1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perekonomian Indonesia pada tahun 2025 masih dihadapkan pada berbagai tantangan struktural yang signifikan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi akibat melemahnya konsumsi rumah tangga, tekanan inflasi, serta meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Kondisi tersebut turut memperlebar ketimpangan ekonomi antarprovinsi, di mana aktivitas produksi dan pusat pertumbuhan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara wilayah lain menghadapi keterbatasan infrastruktur dan kapasitas industri (Badan Pusat Statistik [BPS], 2024). Penurunan daya beli masyarakat dan perlambatan arus investasi semakin memperkuat kesenjangan tersebut, sehingga distribusi pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tidak merata antarwilayah (Kementerian Keuangan [Kemenkeu], 2025).

Dalam situasi demikian, Industri Mikro dan Kecil (IMK) memegang peranan strategis sebagai penggerak utama perekonomian daerah. Sektor ini berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja, memperluas basis produksi lokal, serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia (2025), pada tahun 2024 terdapat sekitar 30 juta unit IMK di seluruh Indonesia dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,55% per kuartal. Meskipun jumlahnya besar, distribusi dan kontribusi ekonomi IMK masih sangat timpang. Beberapa provinsi seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan nilai tambah yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain, menggambarkan adanya kesenjangan spasial dalam struktur perekonomian nasional.

Selain itu, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) juga berperan sebagai sumber penting dalam peningkatan kapasitas produksi, teknologi, dan produktivitas daerah. Namun, penyaluran investasi tersebut masih terpusat di kawasan industri utama, seperti di Jawa Barat dan Banten, sehingga dampak positifnya belum dirasakan secara merata di seluruh provinsi (Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM], 2025). Ketimpangan ini memperlihatkan adanya pola keterkaitan spasial yang kompleks, di mana pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak hanya bergantung pada faktor internal, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika ekonomi wilayah sekitarnya (Susanti et al., 2024).

Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini berfokus pada analisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) serta investasi asing terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024 dengan menggunakan pendekatan ekonometrika spasial. Pendekatan ini dinilai relevan karena mampu menangkap hubungan spasial antarwilayah yang sering kali terabaikan oleh metode analisis konvensional, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai interaksi ekonomi antar daerah. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan studi ekonomi spasial di Indonesia sekaligus menjadi landasan kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang lebih inklusif, merata, dan berkelanjutan.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, terdapat beberapa permasalahan penting yang perlu dikaji lebih lanjut terkait hubungan antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Industri Mikro dan Kecil (IMK), serta Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Secara teoritis, IMK berperan besar dalam menggerakkan perekonomian daerah melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah lokal, sementara PMA berfungsi sebagai sumber modal dan teknologi yang memperkuat kapasitas produksi wilayah. Namun, sejauh mana kedua faktor tersebut berkontribusi terhadap peningkatan PDRB di tingkat provinsi masih belum sepenuhnya dipahami secara empiris. Hal ini disebabkan oleh adanya variasi ekonomi antarwilayah, di mana setiap provinsi memiliki struktur industri, tingkat keterbukaan investasi, dan kapasitas pembangunan yang berbeda.

Selain itu, terdapat ketimpangan distribusi ekonomi antarprovinsi yang cukup menonjol. Data menunjukkan bahwa aktivitas industri dan investasi cenderung terkonsentrasi di wilayah Jawa dan sebagian Sumatera, sedangkan provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia masih menghadapi keterbatasan dalam infrastruktur, akses pasar, dan daya tarik investasi. Kondisi ini mengindikasikan adanya potensi ketergantungan spasial, di mana pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dapat dipengaruhi oleh kondisi provinsi di sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya berupaya menilai pengaruh IMK dan PMA terhadap PDRB secara langsung, tetapi juga mempertimbangkan aspek spasial antarwilayah untuk melihat sejauh mana interaksi ekonomi regional berperan dalam membentuk pola pemerataan pembangunan di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hubungan ekonomi antarprovinsi serta membantu mengidentifikasi potensi ketimpangan spasial yang masih terjadi hingga tahun 2024.

1.3 Tujuan Penelitian

  1. Menganalisis pola spasial variabel PDRB di Indonesia pada tahun 2024 untuk melihat apakah terdapat pengelompokan wilayah provinsi berdasarkan tingkat kinerja ekonomi regional.

  2. Menguji adanya autokorelasi spasial, baik secara global maupun lokal, pada variabel PDRB dengan tujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana keterkaitan dan pengaruh antarwilayah dalam distribusi pertumbuhan ekonomi.

  3. Menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) serta Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap PDRB provinsi di Indonesia tahun 2024 menggunakan pendekatan regresi spasial guna memahami peran kedua variabel tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi antarwilayah.

  4. Membandingkan hasil estimasi dari beberapa model ekonometrika spasial, untuk menentukan model yang paling sesuai dalam menjelaskan hubungan antarvariabel ekonomi regional.

  5. Memberikan interpretasi hasil serta rekomendasi kebijakan berdasarkan temuan penelitian terkait peran IMK dan PMA dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata antarprovinsi di Indonesia.

1.4 Batasan Peneltian

Penelitian ini dilakukan pada tingkat provinsi di Indonesia dengan 34 provinsi sebagai unit analisis, jumlah yang lebih sedikit dari total provinsi aktual karena keterbatasan ketersediaan data di beberapa wilayah. Variabel yang digunakan meliputi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai variabel respon serta jumlah Industri Mikro dan Kecil (IMK) dan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai variabel prediktor. Seluruh data bersifat sekunder dan cross-sectional tahun 2024, bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis dilakukan menggunakan pendekatan ekonometrika spasial, melalui pengujian autokorelasi spasial global dan lokal menggunakan Moran’s I dan LISA. Keterbatasan penelitian ini terletak pada penggunaan data satu periode yang tidak mampu menggambarkan dinamika antarwaktu, serta potensi perbedaan skala antarvariabel yang dapat memengaruhi interpretasi hasil.

