link dashboard: https://firgiealdiansyahf.shinyapps.io/Dashboard_JawaBarat_IPM2025/
# Package
library(spdep)
## Warning: package 'spdep' was built under R version 4.3.3
## Loading required package: spData
## Warning: package 'spData' was built under R version 4.3.3
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
## Loading required package: sf
## Warning: package 'sf' was built under R version 4.3.3
## Linking to GEOS 3.11.2, GDAL 3.8.2, PROJ 9.3.1; sf_use_s2() is TRUE
library(sp)
## Warning: package 'sp' was built under R version 4.3.3
library(sf)
library(ggplot2)
## Warning: package 'ggplot2' was built under R version 4.3.3
library(dplyr)
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.3.3
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
library(spData)
library(geodata)
## Loading required package: terra
## Warning: package 'terra' was built under R version 4.3.3
## terra 1.8.29
library(tmap)
library(skimr)
## Warning: package 'skimr' was built under R version 4.3.3
library(psych)
## Warning: package 'psych' was built under R version 4.3.3
##
## Attaching package: 'psych'
## The following objects are masked from 'package:terra':
##
## describe, distance, rescale
## The following objects are masked from 'package:ggplot2':
##
## %+%, alpha
library(gridExtra)
## Warning: package 'gridExtra' was built under R version 4.3.3
##
## Attaching package: 'gridExtra'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
##
## combine
library(grid)
##
## Attaching package: 'grid'
## The following object is masked from 'package:terra':
##
## depth
library(viridis)
## Warning: package 'viridis' was built under R version 4.3.3
## Loading required package: viridisLite
library(spatialreg)
## Warning: package 'spatialreg' was built under R version 4.3.3
## Loading required package: Matrix
##
## Attaching package: 'spatialreg'
## The following objects are masked from 'package:spdep':
##
## get.ClusterOption, get.coresOption, get.mcOption,
## get.VerboseOption, get.ZeroPolicyOption, set.ClusterOption,
## set.coresOption, set.mcOption, set.VerboseOption,
## set.ZeroPolicyOption
# Set up Data
setwd("C:/Users/Fizky Firdzansyah/Downloads/Semester 5/Spasial")
indo_adm2 <- st_read("IDN_AdminBoundaries_candidate.gdb",
layer = "idn_admbnda_adm2_bps_20200401")
## Reading layer `idn_admbnda_adm2_bps_20200401' from data source
## `C:\Users\Fizky Firdzansyah\Downloads\Semester 5\Spasial\IDN_AdminBoundaries_candidate.gdb'
## using driver `OpenFileGDB'
## Warning in CPL_read_ogr(dsn, layer, query, as.character(options), quiet, : GDAL
## Message 1: organizePolygons() received a polygon with more than 100 parts. The
## processing may be really slow. You can skip the processing by setting
## METHOD=SKIP.
## Simple feature collection with 522 features and 14 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 95.01079 ymin: -11.00762 xmax: 141.0194 ymax: 6.07693
## Geodetic CRS: WGS 84
jabar <- indo_adm2[indo_adm2$admin1Name_en == "Jawa Barat", ]
jabar <- jabar[jabar$admin2Name_en != "Waduk Cirata", ]
plot(st_geometry(jabar))
data <- na.omit(read.csv("UTS SPASIAL - Sheet1.csv", sep=";", dec="."))
jabar$id <- c(1:27)
jabar_sf <- st_as_sf(jabar)
data$id <- c(1:27)
jabar_merged <- jabar_sf %>%
left_join(data, by = "id")
Pembangunan manusia merupakan aspek fundamental dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi dan sosial suatu wilayah. Salah satu indikator yang digunakan secara luas untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mencerminkan tiga dimensi utama kesejahteraan masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak. Namun, capaian IPM tidak bersifat merata antarwilayah, terutama di provinsi dengan karakteristik ekonomi yang beragam seperti Provinsi Jawa Barat. Variasi IPM antar kabupaten/kota menunjukkan bahwa faktor-faktor pembangunan ekonomi dan sosial tidak hanya bekerja secara individual, tetapi juga saling berinteraksi dalam konteks spasial. Wilayah dengan tingkat pembangunan tinggi sering kali berdekatan dengan wilayah yang memiliki karakteristik serupa, menciptakan pola spatial clustering. Oleh karena itu, pendekatan analisis spasial menjadi penting untuk mendeteksi pola ini dan menguji sejauh mana hubungan antarwilayah memengaruhi capaian IPM.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor ekonomi memiliki pengaruh signifikan terhadap variasi IPM antarwilayah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencerminkan kapasitas ekonomi suatu daerah, di mana peningkatan PDRB mendorong perbaikan pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur yang berkontribusi terhadap peningkatan IPM. Selain itu, Upah Minimum Regional (UMR) berperan penting dalam meningkatkan daya beli masyarakat, sementara Pengeluaran per Kapita menggambarkan kemampuan konsumsi rumah tangga dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga menjadi faktor penting, karena partisipasi tenaga kerja yang tinggi menunjukkan keterlibatan aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan sosial. Faktor ketimpangan ekonomi yang tercermin melalui Rasio Gini (X5) perlu pula diperhatikan, sebab ketimpangan distribusi pendapatan yang tinggi dapat menghambat pemerataan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, sehingga menekan pertumbuhan IPM di wilayah tertentu.
Namun, hubungan antarvariabel tersebut tidak bersifat linier sederhana, melainkan sering kali menunjukkan pola spasial yang saling memengaruhi antarwilayah. Beberapa studi di Indonesia menemukan adanya autokorelasi spasial positif pada IPM, di mana wilayah dengan IPM tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah dengan IPM tinggi lainnya (high–high cluster), dan sebaliknya untuk wilayah dengan IPM rendah (low–low cluster). Fenomena ini menunjukkan adanya efek spillover dalam pembangunan manusia, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh model regresi klasik. Oleh karena itu, model Spatial Econometrics seperti Spatial Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM) digunakan untuk menangkap keterkaitan spasial antarwilayah secara lebih akurat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dan ketenagakerjaan terhadap IPM di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat, dengan mempertimbangkan efek spasial dan variabel ketimpangan (Rasio Gini) sebagai faktor tambahan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pola pembangunan manusia serta menjadi dasar bagi kebijakan pemerataan pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diidentifikasi bahwa permasalahan utama dalam pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat terletak pada adanya ketimpangan spasial antarwilayah yang cukup tinggi. Ketimpangan ini mencerminkan bahwa proses pembangunan tidak berlangsung secara merata di seluruh kabupaten/kota. Kota-kota besar seperti Bandung, Bekasi, dan Depok memiliki IPM yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah selatan seperti Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor-faktor ekonomi dan sosial yang berkontribusi terhadap variasi capaian IPM antarwilayah.
Selain itu, variasi indikator ekonomi seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Upah Minimum Regional (UMR), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Pengeluaran per Kapita, dan Rasio Gini (ketimpangan pendapatan) diduga menjadi faktor yang secara simultan memengaruhi perbedaan IPM antar kabupaten/kota. Daerah dengan PDRB tinggi dan UMR besar cenderung memiliki IPM yang lebih baik karena memiliki kapasitas ekonomi yang lebih kuat, sementara daerah dengan Rasio Gini tinggi berpotensi menghadapi hambatan pemerataan pembangunan manusia. Namun, hubungan antarvariabel tersebut tidak selalu bersifat langsung, karena interaksi spasial antarwilayah juga dapat menimbulkan efek limpahan (spillover effect) yang memengaruhi capaian IPM di wilayah sekitarnya.
Berdasarkan kondisi tersebut, beberapa permasalahan yang dapat
diidentifikasi antara lain:
1. Terdapat perbedaan signifikan nilai IPM antar kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat yang menunjukkan ketimpangan spasial pembangunan
manusia.
2. Ketimpangan IPM diduga berkaitan dengan perbedaan tingkat PDRB, UMR,
TPAK, Pengeluaran per Kapita, dan Rasio Gini di tiap wilayah.
3. Pola spasial IPM di Jawa Barat belum banyak dianalisis secara
kuantitatif menggunakan pendekatan Spatial Econometrics (SAR, SEM,
maupun SDM).
4. Belum diketahui model spasial terbaik yang paling tepat menggambarkan
hubungan antarvariabel ekonomi, sosial, dan ketimpangan terhadap IPM di
tingkat kabupaten/kota.
5. Diperlukan analisis autokorelasi spasial untuk mengidentifikasi
apakah IPM dan variabel-variabel penjelasnya membentuk pola cluster
(pengelompokan) atau dispersion (penyebaran) antarwilayah.
Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan perlunya penelitian yang tidak hanya menilai hubungan statistik antarvariabel ekonomi dan sosial, tetapi juga mempertimbangkan dimensi geografis dan keterkaitan spasial antarwilayah dalam upaya memahami dinamika pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat.
Rumusan masalah dalam penelitian ini berangkat dari kebutuhan untuk memahami dinamika spasial pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat. Ketimpangan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar kabupaten/kota menunjukkan bahwa faktor-faktor ekonomi dan sosial berperan secara tidak seragam di setiap wilayah. Selain itu, keterkaitan spasial antarwilayah mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik internalnya, tetapi juga oleh kondisi wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan analisis spasial untuk mengungkap pola dan hubungan antarvariabel secara lebih komprehensif.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, penelitian ini
dirumuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan utama sebagai
berikut:
1. Bagaimana pola spasial distribusi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat?
2. Apakah terdapat autokorelasi spasial pada IPM di Jawa Barat, yang
menunjukkan adanya pengelompokan (cluster) wilayah dengan tingkat
pembangunan manusia yang serupa?
