi tertinggi tercatat di Kota Sukabumi dengan nilai sekitar 440,70 kasus per 100.000 penduduk, diikuti oleh Kota Bandung dan Kota Bogor yang juga memiliki nilai prevalensi tinggi. Pola ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah kasus absolut di kota-kota tersebut mungkin tidak selalu yang terbesar secara total, beban penyakit relatif terhadap ukuran penduduknya cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan jumlah penduduk antarwilayah, di mana wilayah dengan jumlah penduduk yang lebih kecil dapat menghasilkan nilai prevalensi yang tinggi jika kasusnya cukup banyak.
Sebaliknya, nilai prevalensi terendah ditemukan pada Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Tasikmalaya, yang seluruhnya memiliki prevalensi di bawah 50 kasus per 100.000 penduduk. Wilayah-wilayah ini tidak hanya memiliki jumlah kasus yang relatif lebih rendah, tetapi juga memiliki populasi besar sehingga beban relatif per penduduk menjadi kecil. Peta prevalensi DBD per 100.000 penduduk menunjukkan kontras yang jelas antara wilayah kota berpenduduk padat dengan rasio kasus tinggi, terutama di bagian barat dan tengah Jawa Barat, dibandingkan wilayah dengan intensitas kasus lebih rendah di beberapa kabupaten. Temuan ini menegaskan bahwa analisis risiko tidak cukup hanya melihat jumlah kasus total, tetapi harus mempertimbangkan ukuran populasi untuk mengidentifikasi wilayah dengan beban penyakit tertinggi secara proporsional.
Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian kasus menggambarkan proporsi penderita DBD yang meninggal dunia dibandingkan dengan total kasus yang terjadi di wilayah tertentu. Berdasarkan hasil perhitungan CFR DBD tahun 2024 di Provinsi Jawa Barat, diperoleh bahwa nilai CFR tertinggi terdapat di Kota Cimahi sebesar 1,41%, diikuti oleh Kabupaten Subang sebesar 1,30%, dan Kabupaten Purwakarta sebesar 1,29%. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut, meskipun jumlah kasus DBD tidak selalu yang tertinggi, proporsi kematian terhadap jumlah kasus relatif besar. Hal ini dapat mencerminkan adanya kendala dalam deteksi dini kasus berat, keterlambatan penanganan, atau keterbatasan akses terhadap layanan rujukan medis yang memadai.
Sebaliknya, wilayah dengan nilai CFR terendah adalah Kabupaten Pangandaran dengan 0%, karena tidak terdapat kematian dari total 890 kasus DBD yang dilaporkan sepanjang tahun. Disusul oleh Kabupaten Kuningan dengan CFR sebesar 0,23% dan Kota Depok sebesar 0,26%. Rendahnya nilai CFR di wilayah tersebut menunjukkan efektivitas sistem deteksi dini, kesiapan layanan kesehatan, serta respons klinis yang cepat terhadap pasien DBD. Peta persebaran CFR pada Gambar 4 menunjukkan bahwa wilayah dengan warna merah tua menggambarkan daerah dengan tingkat kematian tinggi, sedangkan warna kuning muda menandakan CFR yang rendah. Secara umum, pola spasial ini menunjukkan bahwa risiko kematian akibat DBD tidak selalu sejalan dengan jumlah kasus, tetapi sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan, kesiapan fasilitas rujukan, serta kecepatan penanganan pasien di masing-masing daerah.
Berdasarkan hasil perhitungan, sebagian besar wilayah di Provinsi Jawa Barat memiliki nilai Prevalence Odds Ratio (POR) yang mendekati 1, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam risiko infeksi DBD antara laki-laki dan perempuan secara umum. Namun, terdapat beberapa wilayah dengan kecenderungan risiko yang lebih tinggi pada salah satu jenis kelamin. Nilai POR tertinggi tercatat di Kota Cirebon (1,26) dan Kabupaten Majalengka (1,20), yang menunjukkan bahwa laki-laki di kedua daerah tersebut memiliki peluang lebih besar untuk terinfeksi DBD dibandingkan perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor perilaku dan sosial, seperti aktivitas luar rumah yang lebih tinggi pada laki-laki, serta kondisi lingkungan perkotaan yang padat dan berpotensi meningkatkan paparan terhadap vektor nyamuk Aedes aegypti.
