NPM : 140610230064

Mata Kuliah : Spatial Statistics

Program Studi : Statistika

Abstrak

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan utama kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat yang mencatat jumlah kasus tertinggi secara nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola penyebaran spasial kasus TBC serta faktor-faktor yang memengaruhinya menggunakan pendekatan analisis spasial ekonometrik. Data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi jumlah kasus TBC serta variabel lingkungan dan sosial seperti jumlah puskesmas, persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum layak, persentasi rumah tangga dengan sanitasi layak, dan indeks kualitas udara. Uji autokorelasi spasial menggunakan Moran’s I menunjukkan adanya keterkaitan spasial positif, yang mengindikasikan bahwa wilayah dengan kasus TBC tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki kasus tinggi. Model terbaik yang digunakan adalah Spatial Autoregressive Model (SAR), yang memperhitungkan pengaruh spasial antarwilayah. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah puskesmas dan persentase rumah tangga dengan sanitasi layak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC. Dari penelitian ini menegaskan pentingnya peningkatan fasilitas kesehatan dan perbaikan sanitasi sebagai upaya pengendalian TBC secara spasial di Jawa Barat.

Pendahuluan

Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi masalah besar bagi kesehatan di seluruh dunia. Menurut laporan WHO tahun 2023, jumlah kasus TBC secara global mencapai 10,8 juta jiwa, dengan Indonesia menempati posisi kedua tertinggi dengan sekitar 10% dari total kasus. Provinsi Jawa Barat memiliki kasus TBC terbanyak di seluruh Indonesia, dengan 224.798 kasus pada tahun 2024 menurut Badan Pusat Statistik. Kondisi ini menunjukkan bahwa TBC belum terkendali dan dapat menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ke-3, yaitu kehidupan sehat dan kesejahteraan bagi semua.

TBC sangat dipengaruhi oleh kondisi spasial dan lingkungan karena penyebarannya membentuk pola antarwilayah. Mobilitas penduduk dan kesamaan kondisi lingkungan dapat memengaruhi peningkatan kasus di daerah lain. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif pada kasus TBC di Jawa Tengah, di mana peningkatan kasus di satu kabupaten/kota meningkatkan risiko di wilayah tetangganya. Ini mendukung penggunaan model Autoregresi Spasial (SAR), yang mengasumsikan bahwa nilai variabel dependen (Y) di suatu wilayah dipengaruhi oleh Y di wilayah sekitarnya.

Selain aspek spasial, faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan juga berperan penting dalam penyebaran TBC. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan empat variabel independen utama yaitu :

  1. Jumlah Puskesmas, yang mencerminkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar. Semakin banyak fasilitas kesehatan, semakin cepat proses deteksi dan pengobatan TBC dilakukan, sehingga menekan penyebaran penyakit.

  2. Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum Layak, karena kualitas air yang buruk meningkatkan risiko infeksi sekunder dan menurunkan imunitas tubuh terhadap TBC.

  3. Persentase Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak, sebab sanitasi yang tidak memadai dapat memicu penyakit infeksi saluran pernapasan dan memperbesar risiko TBC. Di sisi lain, air minum aman dan sanitasi layak berhubungan langsung dengan kualitas hidup dan kesehatan penduduk.

  4. Indeks Kualitas Udara, karena polusi udara terutama partikulat halus (PM2.5) dapat merusak sistem pernapasan dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis.

Oleh karena itu, untuk memahami pola penyebaran TBC secara menyeluruh di Provinsi Jawa Barat, maka digunakanlah analisis spasial ekonometrik. Model SAR digunakan untuk menangkap efek dependensi spasial antarwilayah, sedangkan Spatial Error Model (SEM) digunakan untuk mengatasi korelasi pada komponen error antarwilayah. Kriteria informasi seperti Akaike Information Criterion (AIC) akan digunakan untuk memilih model terbaik. Melalui pendekatan ini, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai pola penyebaran TBC di Jawa Barat serta menjadi dasar kebijakan kesehatan publik yang efektif dan berbasis lokasi.