3. Sejauh mana variabel ekonomi seperti Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Upah Minimum Regional
(UMR), Pengeluaran per Kapita, dan Rasio Gini berpengaruh terhadap
variasi IPM antarwilayah?
4. Apakah hubungan antara IPM dan variabel-variabel ekonomi tersebut
menunjukkan adanya efek spasial antarwilayah (spillover effect)?
5. Model spasial manakah yang paling sesuai—antara Spatial
Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM)—dalam
menggambarkan keterkaitan spasial dan hubungan antarvariabel ekonomi
terhadap IPM di Provinsi Jawa Barat?
Rumusan masalah ini menjadi dasar dalam penyusunan kerangka analisis dan pemilihan metode penelitian, dengan tujuan untuk mengidentifikasi pola keterkaitan spasial serta faktor dominan yang memengaruhi pembangunan manusia secara regional di Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika spasial pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat dengan mempertimbangkan pengaruh faktor-faktor ekonomi dan sosial antarwilayah. Secara khusus, penelitian ini berupaya menggambarkan pola persebaran spasial Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di tingkat kabupaten/kota serta mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial yang menunjukkan pengelompokan wilayah dengan karakteristik pembangunan serupa. Selain itu, penelitian ini bermaksud mengkaji pengaruh variabel ekonomi seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Upah Minimum Regional (UMR), Pengeluaran per Kapita, dan Rasio Gini terhadap variasi IPM antarwilayah.
Melalui pendekatan Spatial Econometrics* penelitian ini juga bertujuan untuk menguji keberadaan efek spasial atau spillover effect, yaitu sejauh mana pembangunan manusia di suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi ekonomi wilayah sekitarnya. Dengan membandingkan dua model utama, yaitu Spatial Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM), penelitian ini diharapkan dapat menentukan model spasial terbaik yang paling akurat dalam menjelaskan hubungan antarvariabel ekonomi terhadap IPM di Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola ketimpangan spasial pembangunan manusia serta menjadi landasan bagi perumusan kebijakan pembangunan daerah yang lebih inklusif, merata, dan berkelanjutan.
Penelitian ini difokuskan pada analisis spasial Indeks Pembangunan Manusia di 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Open Data Jabar tahun 2024. Variabel independen yang digunakan meliputi PDRB atas dasar harga berlaku, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Upah Minimum Regional, dan pengeluaran per kapita, dan Gini Rasio, sedangkan variabel dependen adalah IPM.
Konsep spatial dependence atau ketergantungan spasial menjelaskan bahwa kondisi suatu wilayah tidak bersifat independen terhadap wilayah lain di sekitarnya. Dalam konteks analisis spasial, hal ini berarti bahwa nilai suatu variabel di satu lokasi dapat dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di lokasi tetangga. Ketergantungan spasial muncul karena adanya interaksi antarwilayah, seperti mobilitas penduduk, konektivitas ekonomi, penyebaran pengetahuan, atau pengaruh lingkungan. Ketika fenomena di suatu wilayah memengaruhi wilayah lain di sekitarnya, maka terdapat spatial autocorrelation atau korelasi spasial antar unit observasi. Fenomena ini lazim ditemukan pada data sosial-ekonomi, misalnya dalam pembangunan manusia, kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi antarwilayah. Ketergantungan spasial dapat muncul dalam dua bentuk utama. Pertama, spatial lag dependence, yaitu ketika nilai suatu variabel di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di wilayah sekitar. Kedua, spatial error dependence, yaitu ketika hubungan spasial terjadi karena kesalahan model atau variabel penting yang tidak teramati tetapi memiliki pola spasial. Pemahaman tentang spatial dependence penting karena pelanggaran asumsi independensi observasi (seperti dalam model regresi klasik) dapat menyebabkan hasil estimasi menjadi bias dan tidak efisien. Oleh karena itu, model spasial dikembangkan untuk menangkap pola keterkaitan antarwilayah agar analisis menjadi lebih akurat dan relevan secara geografis.
Autokorelasi spasial menggambarkan derajat hubungan antara nilai suatu variabel di lokasi tertentu dengan nilai variabel yang sama di lokasi sekitarnya. Dengan kata lain, autokorelasi spasial mengukur apakah suatu fenomena cenderung membentuk pola tertentu di ruang geografis, apakah mengelompok (clustered), menyebar (dispersed), atau acak (random). Autokorelasi spasial dibedakan menjadi dua jenis, yaitu global dan lokal.
Autokorelasi Spasial Global menggambarkan pola spasial secara keseluruhan di seluruh wilayah studi. Dua ukuran yang umum digunakan adalah Moran’s I dan Geary’s C.
Autokorelasi Spasial Lokal berfungsi untuk mengidentifikasi lokasi spesifik yang memiliki pengaruh spasial signifikan. Ukuran yang sering digunakan adalah LISA (Local Indicators of Spatial Association). LISA membantu memetakan klaster wilayah yang signifikan secara spasial, seperti kelompok “tinggi-tinggi” (high-high) atau “rendah-rendah” (low-low).
Model spatial econometrics merupakan pengembangan dari model regresi klasik yang mengakomodasi ketergantungan spasial antarwilayah. Model ini memperhitungkan bagaimana suatu variabel di satu lokasi dipengaruhi oleh kondisi di wilayah lain melalui matriks pembobot spasial. Dengan memasukkan efek spasial ke dalam struktur model, analisis dapat mengukur spillover effect atau pengaruh tidak langsung antarwilayah. Tiga model utama yang sering digunakan dalam analisis spasial adalah Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM): 1. Spatial Autoregressive Model (SAR) Model ini memasukkan pengaruh variabel dependen wilayah lain sebagai penjelas utama.
Spatial Error Model (SEM) Model ini digunakan ketika pengaruh spasial muncul pada error term, bukan pada variabel dependen.
Spatial Durbin Model (SDM) Model ini merupakan perluasan dari SAR dan SEM karena memasukkan efek spasial pada variabel independen.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan dari BPS (Badan Pusat Statistik), dimana dibagikan menjadi dua variabel, yaitu variabel respon (Y) dan variabel prediktor (X) dalam pembuatan model, adalah sebagai berikut:
| Variabel | Nama Variabel |
|---|---|
| Y | Indeks Pembangunan Manusia (IPM) |
| X1 | Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) |
| X2 | Indeks Pengetahuan |
| X3 | Upah Minimum |
| X4 | Pengeluaran Per Kapita |
| X5 | Gini Rasio |
Unit analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, yang berjumlah 27 wilayah. 27 kabupaten/kota terdiri dari Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Garut, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Tasikmalaya, serta Kota Bandung, Kota Banjar, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota Depok, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya. Setiap wilayah tersebut merupakan unit observasi yang memiliki batas administratif yang jelas dan terdaftar secara resmi dalam data Badan Pusat Statistik (BPS).
Metode analisis dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap utama, yaitu analisis deskriptif spasial, analisis autokorelasi spasial, dan pemodelan ekonometrika spasial. Tahap awal adalah analisis deskriptif spasial, yang dilakukan untuk menggambarkan pola persebaran IPM dan variabel penjelas (PDRB, TPAK, UMR, dan Pengeluaran per Kapita) di seluruh kabupaten/kota Jawa Barat. Analisis ini divisualisasikan dalam bentuk peta tematik (choropleth map) menggunakan paket ggplot2 dan viridis, dengan pewarnaan berdasarkan skala nilai masing-masing variabel. Hasilnya memberikan gambaran awal mengenai wilayah dengan IPM tinggi, sedang, dan rendah, serta potensi pola pengelompokan spasial antarwilayah. Tahap kedua adalah analisis autokorelasi spasial, yang terdiri dari uji autokorelasi global dan lokal. Uji global dilakukan menggunakan Moran’s I dan Geary’s C untuk mendeteksi ada tidaknya pola spasial secara keseluruhan. Sedangkan uji lokal dilakukan menggunakan Local Moran’s I (LISA) yang menghasilkan peta klaster wilayah berdasarkan empat kategori: High-High, Low-Low, High-Low, dan Low-High. Selain itu, digunakan pula statistik Getis-Ord Gi untuk mengidentifikasi hotspot (wilayah dengan nilai tinggi signifikan) dan coldspot (wilayah dengan nilai rendah signifikan).
Uji Global Moran’s I merupakan uji autokorelasi spasial yang paling umum digunakan. Uji ini mengukur tendensi pengelompokan (clustering) nilai data secara keseluruhan, mirip dengan koefisien korelasi. Secara matematis, autokorelasi spasial global Moran’s I dapat dirumuskan sebagai berikut:
\[ I = \frac{n}{\sum_i \sum_j w_{ij}} \times \frac{\sum_i \sum_j w_{ij}(x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_i (x_i - \bar{x})^2} \]
dengan \(w_{ij}\) menunjukkan bobot
spasial antara wilayah \(i\) dan \(j\).
Nilai \(I > 0\) menunjukkan pola
pengelompokan positif,
\(I < 0\) menunjukkan pola
penyebaran negatif,
dan \(I \approx 0\) menunjukkan pola
acak.