2 BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep Spatial dan Spatial Heterogenity

Spatial dependence atau keterkaitan spasial menggambarkan kondisi ketika nilai suatu variabel di satu wilayah tidak sepenuhnya berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di wilayah lain yang memiliki kedekatan geografis. Dalam hal PDRB antarprovinsi di Indonesia, hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dapat dipengaruhi oleh provinsi tetangganya melalui mekanisme interaksi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, keterhubungan infrastruktur, atau kesamaan kebijakan pembangunan. Cartone et al. (2022) menyebut fenomena ini sebagai efek spillover spasial, yaitu penularan dinamika ekonomi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, yang menciptakan pola keterkaitan struktural dalam ruang. Pola ini sering terlihat dalam bentuk pengelompokan (clustering), misalnya provinsi dengan PDRB tinggi terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sementara provinsi dengan nilai rendah cenderung berkelompok di wilayah lain.

Proses terjadinya spatial dependence tidak hanya dipicu oleh kedekatan fisik, tetapi juga oleh keterhubungan fungsional antarwilayah. Jankiewicz et al. (2025) menunjukkan bahwa interaksi ekonomi lintas wilayah, seperti keterkaitan pasar tenaga kerja atau arus produksi, menyebabkan perubahan di satu wilayah memberikan dampak tidak langsung pada wilayah sekitar. Deng et al. (2024) juga menegaskan bahwa pengaruh spasial memiliki batas atenuasi, di mana efek interaksi menurun seiring bertambahnya jarak, namun tetap signifikan pada wilayah yang secara geografis atau ekonomi saling terhubung. Dengan demikian, spatial dependence menjadi fenomena struktural yang perlu diakui dalam analisis empiris agar hubungan antarvariabel tidak diperlakukan secara parsial.

Selain keterkaitan spasial, spatial heterogeneity juga menjadi karakter penting dalam data spasial. Spatial heterogeneity merujuk pada keberagaman kondisi antarwilayah, misalnya variasi karakteristik ekonomi, sosial, atau infrastruktur yang menyebabkan setiap provinsi tidak dapat diperlakukan seolah-olah memiliki struktur yang identik. Trinh et al. (2024) menyatakan bahwa perbedaan kapasitas ekonomi lokal dapat menghasilkan respons yang berbeda terhadap variabel penggerak seperti TPAK dan IPM. Wu et al. (2024) menambahkan bahwa heterogenitas spasial dapat muncul dalam bentuk perbedaan tingkat perkembangan wilayah, aksesibilitas, ataupun intensitas interaksi antarprovinsi.

Implikasinya terhadap analisis statistik cukup penting. Jika spatial dependence dan spatial heterogeneity diabaikan, lalu analisis tetap dilakukan dengan pendekatan non-spasial seperti OLS yang mengasumsikan independensi dan keseragaman antarobservasi, maka estimasi parameter berisiko bias dan interpretasi kebijakan menjadi tidak akurat. Oleh karena itu, pengujian autokorelasi spasial dan pengakuan terhadap perbedaan struktural antarwilayah menjadi prasyarat sebelum membangun model spatial econometrics agar analisis yang dilakukan tidak hanya valid secara statistik, tetapi juga relevan secara konteks wilayah.

2.2 Autokorelasi Spasial

Keterkaitan spasial yang telah dibahas sebelumnya tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga dapat diukur secara kuantitatif melalui analisis autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial mengacu pada hubungan antara nilai suatu variabel di suatu wilayah dengan nilai variabel yang sama di wilayah sekitarnya. Dalam konteks PDRB antarprovinsi di Indonesia, autokorelasi spasial penting untuk mendeteksi apakah provinsi dengan tingkat PDRB tinggi cenderung membentuk klaster pertumbuhan di kawasan tertentu atau justru tersebar tanpa pola yang jelas. Menurut Noviyanti et al. (2023), dalam studi mereka berdasarkan Jurnal Artha Info, ditemukan bahwa angka kemiskinan provinsi yang rendah cenderung dikelilingi oleh provinsi lain dengan karakteristik serupa, menunjukkan adanya pola spasial positif. Dalam kajian spasial, autokorelasi spasial dibedakan menjadi dua pendekatan utama: autokorelasi global dan autokorelasi lokal. Pendekatan global digunakan untuk mengevaluasi apakah secara keseluruhan terdapat pola spasial dalam data. Jika nilai autokorelasi global signifikan, maka terdapat indikasi pembentukan klaster antarwilayah dan pola tersebut tidak bersifat acak. Namun, pendekatan ini tidak dapat menunjukkan lokasi spesifik dari klaster atau potensi outlier spasial. Oleh karena itu, pendekatan autokorelasi lokal digunakan untuk mengidentifikasi area-area tertentu dengan konsentrasi nilai serupa, seperti hotspot (wilayah dengan nilai tinggi yang saling berdekatan), coldspot (wilayah dengan nilai rendah yang membentuk klaster), maupun anomali spasial. Beberapa ukuran statistik yang umum digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial meliputi Moran’s I Global, Geary’s C, Local Moran’s I (LISA), dan Getis–Ord Gi. Moran’s I Global dan Geary’s C digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial secara menyeluruh, sementara Local Moran’s I dan Getis–Ord Gi digunakan untuk mendeteksi pola spasial lokal secara lebih mendetail dalam wilayah tertentu.