Identifikasi Masalah

  • Dalam kasus TBC di Jawa Barat, didapat kasus berjumlah 224.798 yang diduga membentuk pola spasial. Karena hal tersebut, uji autokorelasi spasial global seperti Moran’s I dan lokal seperti LISA berperan untuk membuktikan hal tersebut

  • Diperlukan model spasial ekonometrik yang sesuai (SAR atau SEM) untuk menjelaskan variasi jumlah kasus TBC antarwilayah di Jawa Barat

Tujuan Penelitian

  • Mendeksripsikan pla dan distribusi spasial pada kasus TBC di Jawa Barat pada tahun 2024

  • Menguji apakah terdapat autokorelasi spasial global dan lokal pada kasus TBC

  • Menganalisis pengaruh faktor kesehatan dan lingkungan terhadap kasus TBC dengan mempertimbangkan efek spasial

  • Menentukan model terbaik antara SAR atau SEM untuk menjelaskan kasus TBC di Jawa Barat

Batasan Penelitian

  • Penelitian berfokus pada kasus TBC di tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2024

  • Analisis spasial dilakukan pada level agregat wilayah (kabupaten/kota)

  • Variabel independen yang digunakan yaitu jumlah puskesmas, persentase air minum layak, persentase sanitasi layak, dan indkes kualitas udara

  • Model yang digunakan adalah SAR dan SEM dengan matriks bobot spasial queen contiguity

Tinjauan Pustaka

Spatial Dependence

Dependensi spasial adalah kondisi di mana nilai suatu variabel pada wilayah tertentu dipengaruhi oleh nilai variabel wilayah sekitarnya, sehingga bisa dibilang observasi antarwilayah tidak bersifat independen. Dependensi ini muncul akibat banyak faktor, diantaranya yaitu kedekatan geografis, kesamaan karakteristik, atau interaksi sosial yang menyebabkan suatu fenomena di satu lokasi menyebar ke sekitarnya. Seperti dalam kasus penyebaran TBC, wilayah dengan jumlah kasus tinggi diikuti oleh wilayah di sekitarnya karena memiliki lingkungan yang mirip serta akibat mobilitas penduduk di wilayah tersebut.

Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial menggambarkan tingkat hubungan antar nilai suatu variabel di satu lokasi dengan lokasi yang berdekatan secara geografis. Autokorelasi spasial positif terjadi saat wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang mirip sedangkan autokorelasi negatif terjadi saat wilayah berdekatan memiliki nilai yang berlawanan. Untuk mengetahui apakah suatu wilayah terdapat autokorelasi spasial, digunakanlah pendekatan secara global dengan ukuran Moran’s I dan Geary’s C, dimana Moran’s I berfungsi sebagai koefisien semacam korelasi Pearson namun mempertimbangkan aspek spasial, sedangkan Geary’s C berfungsi mirip dengan Moran’s I tetapi memiliki sifat lebih sensitif terhadap variasi lokal antarwilayah. Untuk pendekatan secara lokal, digunakan Local Moran’s I (LISA) yang berfungsi untuk mengidentifikasi klaster dalam wilayah seperti high-high, low-low, high-low, dan low-high.

Model Spatial Econometrics

Mdeol spasial ekonometrik digunakan untuk menangani pelanggaran asumsi independensi yang disebabkan oleh adanya dependensi antarwilayah. Model seperti Spatial Autoregressive Model (SAR) memasukkan pengaruh nilai variabel dependen dari wilayah tetangganya (spatial lag) dan Spatial Error Model (SEM) menggunakan dependensi spasial pada komponen error. Keduanya diestimasi menggunakan metode Maximum Likelihood

Metodologi Penelitian

Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari laman website Badan Pusat Statistika (BPS) Provinsi Jawa Barat, Open Data Jabar, dan Laporan Kinearja Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara tahun 2024. Pada penelitian ini mencakup data dari 27 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat. Untuk variabel-variabel yang digunakan sebagai berikut:

  • Variabel Dependen : Jumlah Kasus TBC (Y)

  • Variabel Independen :

    1. Jumlah Puskesmas (X1)
    2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Sumber Air Minum Layak (X2)
    3. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Sanitasi Layak (X3)
    4. Indeks Kualitas Udara (X4)

Korelasi Antar Variabel

knitr::include_graphics("korelasiantarvariabel.png")

Unit Spasial

Unit spasial dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat. Setiap kabupaten/kota dianggap sebagai satuan wilayah yang merepresentasikan satu observasi dalam analisis spasial.

Metode Analisis

Tahapan metode analisis yang dilakukan pada penelitian sebagai berikut:

  1. Eksplorasi Data Spasial : Dengan mengidentifikasi karateristik dan pola awal persebaran kasus TBC melalui analisis deskriptif dan peta
  2. Uji Autokorelasi Spasial : Untuk mengukur autokorelasi spasial dengan menggunakan Moran’s I dan mendeteksi klaster wilayah menggunakan Local Moran’s I (LISA)
  3. Pemodelan Spasial Ekonometrik : Membandingkan model SAR dan SEM menggunakan LM Test untuk mengetahui bentuk ketergantungan spasial pada model
  4. Pemilihan Model Terbaik : Memilih model terbaik berdasarkan hasil uji LM dan juga menggunakan Akaike Information Criterion untuk melihat model yang paling efisien
  5. Interpretasi dan Visualisasi : Menyajikan hasil estimasi dan pola klaster spasial lalu dilanjut dengan interpretasi