Uji Global Geary’s C merupakan uji global alternatif yang berfokus pada perbedaan nilai antarwilayah yang bertetangga. Uji ini menilai kesamaan atau perbedaan nilai antarunit spasial berdasarkan selisih kuadrat nilai antarwilayah.
Secara matematis, Geary’s C dapat dirumuskan sebagai berikut:
\[ C = \frac{(N - 1)}{2S_0} \times \frac{\sum_i \sum_j w_{ij}(x_i - x_j)^2} {\sum_i (x_i - \bar{x})^2} \]
dengan \((x_i - x_j)^2\) menunjukkan
perbedaan kuadrat nilai antara wilayah \(i\) dan tetangganya \(j\).
Nilai C < 1 menunjukkan adanya autokorelasi spasial
positif (wilayah serupa cenderung berdekatan),
sedangkan C > 1 menunjukkan autokorelasi spasial
negatif (wilayah berbeda cenderung berdekatan),
dan C = 1 menandakan pola acak.
LISA (Local Indicators of Spatial Association memetakan kontribusi setiap wilayah terhadap statistik Global Moran’s I. Analisis ini membantu mengidentifikasi klaster lokal dan outlier spasial dalam suatu wilayah studi.
Secara matematis, rumus LISA dapat dituliskan sebagai berikut:
\[ I_i = \frac{(x_i - \bar{x}) \sum_{j=1}^{N} w_{ij} (x_j - \bar{x})} {\frac{1}{n} \sum_{i=1}^{N} (x_i - \bar{x})^2} \]
Interpretasi hasil LISA (kuadran signifikan) adalah sebagai berikut:
Mengukur seberapa besar perbedaan nilai antara satu wilayah spesifik (i) dengan para tetangganya (j).
\[ G = \frac{\sum_i \sum_j w_{ij} x_i x_j}{\sum_i x_i} \]
OLS, tujuan utamanya adalah meminimalkan jumlah kuadrat error untuk mendapatkan estimasi parameter yang paling optimal. Untuk menghitung serta mendapatkan koefisien regresi melalui OLS, digunakan rumus sebagai berikut
\[ \beta = (x'x)^{-1} x'y \]
Untuk estimasi koefisien menggunakan matrix, didapatkan model
\[ y = x\beta + e \]
OLS merupakan bentuk dasar dari ekonometrika yang dimana bentuk paling sederhana.
Model ini mengasumsikan bahwa nilai Y di satu wilayah dipengaruhi oleh nilai X (variabel independen) di wilayah tetangganya (disebut WX). Ini secara langsung memodelkan efek spillover (tumpahan).
\[ Y = W X \gamma + X \beta + u \]
Model ini mengasumsikan bahwa nilai variabel dependen (Y) di satu wilayah dipengaruhi oleh nilai Y di wilayah tetangganya (disebut WY). Ini adalah model untuk dependensi spasial substantif
\[ Y = \rho W Y + X \beta \]
Model ini mengasumsikan bahwa dependensi spasial terjadi pada error term (u). Artinya, ada variabel-variabel tak teramati (yang masuk ke error) yang memiliki pola spasial (mengelompok).
\[ Y = X \beta + u \quad \text{dimana} \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Model ini adalah gabungan dari SAR dan SLX. Model ini mengasumsikan adanya dependensi pada Y (WY) dan adanya spillover dari X (WX).
\[ y = \lambda W y + W X \gamma + X \beta + u \]
Model ini adalah gabungan dari SEM dan SLX. Model ini mengasumsikan adanya dependensi pada error (Wu) dan adanya spillover dari X (WX).
\[ Y = X \beta + W X \theta + u \quad \text{dimana} \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Model ini adalah gabungan dari SAR dan SEM. Model ini mengasumsikan adanya dependensi pada Y (WY) dan pada error (Wu).
\[ Y = \rho W Y + X \beta + u \quad \text{dimana} \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Ini adalah “model induk” atau model paling umum yang mencakup semua komponen: dependensi Y (WY), spillover X (WX), dan dependensi error (Wu).
\[ Y_t = r Y_{t-1} + \rho W Y_{t-1} + X_t \beta + W X_t \theta + \sum_r \Gamma_r f_{rt} + u_t \]
\[ \text{Dimana} \quad u = \lambda W u_t + \varepsilon_t \]
Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan dilakukan analisis menggunakan software Rstudio. Proses analisis diawali dengan statistik deskriptif, mencakup perhitungan dan visualisasi, untuk mengidentifikasi karakteristik setiap variabel. Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot (Weight) dan melakukan standarisasi model untuk mempermudah estimasi, yang didahului oleh pengujian autokorelasi. Setelah itu, dilakukan spesifikasi terhadap sembilan model ekonometrika. Tahap final adalah pemilihan model terbaik, yang ditentukan melalui perbandingan nilai AIC serta pengujian LM Test dan LR Test pada model OLS dan Nested.
Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Y..IPM.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "plasma", direction = -1,
name = "Indeks Pembangunan Manusia (IPM)") +
labs(
title = "Peta IPM Jawa Barat 2024",
subtitle = "Nilai Indeks Pembangunan Manusia per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X1..PDRB.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "magma", direction = -1,
name = "Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)") +
labs(
title = "Sebaran PDRB di Jawa Barat",
subtitle = "Nilai PDRB per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X2..TPAK.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "inferno", direction = -1,
name = "Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)") +
labs(
title = "Sebaran TPAK di Jawa Barat",
subtitle = "Persentase TPAK per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X3..UMR.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "cividis", direction = -1,
name = "Upah Minimum Rakyat (UMR)") +
labs(
title = "Sebaran UMR di Jawa Barat",
subtitle = "Nilai UMR per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X4..Pengeluaran.per.kapita.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "magma", direction = -1,
name = "Pengeluaran per Kapita") +
labs(
title = "Sebaran Pengeluaran per Kapita di Jawa Barat",
subtitle = "Nilai pengeluaran per kapita per kabupaten/kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 8) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X5..Gini.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "turbo", direction = -1,
name = "Gini Rasio") +
labs(
title = "Sebaran Gini Rasio di Jawa Barat",
subtitle = "Ketimpangan pendapatan per kabupaten/kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
Berdasarkan hasil visualisasi pada Gambar, terlihat bahwa kondisi spasial pembangunan di Provinsi Jawa Barat menunjukkan pola yang tidak merata antarwilayah. Nilai IPM cenderung tinggi di wilayah perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Bekasi, sedangkan wilayah selatan seperti Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis menunjukkan nilai lebih rendah. Pola yang serupa juga tampak pada PDRB dan UMR, di mana daerah dengan aktivitas ekonomi dan industri tinggi seperti Bekasi, Karawang, dan Bandung Raya memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan wilayah agraris di selatan. Sementara itu, TPAK menunjukkan variasi yang tidak terlalu ekstrem, namun cenderung tinggi di daerah dengan sektor industri dan pertanian dominan seperti Indramayu dan Karawang. Adapun pengeluaran per kapita tertinggi terdapat di Kota Bandung, Kota Depok, dan Kota Bekasi, yang menegaskan hubungan erat antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan daya beli masyarakat. Adapun Gini Rasio , yang mengukur ketimpangan pendapatan internal, menunjukkan pola yang lebih unik, wilayah dengan ketimpangan tertinggi (ditandai warna gelap keunguan) justru terlihat di area yang kontras, seperti di kawasan perkotaan yang maju (sekitar Depok/Bogor) dan sekaligus di beberapa wilayah selatan (sekitar Tasikmalaya/Banjar). Sebaliknya, wilayah dengan ketimpangan yang relatif lebih rendah (ditandai warna oranye kemerahan) juga tersebar, baik di selatan (seperti Garut) maupun di pesisir utara (seperti Indramayu). Secara keseluruhan, kelima peta menunjukkan adanya ketimpangan spasial kesejahteraan dan pembangunan manusia di Jawa Barat, di mana wilayah utara dan perkotaan lebih maju dibandingkan wilayah selatan dan perdesaan, sehingga mengindikasikan pentingnya pendekatan spasial dalam memahami distribusi pembangunan di provinsi ini.
Analisis autokorelasi spasial dilakukan untuk mendeteksi adanya ketergantungan spasial antarwilayah. Uji Moran’s I dan Geary’s C digunakan untuk mendeteksi pola spasial global, sedangkan Local Indicators of Spatial Association (LISA) digunakan untuk melihat pola lokal.
Didapatkan hasil pengujian sebagai berikut:
| Uji Autokorelasi | Estimasi | P-Value | Keputusan |
|---|---|---|---|
| Global Moran’s I | 0.27459101 | 0.02535 | Signifikan |
| Geary’s C | 0.6069834 | 0.01573 | Signifikan |
Didapatkan hasil pengujian sebagai berikut:
| Uji Autokorelasi | Estimasi | P-Value | Keputusan |
|---|---|---|---|
| Global Moran’s I | 0.29479733 | 0.01255 | Signifikan |
| Geary’s C | 0.69552243 | 0.1076 | Tidak Signifikan |
Interpretasi:
Nilai Moran’s I positif dan signifikan (p < 0.05)
menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif pada
variabel PDRB, artinya wilayah dengan PDRB tinggi cenderung berdekatan
dengan wilayah lain yang juga memiliki PDRB tinggi.