2.2.1 Moran’s I Global

Moran’s I Global adalah ukuran yang paling umum digunakan untuk mendeteksi autokorelasi spasial global pada data. Indeks ini mengukur apakah terdapat pola pengelompokan nilai yang tinggi atau rendah antarwilayah. Nilai Moran’s I yang positif menunjukkan adanya klaster wilayah dengan nilai yang mirip (baik tinggi maupun rendah), sedangkan nilai negatif mengindikasikan pola penyebaran yang bersifat menyebar atau kontras antarwilayah.

Secara matematis, Moran’s I dirumuskan sebagai berikut:

\[ I = \frac{n}{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2} \]

di mana \(n\) adalah jumlah wilayah, \(w_{ij}\) adalah elemen matriks bobot spasial yang menunjukkan kedekatan antara wilayah \(i\) dan \(j\), \(x_i\) adalah nilai variabel pada wilayah \(i\), dan \(\bar{x}\) adalah nilai rata-rata variabel pada seluruh wilayah.


2.2.2 Geary’s C

Geary’s C merupakan ukuran autokorelasi spasial global yang lebih sensitif terhadap perbedaan lokal antarwilayah tetangga dibandingkan Moran’s I. Jika Moran’s I lebih memperhatikan kovarians antarwilayah, Geary’s C lebih menekankan perbedaan kuadrat antarwilayah yang berdekatan.

Rumus Geary’s C dituliskan sebagai berikut:

\[ C = \frac{(n - 1)}{2 \sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_i - x_j)^2} {\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2} \]


2.2.3 Local Moran’s I (LISA)

Local Moran’s I atau LISA (Local Indicators of Spatial Association) digunakan untuk mengidentifikasi klaster spasial lokal dan mendeteksi wilayah yang berpotensi menjadi hotspot, coldspot, atau outlier spasial

Formulasinya adalah sebagai berikut:

\[ I_i = \frac{(x_i - \bar{x})}{m_2} \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_j - \bar{x}) \]

dengan \[ m_2 = \frac{\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2}{n} \]

2.2.4 Getis–Ord Gi*

Indeks Getis–Ord Gi* digunakan untuk mendeteksi hotspot atau coldspot dengan melihat intensitas nilai tinggi atau rendah dalam radius spasial tertentu. Berbeda dengan Local Moran yang mengukur korelasi lokal, Getis–Ord Gi* fokus pada tingkat konsentrasi nilai tinggi atau rendah dalam suatu area

Rumus Getis–Ord Gi* adalah:

\[ G_i^* = \frac{\sum_{j=1}^n w_{ij} x_j - \bar{x} \sum_{j=1}^n w_{ij}} {s \sqrt{\frac{n \sum_{j=1}^n w_{ij}^2 - (\sum_{j=1}^n w_{ij})^2}{n - 1}}} \] ## 2.3 Spatial Econometrics

Spatial econometrics merupakan cabang dari ekonometrika yang mengintegrasikan unsur spasial ke dalam model regresi untuk menangkap keterkaitan antarwilayah. Pendekatan ini menjadi penting ketika asumsi independensi observasi antarunit geografis tidak terpenuhi, seperti pada kasus PDRB antarprovinsi di Indonesia, di mana aktivitas ekonomi di suatu wilayah sering kali dipengaruhi oleh wilayah lain yang berdekatan secara geografis. Ketika keterkaitan spasial diabaikan, estimasi Ordinary Least Squares (OLS) dapat menjadi bias dan tidak efisien karena adanya autokorelasi spasial pada residual atau pada variabel dependennya (Anselin, 2010)

Model dalam spatial econometrics umumnya dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu model yang berfokus pada ketergantungan spasial (spatial dependence) dan model yang menangkap heterogenitas spasial (spatial heterogeneity). Beberapa model yang sering digunakan antara lain OLS, Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Autoregressive Combined (SAC), dan General Nesting Spatial (GNS) model.

2.2.5 Ordinary Least Squares (OLS)

Model OLS digunakan sebagai pendekatan dasar sebelum mempertimbangkan komponen spasial. Model ini mengasumsikan bahwa antarobservasi bersifat independen, sehingga hubungan antara variabel dependen dan independen dapat dijelaskan melalui persamaan linear klasik:

\[ y = X\beta + \varepsilon \]

dengan \(y\) adalah vektor variabel dependen (misalnya PDRB per provinsi), \(X\) matriks variabel independen (seperti TPAK dan IPM), \(\beta\) parameter yang diestimasi, dan \(\varepsilon\) adalah komponen error yang diasumsikan berdistribusi normal dengan varian homogen dan tanpa autokorelasi spasial. Namun, jika terdapat korelasi spasial antarwilayah, maka model OLS tidak lagi menghasilkan estimasi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

2.2.6 Spatial Autoregressive Model (SAR)

Model SAR menambahkan efek ketergantungan spasial langsung pada variabel dependen melalui matriks bobot spasial \(W\):

\[ y = \rho W y + X\beta + \varepsilon \]

dengan \(\rho\) adalah koefisien autokorelasi spasial, \(W y\) menunjukkan pengaruh nilai \(y\) dari wilayah sekitar terhadap nilai \(y\) pada suatu wilayah, dan \(\varepsilon\) adalah residual acak. Model ini relevan ketika interaksi antarwilayah bersifat langsung, misalnya pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi provinsi tetangga.