Alur Kerja Penelitian

  1. Pengumpulan Data : Mengambil data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, Open Data Jabar, dan Laporan Direktorat Pengendalian Pencemaran Lingkungan terkait jumlah kasus Tuberkolosis (TBC), jumlah puskesmas, persentase rumah tangga yang memiliki air minum layak, persentasi rumah tangga yang memiliki sanitasi layak, dan indeks kualitas udara
  2. Eksplorasi Data Spasial : Membuat peta untuk menggambarkan distribusi kasus TBC
  3. Uji Autokorelasi Spasial : Mengukur autokorelasi spasial secara global menggunakan Moran’s I dan secara lokal menggunakan Local Moran’s I (LISA)
  4. Pemodelan Model Spasial Ekonometrik : Membangun dan membandingkan Spatial Autoregression (SAR) dan Spatial Error Model (SEM) berdasarkan AIC dan hasil uji LM
  5. Pemilihan Model Terbaik : Menentukan model yang paling cocok untuk menjelaskan variasi spasial kasus TBC
  6. Visualisasi dan Interpretasi : Menampilkan peta hasil estimasi dan menginterpretasikan

Hasil dan Pembahasan

Peta Deskriptif

knitr::include_graphics("petasebaran.png")

Berdasarkan pada peta sebaran kasus TBC di atas, dapat dilihat bahwa kabupaten/kota yang memiliki kasus TBC yang tinggi (merah maroon) berdekatan dengan daerah yang memiliki kasus yang tinggi juga dan daerah dengan kasus rendah (merah terang) cenderung berdekatan dengan daerah yang kasusnya rendah. Hal ini dapat menunjukkan terdapat kemungkinan dependensi spasial antar daerah.

Hasil Uji Autokorelasi

Moran’s I

Berdasarkan hasil dari uji autokorelasi Moran’s I yang menggunakan matriks bobot spasial dengan queen continguity, didapatkan hasil p-value yang signifikan dan nilai I = 0.35 yang berarti terdapat autokorelasi spasial positif yang signifikan.

Local Moran’s I (LISA)

knitr::include_graphics("petalocalmoran.png")

Berdasarkan hasil local Moran’s I (LISA) di atas, menghasilkan nilai yang berbeda pada setiap daerah. Terdapat daerah yang membentuk cluster high-high yaitu Bekasi, Bogor, dan Depok dan untuk cluster low-low yaitu Garut dan Tasikmalaya.

Estimasi Model

Spatial Autoregression Model (SAR)

Variabel Koefisien Std. Error Z_Statistic Probability
Konstan -7111.828 10610.883 -0.6702 0.5027
X1 247.941 17.651 14.0465 <2.2e-16
X2 167.51 93.263 1.7961 0.0724
X3 -68.125 23.739 -2.8697 0.0041
X4 -92.440 51.785 -1.7851 0.0742

Berdasarkan hasil estimasi SAR diatas, variabel yang signifikan ada dua, yaitu X1 (jumlah puskesmas) bernilai positif dan X3 (sanitasi layak) bernilai negatif (Sanitasi Layak). Lalu, untuk \(\rho\) , dengan nilai 0.29934 dan p-value < 0.05 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah kasus TBC di suatu wilayah cenderung dipengaruhi oleh banyaknya kasus TBC di wilayah sekitarnya. Untuk AIC yang didapat sebesar 477.1

Spatial Error Model (SEM)

Variabel Koefisien Std. Error Z_Statistic Probability
Konstan -7066.247 11567.157 -0.6109 0.5413
X1 226.324 16.037 14.1125 <2.2e-16
X2 184.085 101.778 1.8087 0.0705
X3 -66.077 25.868 -2.5544 0.0106
X4 -68.433 58.184 -1.1761 0.2395

Berdasarkan hasil estimasi SEM diatas, variabel yang signifikan ada dua, yaitu X1 (jumlah puskesmas) bernilai positif dan X3 (sanitasi layak) bernilai negatif. Lalu, untuk \(\lambda\) , dengan nilai 0.59413 dan p-value < 0.05 menunjukkan bahwa terdapat autokorelasi spasial pada residual antar wilayah. Untuk AIC yang didapat sebesar 482.04

Perbandingan Model (LM-test)

Model LM-test p-value AIC
SAR 18.325 1.862e-05 477.1
SEM 9.3529 0.0022 482.04
Robust SAR 10.679 0.001 477.1
Robust SEM 1.7062 0.1915 482.04

Berdasarkan tabel uji Lagrange Multiplier di atas, dapat dilihat untuk p-value dari SAR dan SEM sama-sama signifikan. Untuk melihat mana model yang cocok digunakan, dapat kita lanjutkan ke pengujian robust dan diperoleh untuk p-value SAR yang signifikan sedangkan kali ini untuk p-value SEM tidak signifikan. Selain dari pengujian Lagrange Multiplier yang signifikan, model SAR memiliki AIC yang lebih kecil daripada model SEM sehingga model SAR disini cocok digunakan terhadap data dan lebih sederhana sesuai prinsip parsimoni.