Didapatkan hasil pengujian sebagai berikut:
| Uji Autokorelasi | Estimasi | P-Value | Keputusan |
|---|---|---|---|
| Global Moran’s I | 0.08598213 | 0.3258 | Tidak Signifikan |
| Geary’s C | 0.67735304 | 0.129 | Tidak Signifikan |
Interpretasi:
Hasil menunjukkan tidak terdapat autokorelasi spasial
yang signifikan pada TPAK. Artinya, penyebaran nilai TPAK antar wilayah
cenderung acak dan tidak menunjukkan pola spasial tertentu.
Didapatkan hasil pengujian sebagai berikut:
| Uji Autokorelasi | Estimasi | P-Value | Keputusan |
|---|---|---|---|
| Global Moran’s I | -0.03318861 | 0.9704 | Tidak Signifikan |
| Geary’s C | 1.00781240 | 0.9591 | Tidak Signifikan |
Interpretasi:
Nilai Moran’s I negatif kecil dan tidak signifikan menunjukkan
tidak adanya hubungan spasial antar wilayah berdasarkan UMR.
Didapatkan hasil pengujian sebagai berikut:
| Uji Autokorelasi | Estimasi | P-Value | Keputusan |
|---|---|---|---|
| Global Moran’s I | -0.22929156 | 0.1561 | Tidak Signifikan |
| Geary’s C | 1.10680275 | 0.5643 | Tidak Signifikan |
Interpretasi:
Tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada variabel
Pengeluaran per Kapita. Distribusi nilai antar wilayah tampak acak tanpa
pola geografis yang jelas.
Didapatkan hasil pengujian sebagai berikut:
| Uji Autokorelasi | Estimasi | P-Value | Keputusan |
|---|---|---|---|
| Global Moran’s I | -0.15846484 | 0.3923 | Tidak Signifikan |
| Geary’s C | 1.03826887 | 0.8126 | Tidak Signifikan |
Setelah dilakukan model OLS didapat
| Koefisien | Estimate | Std. Error | t value | Pr(> |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | 0.0000 | 0.1815 | 0.000 | 1.0000 |
| X1 (PDRB) | 0.1878 | 0.2207 | 0.851 | 0.4045 |
| X2 (TPAK) | -0.4622 | 0.2349 | -1.968 | 0.0624 |
| X3 (UMR) | -0.1837 | 0.2862 | -0.642 | 0.5279 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.0268 | 0.2775 | 0.096 | 0.9240 |
| X5 (Gini Rasio) | 0.0678 | 0.2965 | 0.229 | 0.8213 |
Setelah dilakukan model SAR didapat:
| Koefisien | Estimate | Std. Error | z value | Pr(> |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | -0.4599 | 0.2601 | -1.768 | 0.0770 |
| X1 (PDRB) | 0.4263 | 0.3165 | 1.347 | 0.1780 |
| X2 (TPAK) | -0.6806 | 0.3365 | -2.023 | 0.0431 |
| X3 (UMR) | 0.1691 | 0.4102 | 0.412 | 0.6803 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | -0.1999 | 0.3976 | -0.503 | 0.6151 |
| X5 (Gini Rasio) | -0.0911 | 0.4248 | -0.215 | 0.8302 |
| Rho | -0.4819 | 0.0033 | -144.87 | <0.001 |
Setelah dilakukan model SEM didapat:
| Koefisien | Estimate | Std. Error | z value | Pr(> |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | -0.1852 | 0.0685 | -2.702 | 0.0069 |
| X1 (PDRB) | 0.3742 | 0.2585 | 1.448 | 0.1477 |
| X2 (TPAK) | -0.4512 | 0.2563 | -1.760 | 0.0784 |
| X3 (UMR) | -0.2317 | 0.2978 | -0.778 | 0.4365 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | -0.0573 | 0.2959 | -0.193 | 0.8466 |
| X5 (Gini Rasio) | -0.2968 | 0.3112 | -0.954 | 0.3402 |
| Lambda | -0.5000 | 0.0135 | -36.983 | <0.001 |
Setelah dilakukan model SDM didapat:
| Koefisien | Estimate | Std. Error | z value | Pr(> |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | 0.7162 | 0.4189 | 1.710 | 0.0873 |
| X1 (PDRB) | 0.5445 | 0.2506 | 2.173 | 0.0298 |
| X2 (TPAK) | -0.2638 | 0.2851 | -0.925 | 0.3549 |
| X3 (UMR) | -0.5513 | 0.3638 | -1.516 | 0.1297 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.1441 | 0.3502 | 0.411 | 0.6807 |
| X5 (Gini Rasio) | -0.1261 | 0.3072 | -0.410 | 0.6816 |
| lag.(Intercept) | -0.3279 | 0.1044 | -3.141 | 0.0017 |
| lag.X1 (PDRB) | 0.5819 | 0.2896 | 2.009 | 0.0445 |
| lag.X2 (TPAK) | 0.1778 | 0.2583 | 0.688 | 0.4912 |
| lag.X3 (UMR) | -0.2329 | 0.2398 | -0.971 | 0.3314 |
| lag.X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.3072 | 0.2735 | 1.123 | 0.2614 |
| lag.X5 (Gini Rasio) | -0.4341 | 0.2342 | -1.854 | 0.0637 |
| Rho | -0.4889 | 0.0066 | -74.041 | <0.001 |
Setelah dilakukan model SLX didapat:
| Koefisien | Estimate | Std. Error | t value | Pr(> |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | 0.8494 | 0.3756 | 2.261 | 0.0391 |
| X1 (PDRB) | 0.3123 | 0.2276 | 1.372 | 0.1903 |
| X2 (TPAK) | -0.2530 | 0.2536 | -0.998 | 0.3342 |
| X3 (UMR) | -0.5583 | 0.3268 | -1.708 | 0.1082 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.1652 | 0.3163 | 0.522 | 0.6090 |
| X5 (Gini Rasio) | 0.1127 | 0.2792 | 0.404 | 0.6923 |
| lag.(Intercept) | -0.2327 | 0.0925 | -2.516 | 0.0237 |
| lag.X1 (PDRB) | 0.2821 | 0.2458 | 1.148 | 0.2691 |
| lag.X2 (TPAK) | 0.0924 | 0.2326 | 0.397 | 0.6968 |
| lag.X3 (UMR) | -0.1373 | 0.2077 | -0.661 | 0.5185 |
| lag.X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.1348 | 0.2324 | 0.580 | 0.5706 |
| lag.X5 (Gini Rasio) | -0.1698 | 0.2108 | -0.806 | 0.4330 |
Setelah dilakukan model SDEM didapat:
| Koefisien | Estimate | Std. Error | z value | Pr(> |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | 1.3711 | 0.2042 | 6.716 | <0.001 |
| X1 (PDRB) | 0.2857 | 0.1232 | 2.318 | 0.0204 |
| X2 (TPAK) | -0.0097 | 0.1445 | -0.067 | 0.9462 |
| X3 (UMR) | -1.0676 | 0.2110 | -5.059 | <0.001 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.5971 | 0.1835 | 3.255 | 0.0011 |
| X5 (Gini Rasio) | 0.5846 | 0.2083 | 2.806 | 0.0050 |
| lag.(Intercept) | -0.3750 | 0.0477 | -7.862 | <0.001 |
| lag.X1 (PDRB) | 0.9749 | 0.1227 | 7.943 | <0.001 |
| lag.X2 (TPAK) | 0.5899 | 0.0990 | 5.956 | <0.001 |
| lag.X3 (UMR) | -0.4814 | 0.1029 | -4.678 | <0.001 |
| lag.X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.6332 | 0.1078 | 5.873 | <0.001 |
| lag.X5 (Gini Rasio) | -0.9259 | 0.1486 | -6.230 | <0.001 |
| Lambda | -0.5000 | 0.0135 | -36.983 | <0.001 |
Model SAR menunjukkan bahwa koefisien parameter spasial (p) sebesar -0.4819 dengan nilai p < 0.001, menandakan adanya efek spasial negatif yang signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Artinya, nilai IPM di suatu wilayah cenderung berlawanan arah dengan nilai IPM di wilayah sekitarnya (jika tetangga meningkat, wilayah tersebut cenderung menurun). Di antara variabel independen, hanya TPAK yang berpengaruh signifikan terhadap IPM (p = 0.0431) dengan arah negatif, menunjukkan bahwa peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja tidak selalu diikuti peningkatan pembangunan manusia. Variabel lainnya tidak signifikan secara statistik. Nilai AIC sebesar 66.256 menunjukkan bahwa model SAR memiliki ketepatan yang lebih baik dibandingkan model OLS (AIC = 80.669).
Model SEM menghasilkan koefisien lambda (lamda) sebesar -0.5000 dengan p < 0.001, menunjukkan adanya efek spasial signifikan pada komponen error. Hal ini berarti ketergantungan spasial muncul melalui faktor kesalahan yang saling berkaitan antar wilayah. Variabel TPAK memiliki pengaruh negatif mendekati signifikan terhadap IPM (p = 0.0784), yang menunjukkan bahwa kenaikan partisipasi tenaga kerja tidak selalu berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas pembangunan manusia. Variabel lainnya tidak signifikan. Nilai AIC sebesar 50.049 menunjukkan bahwa model SEM lebih efisien dibandingkan OLS maupun SAR.