Estimasi dengan Maximum Likelihood (ML)

Pendekatan estimasi yang paling umum digunakan dalam model SAR adalah Maximum Likelihood Estimation (MLE). Model dapat ditulis ulang menjadi bentuk setara dengan mendefinisikan \(A(\rho) = I - \rho W\):

\[ A(\rho)y = X\beta + \varepsilon \]

dengan \(\varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I)\).

Fungsi log-likelihood untuk model SAR dirumuskan sebagai berikut:

\[ \ell(\beta, \rho, \sigma^2) = \log|A(\rho)| - \frac{N}{2}\log\sigma^2 - \frac{1}{2\sigma^2}(A(\rho)y - X\beta)^\top(A(\rho)y - X\beta) \]

Untuk setiap nilai \(\rho\), estimasi parameter \(\beta\) dan \(\sigma^2\) diperoleh sebagai berikut:

\[ \hat{\beta}(\rho) = (X^\top X)^{-1}X^\top A(\rho)y \]

\[ \hat{\sigma}^2(\rho) = \frac{1}{N}\|A(\rho)y - X\hat{\beta}(\rho)\|^2 \]

Sehingga fungsi likelihood terkonsentrasi (concentrated likelihood) dapat ditulis sebagai:

\[ \ell_c(\rho) = \log|A(\rho)| - \frac{N}{2}\log\hat{\sigma}^2(\rho) \]

Nilai \(\rho\) yang memaksimalkan \(\ell_c(\rho)\) memberikan estimasi maximum likelihood untuk parameter autokorelasi spasial.

Interpretasi koefisien \(\rho\) menunjukkan tingkat pengaruh langsung antara nilai variabel dependen suatu wilayah dengan nilai variabel dependen di wilayah sekitarnya. Semakin tinggi \(\rho\), semakin kuat pengaruh antarwilayah yang terjadi.

2.2.7 Spatial Error Model (SEM)

Model SEM tepat digunakan jika hasil uji Moran’s I pada residual OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial, namun teori ekonomi atau sosial tidak mendukung adanya interaksi langsung antarwilayah pada variabel dependen.

Rumus Model:

\[ y = X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon, \quad \varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I) \]

dengan \(y\) sebagai variabel dependen (misalnya PDRB), \(X\) sebagai matriks kovariat (misalnya TPAK dan IPM), \(W\) adalah matriks bobot spasial, \(\lambda\) parameter autokorelasi error, dan \(\varepsilon\) adalah error acak.

2.2.8 Spatial Durbin Model (SDM)

Spatial Durbin Model digunakan ketika ada interaksi endogen pada y dan spillover dari kovariat. Model SDM merupakan perluasan dari SAR, dengan menambahkan pengaruh variabel independen dari wilayah sekitar ke dalam model.

\[ y = \rho W y + X\beta + W X\theta + \varepsilon \]

Parameter \(\theta\) merepresentasikan efek spasial dari variabel independen di wilayah tetangga. Model ini lebih fleksibel karena dapat menangkap efek spillover dari variabel-variabel penjelas, misalnya peningkatan IPM di suatu provinsi dapat berdampak pada peningkatan PDRB di provinsi sekitarnya.

2.2.9 Spatial Autoregressive Combined Model (SAC)

Model SAC menggabungkan unsur SAR dan SEM sekaligus, sehingga dapat menangkap ketergantungan spasial baik pada variabel dependen maupun pada error. SAC digunakan ketika ada interaksi endogen dan juga omitted variables berpola spasial. Berikut model SAC:

\[ y = \rho W y + X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]

2.2.10 General Nesting Spatial Model (GNS)

Model GNS merupakan bentuk paling umum dan komprehensif dalam ekonometrika spasial karena menggabungkan seluruh komponen ketergantungan spasial, baik pada variabel dependen, independen, maupun error:

\[ y = \rho W y + X\beta + W X\theta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]

Model ini memungkinkan peneliti untuk menguji berbagai bentuk hubungan spasial yang kompleks dan saling tumpang tindih. Dalam konteks PDRB antarprovinsi, model ini dapat mengungkapkan apakah pengaruh IPM dan TPAK suatu provinsi tidak hanya berdampak pada wilayahnya sendiri tetapi juga menyebar ke wilayah sekitar.

3 BAB 3 METODOLOGO PENELITIAN

3.1 Data dan Sumber Data

Pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari website resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (https://www.bps.go.id ). Data yang disediakan oleh BPS memiliki tingkat reliabilitas tinggi karena dikumpulkan melalui prosedur statistik resmi dan terstandar, sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk analisis spasial. Jenis data yang digunakan adalah data cross-sectional tahun 2024 dengan unit analisis berupa 34 provinsi di Indonesia. Pemilihan data cross-sectional dilakukan karena penelitian ini berfokus pada hubungan spasial antarprovinsi di Indonesia dalam menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) serta Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

# Import Library
library(sf)
## Linking to GEOS 3.13.1, GDAL 3.11.0, PROJ 9.6.0; sf_use_s2() is TRUE
library(dplyr)
## 
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
## 
##     filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
## 
##     intersect, setdiff, setequal, union
library(ggplot2)

# Baca shapefile & data CSV
shp <- st_read("gadm41_IDN_1.shp", quiet = TRUE)
data <- read.csv("PDRBipma.csv", stringsAsFactors = FALSE)

# Normalisasi nama provinsi di shapefile
shp$NAME_1 <- shp$NAME_1 %>%
  gsub(".*Yogyakarta.*", "DI Yogyakarta", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Jakarta.*", "DKI Jakarta", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Bangka.*Belitung.*", "Kepulauan Bangka Belitung", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Riau.*Islands.*|.*Kepulauan.*Riau.*", "Kepulauan Riau", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub("West Papua", "Papua Barat", .) %>%
  gsub("Papua Pegunungan|South Papua|Central Papua|Highland Papua", "Papua", .) %>%
  gsub("Papua Barat Daya", "Papua Barat", .)