Sebaliknya, beberapa wilayah menunjukkan pola sebaliknya, di mana perempuan memiliki risiko sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Nilai POR terendah tercatat di Kota Banjar (0,70) dan Kabupaten Sukabumi (0,75), yang mengindikasikan bahwa proporsi kasus DBD pada perempuan relatif lebih besar dibandingkan laki-laki di wilayah tersebut. Peta persebaran pada Gambar 4 menggambarkan variasi spasial nilai POR di seluruh kabupaten/kota, dengan warna merah tua menunjukkan wilayah dengan risiko lebih tinggi pada laki-laki, sedangkan kuning muda menggambarkan wilayah dengan risiko lebih tinggi pada perempuan. Pola ini menegaskan bahwa meskipun secara keseluruhan perbedaan risiko relatif antarjenis kelamin tidak terlalu mencolok, dinamika sosial dan lingkungan di tiap daerah dapat memengaruhi tingkat paparan dan kerentanan terhadap infeksi DBD.
Dashboard Epidemiologis DBD Provinsi Jawa Barat tahun 2024 dirancang sebagai sarana interaktif yang memudahkan pengguna dalam memahami data dan pola penyebaran penyakit secara visual. Melalui tampilan yang intuitif, pengunjung dapat mengakses informasi secara cepat dan komprehensif tanpa harus membaca laporan statistik yang kompleks. Dashboard ini terdiri atas tiga menu utama, yaitu Demografi, Sebaran, dan Ukuran Statistik, yang saling terhubung untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi epidemiologis DBD di Jawa Barat.
Menu Ukuran Statistik pada dashboard DBD Jawa Barat 2024 menyajikan tiga ukuran epidemiologis utama, yaitu Prevalensi DBD per 100.000 penduduk, Case Fatality Rate (CFR), dan Prevalence Odds Ratio (POR). Setiap indikator dilengkapi dengan keterangan kabupaten/kota dengan nilai tertinggi dan terendah, sehingga pengguna dapat dengan mudah mengenali daerah dengan beban penyakit tertinggi maupun dengan capaian pengendalian terbaik. Tampilan peta interaktif membantu pengguna memahami pola spasial ketiga indikator tersebut di seluruh wilayah Jawa Barat, sementara tabel rekapitulasi memberikan data numerik lengkap untuk setiap kabupaten/kota. Fitur interaktif juga memungkinkan pengguna memilih salah satu wilayah untuk menampilkan hasil ketiga ukuran epidemiologinya secara spesifik, disertai peta yang menyesuaikan secara otomatis. Secara keseluruhan, dashboard epidemiologis ini memberikan pengalaman visualisasi data yang informatif, interaktif, dan mudah digunakan. Melalui integrasi antara peta tematik, grafik, dan tabel interaktif, pengguna tidak hanya dapat memantau situasi DBD secara umum di tingkat provinsi, tetapi juga menganalisis kondisi spesifik di setiap kabupaten/kota. Dengan tampilan yang sederhana namun komprehensif, dashboard ini dapat menjadi alat bantu penting bagi pengambil kebijakan, tenaga kesehatan, maupun masyarakat umum dalam memahami situasi epidemiologis DBD dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data untuk pengendalian penyakit yang lebih efektif di Jawa Barat.
pada Dashboard Epidemiologis DBD Jawa Barat 2024
Menu Ukuran Statistik pada dashboard DBD Jawa Barat 2024 menyajikan tiga ukuran epidemiologis utama, yaitu Prevalensi DBD per 100.000 penduduk, Case Fatality Rate (CFR), dan Prevalence Odds Ratio (POR). Setiap indikator dilengkapi dengan keterangan kabupaten/kota dengan nilai tertinggi dan terendah, sehingga pengguna dapat dengan mudah mengenali daerah dengan beban penyakit tertinggi maupun dengan capaian pengendalian terbaik. Tampilan peta interaktif membantu pengguna memahami pola spasial ketiga indikator tersebut di seluruh wilayah Jawa Barat, sementara tabel rekapitulasi memberikan data numerik lengkap untuk setiap kabupaten/kota. Fitur interaktif juga memungkinkan pengguna memilih salah satu wilayah untuk menampilkan hasil ketiga ukuran epidemiologinya secara spesifik, disertai peta yang menyesuaikan secara otomatis.