Model SDM memperhitungkan efek lag dari variabel independen (WX) untuk menangkap pengaruh tidak langsung antar wilayah. Nilai rho sebesar -0.4889 dengan p < 0.001 menunjukkan adanya keterkaitan spasial negatif yang signifikan antar wilayah. Variabel PDRB berpengaruh signifikan positif terhadap IPM (p = 0.0298), sedangkan variabel lainnya tidak signifikan. Untuk variabel lag, hanya lag PDRB yang signifikan (p = 0.0445), menunjukkan adanya pengaruh tidak langsung dari PDRB wilayah sekitar terhadap IPM wilayah yang bersangkutan. Nilai AIC sebesar 55.247 menandakan model SDM lebih baik dibandingkan OLS dan SAR.
Model SLX memasukkan pengaruh variabel independen dari wilayah sekitar tanpa ketergantungan langsung pada variabel dependen tetangga. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel utama maupun efek lag tidak signifikan secara statistik (p-value > 0.1), meskipun intercept signifikan (p = 0.0391) dan lag intercept juga signifikan (p = 0.0237). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh lintas-wilayah yang kuat dari variabel ekonomi terhadap IPM di wilayah tetangga. Model SLX kurang menggambarkan efek spasial pada IPM karena tidak mempertimbangkan keterkaitan spasial dependen.
Model SDEM menunjukkan nilai lambda sebesar -0.5000 dengan p < 0.001, menandakan adanya efek spasial signifikan pada komponen error. Beberapa variabel berpengaruh signifikan terhadap IPM, antara lain PDRB (p = 0.0204) dan Pengeluaran per Kapita (p = 0.0011) dengan arah positif, sedangkan UMR berpengaruh negatif signifikan (p < 0.001). Selain itu, hampir seluruh variabel lag (PDRB, TPAK, UMR, Pengeluaran, dan Gini) signifikan, yang mengindikasikan adanya pengaruh lintas-wilayah yang kuat antar kabupaten/kota. Nilai AIC sebesar 6.709 menunjukkan bahwa model SDEM paling efisien dan mampu menjelaskan variasi spasial dengan baik dibandingkan model lainnya.
Berikut tabel menunjukkan perbandingan nilai AIC dan log-likelihood dari seluruh model:
| Model | AIC | LogLik |
|---|---|---|
| OLS | 80.669252 | -33.33463 |
| SEM | 50.048911 | -17.02446 |
| SDM | 55.247439 | -13.62372 |
| SLX | 75.175433 | -24.58772 |
| SDEM | 6.709216 | 10.64539 |
| SAR | 66.255528 | -25.12776 |
Interpretasi: Berdasarkan hasil perbandingan model, terlihat bahwa penerapan pendekatan spasial memberikan peningkatan signifikan dibandingkan model OLS biasa. Model OLS memiliki nilai AIC sebesar 80.669, menunjukkan bahwa tanpa mempertimbangkan efek spasial, kemampuan model dalam menjelaskan variasi IPM masih terbatas. Ketika efek spasial dimasukkan, nilai AIC menurun secara bertahap pada model-model berikutnya. Model SAR dengan AIC sebesar 66.256 memperlihatkan adanya peningkatan karena mempertimbangkan pengaruh IPM dari wilayah sekitar. Model SEM dengan AIC sebesar 50.049 menunjukkan bahwa ketergantungan spasial lebih dominan terjadi pada komponen error, mengindikasikan bahwa faktor-faktor tak teramati di satu wilayah turut memengaruhi wilayah lainnya.
Model SDM dengan AIC sebesar 55.247 masih memberikan hasil yang cukup baik karena memasukkan efek lag dari variabel independen, meskipun tidak seefisien SEM. Model SLX, yang hanya memperhitungkan efek lintas wilayah dari variabel independen tanpa memasukkan efek spasial langsung, memiliki AIC sebesar 75.175 sehingga performanya tidak lebih baik dari model lainnya. Sementara itu, model SDEM menunjukkan hasil terbaik dengan AIC sebesar 6.709 dan nilai log-likelihood tertinggi, menandakan bahwa model ini paling mampu menjelaskan variasi spasial dalam data IPM Jawa Barat. Temuan ini menunjukkan bahwa ketergantungan spasial tidak hanya terjadi pada nilai IPM itu sendiri, tetapi juga melalui pengaruh tidak langsung dari variabel ekonomi antarwilayah.
Didapatkan model terbaik dari banyaknya model, yaitu model SDEM untuk memodelkan IPM yang terjadi pada Jawa Barat didapatkan model SDEM sebagai berikut
| Koefisien | Estimate | Std. Error | z value | Pr(>|z|) |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | 1.3711 | 0.2042 | 6.716 | <0.001 |
| X1 (PDRB) | 0.2857 | 0.1232 | 2.318 | 0.0204 |
| X2 (TPAK) | -0.0097 | 0.1445 | -0.067 | 0.9462 |
| X3 (UMR) | -1.0676 | 0.2110 | -5.059 | <0.001 |
| X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.5971 | 0.1835 | 3.255 | 0.0011 |
| X5 (Gini Rasio) | 0.5846 | 0.2083 | 2.806 | 0.0050 |
| lag.(Intercept) | -0.3750 | 0.0477 | -7.862 | <0.001 |
| lag.X1 (PDRB) | 0.9749 | 0.1227 | 7.943 | <0.001 |
| lag.X2 (TPAK) | 0.5899 | 0.0990 | 5.956 | <0.001 |
| lag.X3 (UMR) | -0.4814 | 0.1029 | -4.678 | <0.001 |
| lag.X4 (Pengeluaran per Kapita) | 0.6332 | 0.1078 | 5.873 | <0.001 |
| lag.X5 (Gini Rasio) | -0.9259 | 0.1486 | -6.230 | <0.001 |
| Lambda | -0.5000 | 0.0135 | -36.983 | <0.001 |
Berdasarkan hasil estimasi, bentuk persamaan model SDEM dapat dituliskan sebagai berikut:
\[ \begin{aligned} IPM_i =\ & 1.3711 + 0.2857X1_i - 0.0097X2_i - 1.0676X3_i + 0.5971X4_i + 0.5846X5_i \\ & - 0.3750W(IPM_i) + 0.9749W(X1_i) + 0.5899W(X2_i) - 0.4814W(X3_i) + 0.6332W(X4_i) - 0.9259W(X5_i) + \varepsilon_i \end{aligned} \]
dengan:
Hasil estimasi menunjukkan bahwa IPM di suatu kabupaten/kota dipengaruhi secara langsung oleh kondisi ekonomi dan sosial wilayah tersebut, serta secara tidak langsung oleh kondisi wilayah tetangganya. Variabel yang berpengaruh signifikan secara langsung antara lain PDRB (positif), UMR (negatif), pengeluaran per kapita (positif), dan Gini rasio (positif). Sementara itu, efek tidak langsung (lag) juga signifikan pada sebagian besar variabel, menegaskan adanya spillover effect antarwilayah dalam pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, ditemukan adanya pola ketergantungan spasial (spatial dependence) yang signifikan antarwilayah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah dengan nilai IPM tinggi cenderung berdekatan dengan daerah lain yang juga memiliki IPM tinggi, begitu pula sebaliknya. Ketimpangan spasial tampak jelas antara wilayah utara dan barat yang lebih maju dibandingkan wilayah selatan yang relatif tertinggal. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa model Spatial Durbin Error Model (SDEM) merupakan model paling tepat dalam menjelaskan variasi IPM antar kabupaten/kota, dengan nilai AIC terendah (6.709) dan Log-Likelihood tertinggi (10.645). Model ini mampu menangkap baik efek langsung antarvariabel maupun pengaruh tidak langsung (spillover) antarwilayah, serta menunjukkan adanya keterkaitan spasial pada komponen error.
Secara statistik, variabel PDRB, Pengeluaran per Kapita, dan Gini Rasio berpengaruh positif signifikan terhadap IPM, sedangkan UMR berpengaruh negatif signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan aktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat dapat mendorong perbaikan kualitas hidup, sementara peningkatan UMR tanpa diimbangi produktivitas justru dapat menekan penciptaan lapangan kerja dan memperlambat pertumbuhan kesejahteraan. Selain itu, efek spasial dari variabel-variabel tersebut juga signifikan, yang berarti kondisi sosial ekonomi di suatu wilayah turut dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya.
Temuan ini menegaskan bahwa pembangunan manusia di Jawa Barat bersifat saling bergantung secara spasial. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan sebaiknya dirancang dengan mempertimbangkan keterkaitan antarwilayah, bukan hanya berdasarkan batas administratif. Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu memperkuat koordinasi lintas daerah, terutama dalam peningkatan akses pendidikan, pengentasan ketimpangan pendapatan, serta pemerataan infrastruktur ekonomi. Pendekatan berbasis spasial ini diharapkan mampu menciptakan pembangunan manusia yang lebih inklusif dan merata di seluruh wilayah Jawa Barat.