# Bersihkan whitespace
shp$NAME_1 <- trimws(shp$NAME_1)
data$Provinsi <- trimws(as.character(data$Provinsi))

# Gabungkan shapefile & data
shp_data <- shp %>%
  left_join(data, by = c("NAME_1" = "Provinsi")) %>%
  filter(!is.na(PDRB) & !is.na(Jml_IMK) & !is.na(Realisasi_PMA))

# *** TAMBAHKAN BARIS INI ***
centroids <- st_centroid(shp_data)
## Warning: st_centroid assumes attributes are constant over geometries
# Visualisasi Peta Administratif dengan Titik Pusat
ggplot() +
  geom_sf(data = shp_data, fill = "lightgreen", color = "white", linewidth = 0.4) +
  geom_sf(data = centroids, color = "red", size = 2, alpha = 0.7) +
  geom_text(
    data = centroids,
    aes(
      x = st_coordinates(centroids)[, 1],
      y = st_coordinates(centroids)[, 2],
      label = NAME_1
    ),
    size = 2.8, color = "black", check_overlap = TRUE
  ) +
  labs(
    title = "Peta Administratif Provinsi Indonesia",
    subtitle = "Dengan Titik Pusat (Centroid) Setiap Provinsi",
    caption = "Sumber: GADM (2025)"
  ) +
  theme_minimal() +
  theme(
    plot.title = element_text(size = 14, face = "bold", hjust = 0.5),
    plot.subtitle = element_text(size = 10, hjust = 0.5)
  )

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh provinsi di Indonesia, yang secara administratif berjumlah 38 provinsi setelah adanya pemekaran wilayah terbaru. Namun demikian, dalam pelaksanaannya hanya 34 provinsi yang dapat dianalisis karena keterbatasan ketersediaan data pada beberapa provinsi baru hasil pemekaran. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pendekatan sensus spasial, di mana seluruh unit observasi yang memiliki data lengkap dijadikan sampel penelitian. Pendekatan ini dipilih agar analisis dapat menggambarkan hubungan spasial secara komprehensif antarprovinsi, tanpa kehilangan konteks geografis yang menjadi dasar dalam penerapan model ekonometrika spasial.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Jenis Variabel Nama Variabel Definisi Operasional Satuan Sumber Data
Variabel Dependen (Y) PDRB Nilai tambah bruto total dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu provinsi pada harga konstan tahun 2024 Miliar Rupiah BPS
Variabel Independen (X₁) Industri Mikro dan Kecil (IMK) Jumlah total unit usaha industri mikro dan kecil yang tercatat secara resmi di masing-masing provinsi pada tahun 2024 Unit BPS
Variabel Independen (X₂) Penanaman Modal Asing (PMA) Nilai realisasi investasi asing langsung yang masuk ke masing-masing provinsi selama tahun 2024 Juta US$ BPS

3.4 Metode Analisis

Metode analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan utama yang saling berkesinambungan untuk memperoleh hasil yang komprehensif.

  1. Analisis Deskriptif Spasial
    Tahap awal dilakukan dengan menyajikan peta tematik (choropleth map) guna menggambarkan persebaran PDRB, jumlah Industri Mikro dan Kecil (IMK), serta realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024.
    Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola persebaran dan ketimpangan spasial secara visual, sekaligus memberikan gambaran awal mengenai potensi adanya keterkaitan antarwilayah.

  2. Uji Autokorelasi Spasial Global dan Lokal
    Untuk menguji ada tidaknya keterkaitan spasial, dilakukan uji autokorelasi spasial global menggunakan Moran’s I serta uji autokorelasi spasial lokal menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA).
    Matriks pembobot spasial (\(W\)) dibangun dengan pendekatan queen contiguity, di mana dua provinsi dianggap bertetangga apabila berbagi batas wilayah.
    Hasil uji ini akan menunjukkan apakah PDRB di suatu provinsi dipengaruhi oleh kondisi PDRB di provinsi sekitarnya.

  3. Pemodelan Ekonometrika Spasial
    Setelah autokorelasi spasial terdeteksi, dilakukan pemodelan menggunakan pendekatan ekonometrika spasial. Model yang digunakan mencakup beberapa spesifikasi, yaitu:

    • Spatial Autoregressive Model (SAR), yang mengasumsikan bahwa PDRB suatu provinsi dipengaruhi oleh PDRB di provinsi lain melalui efek spasial lag.
    • Spatial Error Model (SEM), yang mengakomodasi adanya dependensi spasial pada komponen error.
    • Spatial Durbin Model (SDM), yang memasukkan efek spasial baik pada variabel dependen maupun independen.
    • Spatial Autocorrelation Model (SAC), yang merupakan gabungan antara SAR dan SEM.
    • General Nesting Spatial Model (GNS), model paling umum yang menggabungkan seluruh bentuk ketergantungan spasial baik pada variabel dependen, independen, maupun error.
      Estimasi dilakukan menggunakan fungsi lagsarlm(), errorsarlm(), lagsarlm(..., type = "Durbin"), dan fungsi lanjutan dari paket spdep atau spatialreg di R.
  4. Pemilihan Model Terbaik
    Untuk menentukan model yang paling sesuai, dilakukan Lagrange Multiplier (LM) test, Likelihood Ratio (LR) test, serta perbandingan Akaike Information Criterion (AIC).
    Model dengan hasil uji signifikan dan nilai AIC terendah akan dipilih sebagai model terbaik dalam menjelaskan hubungan spasial antarprovinsi.