Secara keseluruhan, dashboard epidemiologis ini memberikan pengalaman visualisasi data yang informatif, interaktif, dan mudah digunakan. Melalui integrasi antara peta tematik, grafik, dan tabel interaktif, pengguna tidak hanya dapat memantau situasi DBD secara umum di tingkat provinsi, tetapi juga menganalisis kondisi spesifik di setiap kabupaten/kota. Dengan tampilan yang sederhana namun komprehensif, dashboard ini dapat menjadi alat bantu penting bagi pengambil kebijakan, tenaga kesehatan, maupun masyarakat umum dalam memahami situasi epidemiologis DBD dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data untuk pengendalian penyakit yang lebih efektif di Jawa Barat.
Penelitian ini memiliki manfaat langsung bagi pemerintah dan masyarakat karena hasilnya dapat membantu menentukan daerah mana yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam penanganan DBD. Melalui tampilan peta dan dashboard interaktif, pengambil kebijakan dapat dengan mudah melihat wilayah dengan tingkat kasus dan kematian tertinggi sehingga keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan atau peningkatan layanan kesehatan bisa lebih cepat dan tepat sasaran. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa data epidemiologi yang dikombinasikan dengan teknologi digital dapat menjadi alat penting dalam pemantauan penyakit, terutama untuk meningkatkan efektivitas program pemberantasan sarang nyamuk dan surveilans kesehatan masyarakat di tingkat daerah. Pendekatan berbasis data ini membantu menjadikan kebijakan kesehatan lebih terukur, transparan, dan efisien dalam melindungi masyarakat dari risiko penyakit menular seperti DBD.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 masih cukup tinggi dan penyebarannya belum merata antar kabupaten dan kota. Kota Sukabumi tercatat memiliki tingkat kasus tertinggi, sedangkan Kabupaten Indramayu menjadi wilayah dengan kasus terendah. Tingkat kematian akibat DBD (CFR) paling tinggi ditemukan di Kota Cimahi, sementara beberapa daerah seperti Pangandaran tidak mencatat adanya kematian sama sekali. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa risiko terkena DBD antara laki-laki dan perempuan hampir sama, meskipun di beberapa daerah terdapat sedikit perbedaan yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan. Secara keseluruhan, daerah dengan kepadatan penduduk dan aktivitas perkotaan yang tinggi cenderung memiliki kasus DBD lebih banyak. Dashboard epidemiologis yang dibuat dalam penelitian ini membantu memvisualisasikan data DBD secara interaktif dan mudah dipahami. Melalui pendekatan berbasis data ini, hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat kebijakan dan strategi untuk menurunkan jumlah kasus serta kematian akibat DBD di Jawa Barat secara lebih efektif.
Pemerintah daerah diharapkan meningkatkan sistem surveilans berbasis wilayah dengan memanfaatkan teknologi digital seperti peta spasial dan dashboard epidemiologis. Langkah ini penting untuk memantau perkembangan kasus DBD secara real-time dan mendeteksi potensi lonjakan kasus lebih dini, sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan secara cepat dan terarah.
Dinas Kesehatan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu memperkuat koordinasi lintas sektor dalam pengendalian vektor, terutama dengan melibatkan dinas lingkungan hidup, pendidikan, dan perangkat desa. Selain itu, peningkatan kapasitas layanan klinis di daerah dengan tingkat kematian (CFR) tinggi sangat diperlukan agar penanganan pasien DBD dapat dilakukan secara cepat dan efektif.
Penelitian lanjutan disarankan untuk melakukan analisis dengan pendekatan longitudinal dan menambahkan variabel lingkungan seperti curah hujan, suhu, kelembapan, serta faktor sosial-ekonomi. Hal ini akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola temporal dan faktor determinan yang memengaruhi dinamika kasus DBD di setiap wilayah.