Kode yang digunakan untuk analisis tersebut sebagai berikut:
# Package
library(spdep)
library(sp)
library(sf)
library(ggplot2)
library(dplyr)
library(spData)
library(geodata)
library(tmap)
library(skimr)
library(psych)
library(gridExtra)
library(grid)
library(viridis)
library(spatialreg)
# Set up Data
setwd("C:/Users/Fizky Firdzansyah/Downloads/Semester 5/Spasial")
indo_adm2 <- st_read("IDN_AdminBoundaries_candidate.gdb",
layer = "idn_admbnda_adm2_bps_20200401")
## Reading layer `idn_admbnda_adm2_bps_20200401' from data source
## `C:\Users\Fizky Firdzansyah\Downloads\Semester 5\Spasial\IDN_AdminBoundaries_candidate.gdb'
## using driver `OpenFileGDB'
## Simple feature collection with 522 features and 14 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 95.01079 ymin: -11.00762 xmax: 141.0194 ymax: 6.07693
## Geodetic CRS: WGS 84
jabar <- indo_adm2[indo_adm2$admin1Name_en == "Jawa Barat", ]
jabar <- jabar[jabar$admin2Name_en != "Waduk Cirata", ]
plot(st_geometry(jabar))
data <- na.omit(read.csv("UTS SPASIAL - Sheet1.csv", sep=";", dec="."))
jabar$id <- c(1:27)
jabar_sf <- st_as_sf(jabar)
data$id <- c(1:27)
jabar_merged <- jabar_sf %>%
left_join(data, by = "id")
# =========================================================
# Explorasi Data (update dengan TPAK dan Gini Rasio)
# =========================================================
## Peta IPM
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Y..IPM.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "plasma", direction = -1,
name = "Indeks Pembangunan Manusia (IPM)") +
labs(
title = "Peta IPM Jawa Barat 2024",
subtitle = "Nilai Indeks Pembangunan Manusia per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
## Peta PDRB
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X1..PDRB.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "magma", direction = -1,
name = "Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)") +
labs(
title = "Sebaran PDRB di Jawa Barat",
subtitle = "Nilai PDRB per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
## Peta TPAK
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X2..TPAK.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "inferno", direction = -1,
name = "Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)") +
labs(
title = "Sebaran TPAK di Jawa Barat",
subtitle = "Persentase TPAK per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
## Peta UMR
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X3..UMR.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "cividis", direction = -1,
name = "Upah Minimum Rakyat (UMR)") +
labs(
title = "Sebaran UMR di Jawa Barat",
subtitle = "Nilai UMR per Kabupaten/Kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
## Peta Pengeluaran per Kapita
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X4..Pengeluaran.per.kapita.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "magma", direction = -1,
name = "Pengeluaran per Kapita") +
labs(
title = "Sebaran Pengeluaran per Kapita di Jawa Barat",
subtitle = "Nilai pengeluaran per kapita per kabupaten/kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 8) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
names(data)
## [1] "Kota.Kabupaten" "Y..IPM."
## [3] "X1..PDRB." "X2..TPAK."
## [5] "X3..UMR." "X4..Pengeluaran.per.kapita."
## [7] "X5..Gini." "id"
## Peta Gini Rasio
ggplot(data = jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = X5..Gini.), color = "white", linewidth = 0.3) +
scale_fill_viridis_c(option = "turbo", direction = -1,
name = "Gini Rasio") +
labs(
title = "Sebaran Gini Rasio di Jawa Barat",
subtitle = "Ketimpangan pendapatan per kabupaten/kota",
caption = "Sumber: BPS (2024)"
) +
theme_minimal(base_size = 9) +
theme(plot.title = element_text(face = "bold", hjust = 0.5))
# =========================================================
# Deskriptif Data
# =========================================================
data_desc <- jabar_merged %>%
st_drop_geometry() %>%
select(
Y..IPM.,
X1..PDRB.,
X2..TPAK.,
X3..UMR.,
X4..Pengeluaran.per.kapita.,
X5..Gini.
)
describe(data_desc)
# Rebuild queen contiguity weights
# --- 1. spatial weights (queen) ---
nb <- poly2nb(as_Spatial(jabar_merged), queen = TRUE)
lwW <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)
lwB <- nb2listw(nb, style = "B", zero.policy = TRUE)
summary(nb)
## Neighbour list object:
## Number of regions: 27
## Number of nonzero links: 106
## Percentage nonzero weights: 14.54047
## Average number of links: 3.925926
## Link number distribution:
##
## 1 2 3 4 5 6 7 8
## 4 3 6 4 1 7 1 1
## 4 least connected regions:
## 12 14 16 18 with 1 link
## 1 most connected region:
## 4 with 8 links
which(card(nb) == 0)
## integer(0)
# ================================
# FUNCTION (tidak diubah)
# ================================
analyze_spatial <- function(data_sf, var_col, label) {
cat("\n\n==============================\n", label, "\n==============================\n")
x_raw <- data_sf[[var_col]]
# ---------- Global tests ----------
moran_res <- moran.test(x_raw, lwW, randomisation = TRUE, alternative = "two.sided")
geary_res <- geary.test(x_raw, lwW, randomisation = TRUE, alternative = "two.sided")
print(moran_res)
print(geary_res)
# ---------- Local Moran ----------
x <- scale(x_raw)[, 1]
lagx <- lag.listw(lwW, x)
lisa <- localmoran(x, lwW, alternative = "two.sided", zero.policy = TRUE)
lisa_df <- as.data.frame(lisa)
names(lisa_df) <- c("Ii","Ei","Vi","Zi","Pi.two.sided")
alpha <- 0.05
quad <- dplyr::case_when(
x >= 0 & lagx >= 0 ~ "High-High",
x < 0 & lagx < 0 ~ "Low-Low",
x >= 0 & lagx < 0 ~ "High-Low (Outlier)",
x < 0 & lagx >= 0 ~ "Low-High (Outlier)"
)
LISA_sf <- bind_cols(data_sf, lisa_df) |>
mutate(quad = ifelse(Pi.two.sided <= alpha, quad, "Not significant"))
# ---------- Local Geary’s C ----------
localC_vals <- localC(x_raw, lwW)
Geary_sf <- mutate(data_sf,
LocalC = as.numeric(localC_vals))
# ---------- Getis–Ord Gi* ----------
sum_x <- sum(x_raw)
Wb <- listw2mat(lwB)
Wb_star <- Wb; diag(Wb_star) <- 1
G_star_raw <- as.numeric(Wb_star %*% x_raw) / sum_x
Gz <- localG(x_raw, listw = lwW)
G_sf <- mutate(data_sf,
z_Gistar = as.numeric(Gz),
hotcold = case_when(
z_Gistar >= 1.96 ~ "Hot spot (p<0.05)",
z_Gistar <= -1.96 ~ "Cold spot (p<0.05)",
TRUE ~ "Not significant"
))
# ---------- MAPS ----------
p1 <- ggplot(LISA_sf) +
geom_sf(aes(fill = quad), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c(
"High-High" = "#d73027",
"Low-Low" = "#4575b4",
"High-Low (Outlier)" = "#fdae61",
"Low-High (Outlier)" = "#74add1",
"Not significant" = "grey85"
)) +
labs(title = paste("Local Moran's I (LISA) —", label), fill = "Kategori") +
theme_minimal()
p2 <- ggplot(Geary_sf) +
geom_sf(aes(fill = LocalC), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_viridis_c(option = "magma", direction = -1,
name = "Local Geary’s C") +
labs(title = paste("Local Geary’s C —", label)) +
theme_minimal()
p3 <- ggplot(G_sf) +
geom_sf(aes(fill = hotcold), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c(
"Hot spot (p<0.05)" = "#b2182b",
"Cold spot (p<0.05)" = "#2166ac",
"Not significant" = "grey85"
)) +
labs(title = paste("Getis–Ord Gi* —", label), fill = NULL) +
theme_minimal()
print(p1); print(p2); print(p3)
}
# =========================================================
# Analisis Spasial per Variabel
# =========================================================
analyze_spatial(jabar_merged, "Y..IPM.", "Indeks Pembangunan Manusia (IPM)")
##
##
## ==============================
## Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.236, p-value = 0.02535
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.27459101 -0.03846154 0.01960115
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = 2.415, p-value = 0.01573
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.6069834 1.0000000 0.0264836
analyze_spatial(jabar_merged, "X1..PDRB.", "Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)")
##
##
## ==============================
## Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.4963, p-value = 0.01255
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.29479733 -0.03846154 0.01782296
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = 1.6091, p-value = 0.1076
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.69552243 1.00000000 0.03580473
analyze_spatial(jabar_merged, "X2..TPAK.", "Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)")
##
##
## ==============================
## Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.98267, p-value = 0.3258
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.08598213 -0.03846154 0.01603727
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = 1.5182, p-value = 0.129
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.67735304 1.00000000 0.04516516
analyze_spatial(jabar_merged, "X3..UMR.", "Upah Minimum Rakyat (UMR)")
##
##
## ==============================
## Upah Minimum Rakyat (UMR)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.037084, p-value = 0.9704
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.03318861 -0.03846154 0.02021745
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.051232, p-value = 0.9591
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.00781240 1.00000000 0.02325299
analyze_spatial(jabar_merged, "X4..Pengeluaran.per.kapita.", "Pengeluaran per Kapita")
##
##
## ==============================
## Pengeluaran per Kapita
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = -1.4182, p-value = 0.1561
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.22929156 -0.03846154 0.01810562
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.57649, p-value = 0.5643
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.10680275 1.00000000 0.03432302
analyze_spatial(jabar_merged, "X5..Gini.", "Gini Rasio")
##
##
## ==============================
## Gini Rasio
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = -0.8554, p-value = 0.3923
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.15846484 -0.03846154 0.01968105
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.23704, p-value = 0.8126
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.03826887 1.00000000 0.02606476
# Pastikan semua variabel yang dibutuhkan tersedia
if (!all(c("Y..IPM.", "X1..PDRB.", "X2..TPAK.", "X3..UMR.",
"X4..Pengeluaran.per.kapita.", "X5..Gini.") %in% names(jabar_merged))) {
stop("Salah satu variabel tidak ada di data. Periksa nama kolom!")