  5. Interpretasi Efek Langsung dan Tidak Langsung
    Analisis dilanjutkan dengan menginterpretasikan efek langsung (direct effect) dan efek tidak langsung (indirect atau spillover effect) menggunakan fungsi impacts().
    Langkah ini bertujuan untuk memahami sejauh mana pengaruh IMK dan PMA terhadap PDRB terjadi di dalam suatu provinsi maupun menyebar ke wilayah lain di sekitarnya.

Metode ini dipilih karena mampu menangkap interaksi spasial simultan antarprovinsi di Indonesia, serta memberikan pemahaman mendalam mengenai bagaimana aktivitas industri mikro-kecil dan investasi asing berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi regional melalui keterkaitan spasial yang kompleks.

3.5 Alur Kerja Penelitian

Alur kerja penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Pengumpulan Data
    • Mengunduh data PDRB, Industri Mikro dan Kecil (IMK), dan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta shapefile batas administrasi provinsi di Indonesia.
  2. Pengolahan Data Awal
    • Melakukan pembersihan data (data cleaning), menyesuaikan kode dan nama provinsi, serta menggabungkan data numerik dengan data spasial melalui proses spatial join untuk membentuk spatial dataframe.
  3. Eksplorasi dan Visualisasi Deskriptif
    • Menyajikan peta tematik (choropleth map) dan analisis statistik deskriptif guna mengamati pola persebaran PDRB, IMK, dan PMA antarprovinsi serta mengidentifikasi potensi ketimpangan wilayah.
  4. Uji Autokorelasi Spasial (Moran’s I dan LISA)
    • Menguji adanya keterkaitan spasial global dan lokal antarprovinsi dengan menggunakan Moran’s I dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk memastikan relevansi penerapan model spasial.
  5. Estimasi Model Ekonometrika Spasial (SAR, SEM, SDM, SAC, GNS)
    • Melakukan estimasi terhadap model Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error (SEM), Spatial Durbin (SDM), Spatial Autocorrelation (SAC), dan General Nesting Spatial (GNS) guna mengidentifikasi pengaruh IMK dan PMA terhadap PDRB antarprovinsi.
  6. Pemilihan Model Terbaik dan Interpretasi Hasil
    • Membandingkan hasil estimasi model menggunakan Lagrange Multiplier (LM), Likelihood Ratio (LR), dan Akaike Information Criterion (AIC), serta menginterpretasikan efek langsung (direct effect) dan tidak langsung (spillover effect).
  7. Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
    • Merumuskan kesimpulan dari hasil analisis serta menyusun rekomendasi kebijakan terkait penguatan sektor industri mikro-kecil dan optimalisasi investasi asing dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis spasial.

Secara keseluruhan, diagram alur kerja penelitian ini dapat dilihat pada Gambar berikut.

4 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peta Deskriptif

  1. Peta PDRB


    Gambar diatas menunjukkan peta persebaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024. Secara visual terlihat adanya ketimpangan spasial yang cukup mencolok antara wilayah barat dan timur Indonesia. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, tampak berwarna merah hingga jingga tua yang menandakan nilai PDRB tertinggi. Hal ini sejalan dengan tingginya konsentrasi aktivitas industri, perdagangan, dan jasa di wilayah tersebut. Sebaliknya, provinsi-provinsi di kawasan Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua cenderung berwarna kuning muda, menunjukkan tingkat PDRB yang relatif lebih rendah. Kondisi ini menggambarkan bahwa aktivitas ekonomi nasional masih terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sedangkan daerah lain belum menunjukkan kontribusi signifikan terhadap total PDRB Indonesia.

    Pola distribusi pada peta tersebut mengindikasikan adanya pola spasial yang tidak acak, di mana provinsi dengan tingkat PDRB tinggi cenderung berdekatan dengan provinsi yang juga memiliki nilai tinggi, dan demikian pula sebaliknya. Fenomena ini memberikan indikasi awal adanya autokorelasi spasial positif, yang berarti kinerja ekonomi suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, analisis spasial lanjutan seperti uji Moran’s I dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) diperlukan untuk mengonfirmasi dan mengukur sejauh mana keterkaitan spasial tersebut terjadi antarprovinsi di Indonesia.

  2. Peta Jumlah Industri Kecil dan Mikro (IMK)


    Gambar diatas memperlihatkan peta persebaran jumlah Industri Mikro dan Kecil (IMK) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024. Secara umum, terlihat bahwa sebaran IMK menunjukkan pola yang serupa dengan persebaran PDRB, di mana Pulau Jawa mendominasi jumlah unit usaha industri mikro dan kecil. Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tampak berwarna merah tua hingga jingga pekat, menandakan konsentrasi IMK yang sangat tinggi dibandingkan wilayah lain. Kondisi ini menggambarkan bahwa kegiatan industri skala mikro dan kecil masih terpusat di wilayah dengan tingkat urbanisasi dan aktivitas ekonomi yang tinggi. Sebaliknya, sebagian besar provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua berwarna kuning muda, mengindikasikan jumlah IMK yang relatif rendah akibat keterbatasan infrastruktur, akses pasar, dan kapasitas produksi lokal.