Interpretasi Hasil

Dari hasil pengujian di atas, model SAR menjadi pilihan untuk digunakan dalam data kasus TBC. Untuk model yang terbentuk sebagai berikut

\(Y = \rho W Y + X\beta + \varepsilon, \ \varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I)\)

dengan :

  • Y = Angka kasus TBC pada kabupaten/kota di Jawa Barat

  • \(\rho\) = Dependensi spasial pada jumlah kasus TBC antar kabupaten/kota

  • W = Matriks bobot spasial

  • X = [1, X1, X2, X3, X4] dengan X1 = jumlah puskesmas, X2 = persentase rumah tangga yang memiliki air minum layak, X3 = persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak, X4 = indeks kualitas udara

  • \(\beta\) = Koefisien pada setiap variabel

Kesimpulan dan Saran

Kasus Tuberkolosis di Provinsi Jawa barat menunjukkan dependensi spasial yang positif, maka dari itu diperlukan pemodelan spasial ekonometrik. Model spasial ekonometrik terbaik sesuai pengujian Lagrange Multiplier dan AIC terkecil yaitu SAR. Pada hasil estimasi SAR dapat menunjukkan bahwa kasus TBC suatu wilayah dipengaruhi oleh kasus TBC di area tetangganya. Untuk variabel prediktor (X) yang berpengaruh signifikan yaitu jumlah puskesmas (X1) yang memiliki koefisien positif dan persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak (X3) yang memiliki koefisien negatif. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu bisa memasukkan variabel prediktor lain yang signifikan yang bisa menjelaskan jumlah kasus TBC

Daftar Pustaka

H. Zeanova et al., “Analisis Faktor Penyebab Penyakit TBC di Jawa Barat Menggunakan Regresi Binomial Negatif,” ResearchGate, 2024. [Online]. Available:https://www.researchgate.net/publication/387640440_ANALISIS_FAKTOR_PENYEBAB_PENYAKIT_TBC_DI_JAWA_BARAT_MENGGUNAKAN_REGRESI_BINOMIAL_NEGATIF

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia 2024, Jakarta: Kemenkes RI, 2024.

M. Sobari, I. G. N. M. Jaya, and B. N. Ruchjana, “Spatial Analysis of Dengue Disease in Jakarta Province,” CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, vol.7, no. 4, pp. 535–547, 2023.

L. Anselin, “Spatial Econometrics,” in A Companion to Theoretical Econometrics, B. H. Baltagi, Ed., Oxford: Blackwell Publishing, 2001, pp. 310–330.

H. I. Zebua and I. G. N. M. Jaya, “Spatial Autoregressive Model of Tuberculosis Cases in Central Java Province 2019,” CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, vol. 7, no. 2, pp. 240–248, 2022.

H. Yasin, A. R. Hakim, and B. Warsito, Regresi Spasial (Aplikasi dengan R), Pekalongan: WADE Group, 2020.

W. Wang et al., “Reclaiming independence in spatial-clustering datasets: A series of data-driven spatial weights matrices,” Statistics in Medicine, vol. 41, no. 15, pp. 2939–2956, 2022.

A. A. Grasa, Econometric Model Selection: A New Approach, Dordrecht: Springer, 2018.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air Minum Layak (Persen), 2024,” Statistik Table, diakses 2025. [Online]. Tersedia:https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/NzI5IzI=/persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-akses-terhadap-sumber-air-minum-layak-.html

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Persentase Keluarga dengan Akses Sanitasi Layak (Jamban Sehat) Berdasarkan Kabupaten/Kota di Jawa Barat,” Open Data Jabar, diakses 2025. [Online]. Tersedia:https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/persentase-keluarga-dengan-akses-sanitasi-layak-jamban-sehat-berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Jawa Barat,” Open Data Jabar, diakses 2025. [Online]. Tersedia:https://opendata.jabarprov.go.id/en/dataset/jumlah-puskesmas-berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Laporan Kinerja Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara Tahun 2024, Jakarta: Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, 2024.

Lampiran