}
# Pilih variabel relevan dan hapus NA
jabar_merged_clean <- jabar_merged %>%
dplyr::select(Y..IPM., X1..PDRB., X2..TPAK., X3..UMR.,
X4..Pengeluaran.per.kapita., X5..Gini.) %>%
na.omit()
# =========================================================
# Standardisasi Data (untuk mengurangi error numerik)
# =========================================================
jabar_merged_scaled <- jabar_merged_clean %>%
mutate(
Y..IPM._scaled = scale(Y..IPM.),
X1..PDRB._scaled = scale(X1..PDRB.),
X2..TPAK._scaled = scale(X2..TPAK.),
X3..UMR._scaled = scale(X3..UMR.),
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled = scale(X4..Pengeluaran.per.kapita.),
X5..Gini._scaled = scale(X5..Gini.)
)
# =========================================================
# Analisis Spasial per Variabel
# =========================================================
analyze_spatial(jabar_merged, "Y..IPM.", "Indeks Pembangunan Manusia (IPM)")
##
##
## ==============================
## Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.236, p-value = 0.02535
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.27459101 -0.03846154 0.01960115
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = 2.415, p-value = 0.01573
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.6069834 1.0000000 0.0264836
analyze_spatial(jabar_merged, "X1..PDRB.", "Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)")
##
##
## ==============================
## Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.4963, p-value = 0.01255
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.29479733 -0.03846154 0.01782296
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = 1.6091, p-value = 0.1076
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.69552243 1.00000000 0.03580473
analyze_spatial(jabar_merged, "X2..TPAK.", "Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)")
##
##
## ==============================
## Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.98267, p-value = 0.3258
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.08598213 -0.03846154 0.01603727
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = 1.5182, p-value = 0.129
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.67735304 1.00000000 0.04516516
analyze_spatial(jabar_merged, "X3..UMR.", "Upah Minimum Rakyat (UMR)")
##
##
## ==============================
## Upah Minimum Rakyat (UMR)
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.037084, p-value = 0.9704
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.03318861 -0.03846154 0.02021745
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.051232, p-value = 0.9591
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.00781240 1.00000000 0.02325299
analyze_spatial(jabar_merged, "X4..Pengeluaran.per.kapita.", "Pengeluaran per Kapita")
##
##
## ==============================
## Pengeluaran per Kapita
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = -1.4182, p-value = 0.1561
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.22929156 -0.03846154 0.01810562
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.57649, p-value = 0.5643
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.10680275 1.00000000 0.03432302
analyze_spatial(jabar_merged, "X5..Gini.", "Gini Rasio")
##
##
## ==============================
## Gini Rasio
## ==============================
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = -0.8554, p-value = 0.3923
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.15846484 -0.03846154 0.01968105
##
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: x_raw
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.23704, p-value = 0.8126
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.03826887 1.00000000 0.02606476
# =========================================================
# Model Regresi Spasial
# =========================================================
# OLS
model_ols <- lm(
Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled +
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
data = jabar_merged_scaled
)
summary(model_ols)
##
## Call:
## lm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled +
## X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
## data = jabar_merged_scaled)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -1.1510 -0.6524 -0.2512 0.7568 1.6113
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 7.847e-16 1.815e-01 0.000 1.0000
## X1..PDRB._scaled 1.878e-01 2.207e-01 0.851 0.4045
## X2..TPAK._scaled -4.622e-01 2.349e-01 -1.968 0.0624 .
## X3..UMR._scaled -1.837e-01 2.862e-01 -0.642 0.5279
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 2.677e-02 2.775e-01 0.096 0.9240
## X5..Gini._scaled 6.783e-02 2.965e-01 0.229 0.8213
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 0.943 on 21 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.2817, Adjusted R-squared: 0.1107
## F-statistic: 1.647 on 5 and 21 DF, p-value: 0.1913
# LM Test
lm_tests <- lm.LMtests(model_ols, listw = lwW,
test = c("LMerr", "LMlag", "RLMerr", "RLMlag", "SARMA"))
## Please update scripts to use lm.RStests in place of lm.LMtests
print(lm_tests)
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled +
## X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled
## + X5..Gini._scaled, data = jabar_merged_scaled)
## test weights: listw
##
## RSerr = 0.20761, df = 1, p-value = 0.6486
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled +
## X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled
## + X5..Gini._scaled, data = jabar_merged_scaled)
## test weights: listw
##
## RSlag = 1.944, df = 1, p-value = 0.1632
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled +
## X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled
## + X5..Gini._scaled, data = jabar_merged_scaled)
## test weights: listw
##
## adjRSerr = 7.9905, df = 1, p-value = 0.004702
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled +
## X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled
## + X5..Gini._scaled, data = jabar_merged_scaled)
## test weights: listw
##
## adjRSlag = 9.7269, df = 1, p-value = 0.001816
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled +
## X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled
## + X5..Gini._scaled, data = jabar_merged_scaled)
## test weights: listw
##
## SARMA = 9.9345, df = 2, p-value = 0.006962
# SAR
library(spatialreg)
library(dplyr)
# =========================================================
# Gunakan data hasil standarisasi
# =========================================================
# SAR
slag_model <- lagsarlm(
Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled +
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
data = jabar_merged_scaled,
listw = lwB,
method = "Matrix", # Lebih stabil untuk dataset kecil
zero.policy = TRUE # Aman untuk wilayah tanpa tetangga
)
summary(slag_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled +
## X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
## data = jabar_merged_scaled, listw = lwB, method = "Matrix",
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -1.82475 -1.16191 -0.29868 1.14731 2.81353
##
## Type: lag
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -0.459877 0.260106 -1.7680 0.07705
## X1..PDRB._scaled 0.426287 0.316491 1.3469 0.17801
## X2..TPAK._scaled -0.680631 0.336518 -2.0226 0.04312
## X3..UMR._scaled 0.169051 0.410242 0.4121 0.68028
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled -0.199895 0.397570 -0.5028 0.61511
## X5..Gini._scaled -0.091107 0.424822 -0.2145 0.83019
##
## Rho: -0.48194, LR test value: 16.414, p-value: 5.0915e-05
## Asymptotic standard error: 0.0033266
## z-value: -144.87, p-value: < 2.22e-16
## Wald statistic: 20988, p-value: < 2.22e-16
##
## Log likelihood: -25.12776 for lag model
## ML residual variance (sigma squared): 1.8252, (sigma: 1.351)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 8
## AIC: 66.256, (AIC for lm: 80.669)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 4.6821, p-value: 0.030478
# SEM
serr_model <- errorsarlm(
Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled +
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
data = jabar_merged_scaled, listw = lwB,
zero.policy = TRUE, method = "Matrix"
)
summary(serr_model)
##
## Call:
## errorsarlm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled +
## X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
## data = jabar_merged_scaled, listw = lwB, method = "Matrix",
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -1.76458 -0.70068 0.16754 1.05047 1.57175
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -0.185194 0.068543 -2.7019 0.006895
## X1..PDRB._scaled 0.374194 0.258477 1.4477 0.147705
## X2..TPAK._scaled -0.451161 0.256318 -1.7602 0.078380
## X3..UMR._scaled -0.231744 0.297809 -0.7782 0.436473
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled -0.057252 0.295901 -0.1935 0.846581
## X5..Gini._scaled -0.296841 0.311236 -0.9538 0.340210
##
## Lambda: -0.5, LR test value: 32.62, p-value: 1.1204e-08
## Asymptotic standard error: 0.01352
## z-value: -36.983, p-value: < 2.22e-16
## Wald statistic: 1367.7, p-value: < 2.22e-16
##
## Log likelihood: -17.02446 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 1.0353, (sigma: 1.0175)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 8
## AIC: 50.049, (AIC for lm: 80.669)
# SDM
sdm_model <- lagsarlm(
Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled +
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
data = jabar_merged_scaled, listw = lwB,