    Distribusi spasial IMK ini memperlihatkan adanya ketimpangan ekonomi antarwilayah yang masih nyata di Indonesia. Konsentrasi IMK di Pulau Jawa berpotensi memperkuat efek aglomerasi ekonomi, di mana keberadaan industri kecil dan mikro di wilayah padat ekonomi menciptakan rantai pasok yang saling mendukung antar sektor. Namun, kondisi ini juga menunjukkan bahwa daerah di luar Jawa belum sepenuhnya mampu mengembangkan basis industrinya secara optimal. Pola spasial tersebut memberikan indikasi adanya autokorelasi spasial positif, yang berarti wilayah dengan jumlah IMK tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah yang memiliki jumlah tinggi pula. Oleh karena itu, analisis spasial lanjutan diperlukan untuk menilai sejauh mana keterkaitan antarprovinsi dalam hal persebaran sektor industri mikro dan kecil di Indonesia.

  3. Peta Penanaman Modal Asing (PMA)


    Gambar diatas menunjukkan peta persebaran realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024. Berdasarkan peta tersebut, terlihat bahwa distribusi investasi asing tidak merata antarwilayah. Konsentrasi tertinggi terlihat di DKI Jakarta serta beberapa provinsi di bagian timur seperti Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, yang ditandai dengan warna merah tua hingga jingga pekat. Provinsi-provinsi tersebut merupakan wilayah dengan aktivitas industri ekstraktif dan manufaktur berskala besar, khususnya di sektor pertambangan, pengolahan nikel, dan smelter logam, yang banyak menarik minat investor asing. Sementara itu, sebagian besar provinsi di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Papua tampak berwarna kuning muda, menunjukkan tingkat realisasi PMA yang relatif rendah pada tahun pengamatan.

    Pola spasial pada peta PMA ini menunjukkan bahwa aliran investasi asing di Indonesia masih bersifat terpusat dan selektif, mengikuti lokasi dengan potensi ekonomi strategis dan infrastruktur pendukung yang memadai. Kondisi ini memperlihatkan bahwa wilayah dengan basis industri kuat dan akses logistik yang baik lebih mampu menarik investasi asing dibandingkan daerah dengan keterbatasan fasilitas dan konektivitas. Fenomena tersebut mengindikasikan adanya hubungan spasial yang terarah, di mana keberadaan investasi di suatu provinsi dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh provinsi di sekitarnya melalui rantai pasok dan mobilitas ekonomi. Oleh karena itu, analisis spasial lanjutan diperlukan untuk menilai sejauh mana spillover effect dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi antarprovinsi di Indonesia.

4.2 Hasil Uji Autokorelasi

# --- Library
library(sf)
library(dplyr)
library(spdep)
## Loading required package: spData
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
library(knitr)
library(kableExtra)
## 
## Attaching package: 'kableExtra'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
## 
##     group_rows
# ============================================================
#  DATA & PERSIAPAN
# ============================================================
# --- Baca shapefile & data CSV
shp <- st_read("gadm41_IDN_1.shp", quiet = TRUE)
data <- read.csv("PDRBipma.csv", stringsAsFactors = FALSE)

# Normalisasi nama provinsi di shapefile
shp$NAME_1 <- shp$NAME_1 %>%
  gsub(".*Yogyakarta.*", "DI Yogyakarta", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Jakarta.*", "DKI Jakarta", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Bangka.*Belitung.*", "Kepulauan Bangka Belitung", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Riau.*Islands.*|.*Kepulauan.*Riau.*", "Kepulauan Riau", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub("West Papua", "Papua Barat", .) %>%
  gsub("Papua Pegunungan|South Papua|Central Papua|Highland Papua", "Papua", .) %>%
  gsub("Papua Barat Daya", "Papua Barat", .)

# Bersihkan whitespace
shp$NAME_1 <- trimws(shp$NAME_1)
data$Provinsi <- trimws(as.character(data$Provinsi))

# --- Gabungkan shapefile & data
shp_data <- shp %>%
  left_join(data, by = c("NAME_1" = "Provinsi")) %>%
  filter(!is.na(PDRB) & !is.na(Jml_IMK) & !is.na(Realisasi_PMA))

# Simplify geometry untuk performa lebih baik
shp_data <- st_simplify(shp_data, dTolerance = 0.01, preserveTopology = TRUE)

# --- Tetangga spasial
nb <- poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-5)
## Warning in poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-05): some observations have no neighbours;
## if this seems unexpected, try increasing the snap argument.
## Warning in poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-05): neighbour object has 10 sub-graphs;
## if this sub-graph count seems unexpected, try increasing the snap argument.
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)
  1. Moran’s I Test
# Moran's I untuk PDRB
moran_pdrb <- moran.test(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)
print(moran_pdrb)
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  shp_data$PDRB  
## weights: lw  
## n reduced by no-neighbour observations  
## 
## Moran I statistic standard deviate = 3.213, p-value = 0.0006569
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##        0.49549117       -0.03448276        0.02720819

Uji Moran’s I digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya autokorelasi spasial pada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024. Berdasarkan hasil pengujian yang ditunjukkan pada Gambar 4.4, diperoleh nilai Moran’s I sebesar 0.495, dengan nilai p-value sebesar 0.0006569. Nilai positif pada Moran’s I menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, sedangkan nilai p-value yang jauh lebih kecil dari tingkat signifikansi 0.05 menandakan bahwa hasil tersebut signifikan secara statistik. Dengan demikian, hipotesis nol (tidak ada autokorelasi spasial) ditolak, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan spasial yang nyata antarprovinsi di Indonesia dalam hal nilai PDRB.

Secara interpretatif, hasil ini menunjukkan bahwa provinsi dengan tingkat PDRB tinggi cenderung berdekatan dengan provinsi yang juga memiliki PDRB tinggi, dan sebaliknya, provinsi dengan PDRB rendah cenderung berdekatan dengan wilayah yang juga memiliki PDRB rendah. Pola ini mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia tidak tersebar secara acak, melainkan terkluster berdasarkan kedekatan geografis. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi wilayah sekitarnya. Temuan ini menjadi dasar penting untuk melanjutkan analisis ke tahap berikutnya, yaitu pengujian autokorelasi spasial lokal (LISA) dan pemodelan ekonometrika spasial, guna memahami lebih dalam pola dan arah keterkaitan antarprovinsi.