Masyarakat diharapkan meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif dalam upaya pencegahan DBD melalui penerapan gerakan 3M Plus (menguras tempat penampungan air, menutup wadah air, memanfaatkan kembali barang bekas, dan mencegah gigitan nyamuk). Upaya kebersihan lingkungan dan gotong royong di tingkat rumah tangga maupun komunitas menjadi langkah penting untuk menekan risiko penyebaran DBD di sekitar tempat tinggal.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat atas penyediaan data sekunder tahun 2024 yang digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada I Gede Nyoman Mindra Jaya, Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan laporan ini. Selain itu, penulis juga memanfaatkan alat bantu kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) berupa ChatGPT dalam proses penyusunan laporan ini. Peran AI tersebut meliputi:
[1] Harapan, H., Michie, A., Mudatsir, M., Sasmono, R. T., & Imrie, A. (2019). Epidemiology of dengue hemorrhagic fever in Indonesia: analysis of five decades data from the National Disease Surveillance. BMC Research Notes, 12(1), 350. https://doi.org/10.1186/s13104-019-4379-9
[2] Murray, N. E., Quam, M. B., & Wilder-Smith, A. (2013). Epidemiology of dengue: past, present and future prospects. Clinical Epidemiology, 5, 299–309. https://doi.org/10.2147/CLEP.S34440
[3] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2024). Laporan Surveilans DBD Provinsi Jawa Barat Tahun 2024. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
[4] Bhatt, S., Gething, P. W., Brady, O. J., Messina, J. P., Farlow, A. W., Moyes, C. L., et al. (2013). The global distribution and burden of dengue. Nature, 496, 504–507. https://doi.org/10.1038/nature12060
[5] Grimes, D. A., & Schulz, K. F. (2002). Descriptive studies: what they can and cannot do. The Lancet, 359(9301), 145–149. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(02)07373-7
[6] Takeda Indonesia. (2024, Desember 2). Musim hujan tiba, waspadai peningkatan kasus DBD di Indonesia.https://www.takeda.com/id-id/siaran-pers/2024/musim-hujan-tiba/
[7] Alexander, L. K., Lopes, B., Ricchetti-Masterson, K., & Yeatts, K. B. (2015). Cross-sectional studies. UNC Gillings School of Global Public Health. https://sph.unc.edu/wp-content/uploads/sites/112/2015/07/nciph_ERIC8.pdf?
[8] Ouédraogo, J. C. R. P., Ilboudo, S., Compaoré, T. R., Sawadogo, A. Z., Ouédraogo, M., Savadogo, S., Simporé, J., & Poda, G. E. (2024). Determinants and prevalence of symptomatic dengue fever among adults in the Central Region of Burkina Faso: A hospital-based cross-sectional study. BMC Infectious Diseases, 24, 22. https://doi.org/10.1186/s12879-023-08932-3
[9] Newman, T. B., & Browner, W. S. (1991). In defense of standardizing the odds ratio. Epidemiology, 2(5), 433–436. https://doi.org/10.1097/00001648-199109000-00012
[10] Gubler, D. J. (2011). Dengue, urbanization and globalization. Tropical Medicine & Health, 39(4 Suppl), 3–11. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3317594/
[11] Hennekens, C. H., & Buring, J. E. (1987). Epidemiology in Medicine. Lippincott Williams & Wilkins.
[12] World Health Organization (WHO). (2024). Dengue and severe dengue: Key facts. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue
[13] Kleinbaum, D. G., et al. (2014). Applied Regression Analysis and Other Multivariable Methods (5th ed.). Cengage.
[14] Kyle, J. L., & Harris, E. (2008). Global spread and persistence of dengue. Annual Review of Microbiology, 62, 71–92.
[15] Lee, K. S., et al. (2023). Sex differences in dengue severity: A multi-center analysis. PLOS Neglected Tropical Diseases.https://journals.plos.org/plosntds/
[16] Martínez, E., et al. (2021). Dengue epidemiology and vector control strategies. The Lancet Infectious Diseases.