Durbin = TRUE, method = "Matrix", zero.policy = TRUE
)
summary(sdm_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled +
## X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
## data = jabar_merged_scaled, listw = lwB, Durbin = TRUE, method = "Matrix",
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -1.45733 -0.72120 0.12137 0.78479 1.24211
##
## Type: mixed
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 0.71624 0.41892 1.7097 0.087314
## X1..PDRB._scaled 0.54448 0.25060 2.1727 0.029805
## X2..TPAK._scaled -0.26376 0.28509 -0.9252 0.354871
## X3..UMR._scaled -0.55129 0.36378 -1.5155 0.129656
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.14407 0.35016 0.4114 0.680749
## X5..Gini._scaled -0.12607 0.30724 -0.4103 0.681556
## lag.(Intercept) -0.32788 0.10440 -3.1405 0.001686
## lag.X1..PDRB._scaled 0.58194 0.28962 2.0093 0.044504
## lag.X2..TPAK._scaled 0.17780 0.25827 0.6884 0.491193
## lag.X3..UMR._scaled -0.23294 0.23980 -0.9714 0.331354
## lag.X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.30718 0.27354 1.1230 0.261437
## lag.X5..Gini._scaled -0.43415 0.23415 -1.8541 0.063720
##
## Rho: -0.48893, LR test value: 21.928, p-value: 2.8307e-06
## Asymptotic standard error: 0.0066035
## z-value: -74.041, p-value: < 2.22e-16
## Wald statistic: 5482.1, p-value: < 2.22e-16
##
## Log likelihood: -13.62372 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 0.78859, (sigma: 0.88803)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 14
## AIC: 55.247, (AIC for lm: 75.175)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 0.71787, p-value: 0.39684
# SLX
slx_model <- lmSLX(
Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled +
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
data = jabar_merged_scaled, listw = lwB,
zero.policy = TRUE
)
summary(slx_model)
##
## Call:
## lm(formula = formula(paste("y ~ ", paste(colnames(x)[-1], collapse = "+"))),
## data = as.data.frame(x), weights = weights)
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value
## (Intercept) 0.84935 0.37564 2.26104
## X1..PDRB._scaled 0.31225 0.22762 1.37181
## X2..TPAK._scaled -0.25303 0.25358 -0.99785
## X3..UMR._scaled -0.55831 0.32680 -1.70845
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.16523 0.31625 0.52246
## X5..Gini._scaled 0.11267 0.27919 0.40354
## lag..Intercept. -0.23268 0.09248 -2.51604
## lag.X1..PDRB._scaled 0.28214 0.24582 1.14775
## lag.X2..TPAK._scaled 0.09241 0.23261 0.39727
## lag.X3..UMR._scaled -0.13730 0.20767 -0.66115
## lag.X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.13476 0.23238 0.57993
## lag.X5..Gini._scaled -0.16983 0.21076 -0.80580
## Pr(>|t|)
## (Intercept) 0.03905
## X1..PDRB._scaled 0.19029
## X2..TPAK._scaled 0.33418
## X3..UMR._scaled 0.10816
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.60898
## X5..Gini._scaled 0.69225
## lag..Intercept. 0.02374
## lag.X1..PDRB._scaled 0.26905
## lag.X2..TPAK._scaled 0.69677
## lag.X3..UMR._scaled 0.51854
## lag.X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.57057
## lag.X5..Gini._scaled 0.43295
# SDEM
sdem_model <- errorsarlm(
Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled + X3..UMR._scaled +
X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
data = jabar_merged_scaled, listw = lwB,
Durbin = TRUE, method = "Matrix", zero.policy = TRUE
)
summary(sdem_model)
##
## Call:
## errorsarlm(formula = Y..IPM._scaled ~ X1..PDRB._scaled + X2..TPAK._scaled +
## X3..UMR._scaled + X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled + X5..Gini._scaled,
## data = jabar_merged_scaled, listw = lwB, Durbin = TRUE, method = "Matrix",
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.8054169 -0.2459640 -0.0082868 0.2403099 0.6517561
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 1.371071 0.204152 6.7159 1.869e-11
## X1..PDRB._scaled 0.285685 0.123234 2.3182 0.020437
## X2..TPAK._scaled -0.009747 0.144530 -0.0674 0.946232
## X3..UMR._scaled -1.067640 0.211035 -5.0591 4.213e-07
## X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.597136 0.183474 3.2546 0.001136
## X5..Gini._scaled 0.584620 0.208323 2.8063 0.005011
## lag.(Intercept) -0.374958 0.047690 -7.8623 3.775e-15
## lag.X1..PDRB._scaled 0.974853 0.122725 7.9434 1.998e-15
## lag.X2..TPAK._scaled 0.589902 0.099037 5.9564 2.579e-09
## lag.X3..UMR._scaled -0.481425 0.102908 -4.6782 2.894e-06
## lag.X4..Pengeluaran.per.kapita._scaled 0.633235 0.107817 5.8732 4.274e-09
## lag.X5..Gini._scaled -0.925943 0.148633 -6.2297 4.672e-10
##
## Lambda: -0.5, LR test value: 70.466, p-value: < 2.22e-16
## Asymptotic standard error: 0.01352
## z-value: -36.983, p-value: < 2.22e-16
## Wald statistic: 1367.7, p-value: < 2.22e-16
##
## Log likelihood: 10.64539 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 0.13333, (sigma: 0.36514)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 14
## AIC: 6.7092, (AIC for lm: 75.175)
# =========================================================
# Perbandingan Model
# =========================================================
# Compare Model
# =========================================================
# Perbandingan Model (Versi Aman)
# =========================================================
# Buat daftar model yang memang sudah tersedia
model_list <- list(
OLS = model_ols,
SEM = serr_model,
SDM = sdm_model,
SLX = slx_model,
SDEM = sdem_model,
SAR = slag_model
)
model_comparison <- data.frame(
Model = names(model_list),
AIC = sapply(model_list, AIC),
LogLik = sapply(model_list, logLik)
)
print(model_comparison)
## Model AIC LogLik
## OLS OLS 80.669252 -33.33463
## SEM SEM 50.048911 -17.02446
## SDM SDM 55.247439 -13.62372
## SLX SLX 75.175433 -24.58772
## SDEM SDEM 6.709216 10.64539
## SAR SAR 66.255528 -25.12776
[1] Astari, A., & Chotib, M. (2023). Spatial Analysis of the Human Development Index in Indonesia Before and During the Covid-19 Pandemic. Universitas Indonesia. https://scholar.ui.ac.id/en/publications/spatial-analysis-of-the-human-development-index-in-indonesia-befo
[2] Astuti, D., Fithriasari, K., & Ratnasari, V. (2022). Analysis of Human Development Index in West Nusa Tenggara Province with Spatial Panel Model. Indonesian Journal of Computing, Statistics and Applied Mathematics, 5(2), 115–128. https://iptek.its.ac.id/index.php/ijcsam/article/view/21957
[3] Hidayat, M., Rahma, D., & Fikri, A. (2023). Poverty and Gini Ratio on Human Development Index in West Sumatera. Governors: Journal of Economic Policy, 4(1), 41–52. https://doi.org/10.47709/governors.v4i1.6626
[4] Jelita, R., Dwi, L., & Nurhidayah, S. (2024). Modeling Human Development Index of East Java Using Spatial Autoregressive and Spatial Error Ensemble. Pythagoras: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 19(2), 175–188. https://doi.org/10.21831/pythagoras.v19i2.78621
[5] Lasdiyanti, A., Adi, T., & Sutopo, P. (2019). Modeling Human Development Index of Bali with Spatial Panel Data Regression. European Journal of Engineering Research and Science, 4(5), 27–33. https://doi.org/10.24018/ejeng.2019.4.5.1312
[6] Miranti, R., & Mendez-Guerra, C. (2023). Social and Economic Convergence Across Districts in Indonesia: A Spatial Econometric Approach. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 59(3), 421–445. https://doi.org/10.1080/00074918.2022.2071415
[7] Pramesti, D., & Suharsono, H. (2021). Spatial Autoregressive Model for Modeling of Human Development Index in East Java Province. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). https://scholar.its.ac.id/en/publications/spatial-autoregressive-model-for-modeling-of-human-development-in
[8] Prasetya, A., Mulyana, D., & Wijayanto, A. (2025). Spatial Analysis of Inclusive Economic Development in Indonesia in 2019, 2020, and 2021. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 18(1), 25–36. https://doi.org/10.24843/JEKT.2025.v18.i01.P02
[9] Putri, A., Rahmadani, F., & Rorimpandey, A. (2022). Pemodelan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression (GWR). Jurnal Sains dan Terapan Statistik, 6(1), 12–23. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/sinta6/article/view/41869
[10] Ramadhan, A., & Pertiwi, F. (2023). The Influence of the Gini Ratio and Inflation on the Human Development Index (HDI). Primaria Social Science Journal, 5(9), 71–82. https://doi.org/10.55942/pssj.v5i9.721
[11] Rindayati, W., Yuliana, D., & Siregar, A. (2024). Spatial Mapping and Determinants of Health Performance in North Sumatra Province. Journal of Economics and Sustainable Policy, 24(1), 89–102. https://doi.org/10.18196/jesp.v24i1.16747
[12] Santoso, A., & Amboro, P. (2022). Model Determinan Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia: Pendekatan Spasial. Jurnal Akuntansi dan Ekonomi, 9(2), 223–234. https://doi.org/10.29407/jae.v9i2.22356
[13] Saputra, I., & Marseto, N. (2023). Analysis Determinants of Human Development Index in Bali Province. Digital Innovation: Journal of Social Science and Technology, 2(4), 112–120. https://doi.org/10.61132/digitalinnovation.v2i4.524
[14] Salsavira, F., Hartono, B., & Darman, D. (2023). Spatial Analysis of Prevalence of Early Marriage and Human Development Index in Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan, 18(1), 66–79. https://doi.org/10.20956/j.v18i1.13975
[15] Setiadi, R., Pradana, H., & Yuwono, B. (2021). A Spatial Political-Economic Review on Urban Growth in Java under Economic Liberalization of Dutch Colonialism During the 19th Century. Indonesian Journal of Geography, 53(3), 307–323. https://doi.org/10.22146/ijg.60550