[17] Porta, M. (Ed.). (2014). A Dictionary of Epidemiology (6th ed.). Oxford University Press.
[18] World Health Organization (WHO). (2022). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. WHO SEARO.
[19] World Health Organization (WHO). (2019). Global Strategy for Dengue Prevention and Control 2012–2020. WHO.
[20] Yacoub, S., & Wills, B. (2014). Predicting outcome from dengue. BMC Medicine, 12, 147. https://bmcmedicine.biomedcentral.com/
[21] Friis, R. H., & Sellers, T. A. (2021). Epidemiology for Public Health Practice (6th ed.). Jones & Bartlett Learning. https://samples.jblearning.com/9781284175431/9781284191127_FMxx_Friis_Secured.pdf
[22] Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2023.
[23] World Health Organization (WHO). (2022). Dengue and severe dengue: Fact sheet.
[21] Kementerian Kesehatan RI. (2022). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
| No | Kabupaten/Kota | JPL | JPP | JKL | JKP | JML | JMP |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
| 1 | BOGOR | 2974061 | 2835729 | 1706 | 1698 | 7 | 16 |
| 2 | SUKABUMI | 1458705 | 1410238 | 368 | 473 | 2 | 2 |
| 3 | CIANJUR | 1350395 | 1288430 | 1013 | 919 | 2 | 9 |
| 4 | BANDUNG | 1953971 | 1885750 | 1812 | 1777 | 17 | 21 |
| 5 | GARUT | 1458601 | 1393276 | 1533 | 1736 | 2 | 12 |
| 6 | TASIKMALAYA | 1016563 | 979496 | 360 | 403 | 3 | 5 |
| 7 | CIAMIS | 651625 | 646158 | 691 | 729 | 4 | 7 |
| 8 | KUNINGAN | 629774 | 610225 | 1053 | 1112 | 3 | 2 |
| 9 | CIREBON | 1263071 | 1225975 | 946 | 887 | 0 | 6 |
| 10 | MAJALENGKA | 689351 | 680218 | 700 | 575 | 8 | 3 |
| 11 | SUMEDANG | 619513 | 607147 | 1080 | 1223 | 2 | 5 |
| 12 | INDRAMAYU | 997493 | 982587 | 271 | 257 | 1 | 1 |
| 13 | SUBANG | 838911 | 838717 | 986 | 943 | 13 | 12 |
| 14 | PURWAKARTA | 539514 | 524418 | 537 | 551 | 6 | 8 |
| 15 | KARAWANG | 1321284 | 1290781 | 1689 | 1590 | 9 | 10 |
| 16 | BEKASI | 1711222 | 1676379 | 1023 | 879 | 2 | 5 |
| 17 | BANDUNG BARAT | 974016 | 937645 | 1803 | 1951 | 5 | 13 |
| 18 | PANGANDARAN | 224519 | 222753 | 439 | 451 | 0 | 0 |
| 19 | KOTA BOGOR | 578674 | 565434 | 1603 | 1514 | 8 | 8 |
| 20 | KOTA SUKABUMI | 186135 | 183961 | 801 | 830 | 2 | 4 |
| 21 | KOTA BANDUNG | 1298551 | 1293212 | 3886 | 3794 | 14 | 17 |
| 22 | KOTA CIREBON | 178969 | 177660 | 334 | 263 | 1 | 1 |
| 23 | KOTA BEKASI | 1285093 | 1287116 | 2220 | 1947 | 17 | 9 |
| 24 | KOTA DEPOK | 1008092 | 1002820 | 2689 | 2351 | 4 | 9 |
| 25 | KOTA CIMAHI | 292434 | 289560 | 397 | 453 | 8 | 4 |
| 26 | KOTA TASIKMALAYA | 391746 | 379093 | 871 | 906 | 1 | 4 |
| 27 | KOTA BANJAR | 105511 | 103806 | 166 | 234 | 3 | 2 |
| 28 | JAWA BARAT | 25997794 | 25318584 | 30977 | 30446 | 144 | 195 |