  1. Geary’s C Test
# Geary's C untuk PDRB
geary_pdrb <- geary.test(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)
print(geary_pdrb)
## 
##  Geary C test under randomisation
## 
## data:  shp_data$PDRB 
## weights: lw  
## n reduced by no-neighbour observations 
## 
## Geary C statistic standard deviate = 3.1416, p-value = 0.0008401
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic       Expectation          Variance 
##        0.40869539        1.00000000        0.03542567

Selain uji Moran’s I, analisis autokorelasi spasial juga dilakukan menggunakan Geary’s C test untuk mengonfirmasi konsistensi hasil keterkaitan spasial pada variabel PDRB antarprovinsi di Indonesia tahun 2024. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh nilai Geary’s C sebesar 0.4087 dengan p-value sebesar 0.0008401. Nilai Geary’s C yang lebih kecil dari 1 menandakan adanya autokorelasi spasial positif, sedangkan p-value yang lebih kecil dari tingkat signifikansi 0.05 menunjukkan bahwa hasil tersebut signifikan secara statistik. Dengan demikian, hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya autokorelasi spasial dapat ditolak, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan spasial yang kuat antarprovinsi dalam hal nilai PDRB.

Interpretasi hasil uji ini sejalan dengan temuan pada Moran’s I, di mana provinsi-provinsi dengan tingkat PDRB tinggi cenderung berdekatan dengan provinsi yang juga memiliki PDRB tinggi, sementara provinsi dengan PDRB rendah cenderung berdekatan dengan wilayah yang juga memiliki nilai rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia menunjukkan pola pengelompokan regional (spatial clustering) yang jelas. Konsistensi antara hasil Moran’s I dan Geary’s C memperkuat bukti bahwa distribusi PDRB antarprovinsi tidak bersifat acak, melainkan dipengaruhi oleh kedekatan geografis dan hubungan ekonomi antarwilayah. Oleh karena itu, hasil ini menjadi dasar penting bagi penerapan model ekonometrika spasial pada tahap analisis selanjutnya.

  1. LISA (Local Indicators of Spatial Association)
# LISA untuk PDRB
lisa_pdrb <- localmoran(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)

# Tambahkan hasil LISA ke shp_data
shp_data$lisa_Ii <- lisa_pdrb[, "Ii"]
shp_data$lisa_pval <- lisa_pdrb[, "Pr(z != E(Ii))"]

# Identifikasi cluster LISA
shp_data$lisa_cluster <- case_when(
  shp_data$lisa_pval > 0.05 ~ "Not Significant",
  shp_data$lisa_Ii > 0 & shp_data$PDRB > mean(shp_data$PDRB) ~ "High-High",
  shp_data$lisa_Ii > 0 & shp_data$PDRB < mean(shp_data$PDRB) ~ "Low-Low",
  shp_data$lisa_Ii < 0 & shp_data$PDRB > mean(shp_data$PDRB) ~ "High-Low",
  shp_data$lisa_Ii < 0 & shp_data$PDRB < mean(shp_data$PDRB) ~ "Low-High",
  TRUE ~ "Not Significant"
)

# Tabel hasil LISA
lisa_table <- shp_data %>%
  st_drop_geometry() %>%
  select(NAME_1, PDRB, lisa_Ii, lisa_pval, lisa_cluster) %>%
  arrange(desc(abs(lisa_Ii)))

kable(head(lisa_table, 10), 
      caption = "Top 10 Provinsi berdasarkan Local Moran's I",
      digits = 4,
      col.names = c("Provinsi", "PDRB", "Local Moran's I", "p-value", "Cluster Type")) %>%
  kable_styling(bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed"))
Top 10 Provinsi berdasarkan Local Moran’s I
Provinsi PDRB Local Moran’s I p-value Cluster Type
DKI Jakarta 3679358.60 4.5860 0.0108 High-High
Jawa Barat 2823338.73 4.0443 0.0007 High-High
Jawa Timur 3168295.58 3.7180 0.1127 Not Significant
Jawa Tengah 1817776.96 2.0909 0.0032 High-High
Banten 873626.25 0.7626 0.0000 High-High
DI Yogyakarta 193514.56 -0.6560 0.1982 Not Significant
Maluku Utara 95787.67 0.3917 0.5112 Not Significant
Maluku 62646.24 0.3917 0.5341 Not Significant
Papua 85914.33 0.3894 0.5206 Not Significant
Papua Barat 76177.48 0.3894 0.5273 Not Significant

Interpretasi LISA:

  • High-High: Provinsi dengan PDRB tinggi yang dikelilingi provinsi PDRB tinggi (hotspot ekonomi)
  • Low-Low: Provinsi dengan PDRB rendah yang dikelilingi provinsi PDRB rendah (coldspot ekonomi)
  • High-Low: Provinsi dengan PDRB tinggi di area PDRB rendah (outlier positif)
  • Low-High: Provinsi dengan PDRB rendah di area PDRB tinggi (outlier negatif)

Berdasarkan hasil analisis Local Moran’s I pada variabel PDRB tahun 2024, diketahui bahwa beberapa provinsi menunjukkan pola klaster spasial yang signifikan. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten termasuk dalam klaster High-High, yang berarti provinsi-provinsi tersebut memiliki nilai PDRB tinggi dan dikelilingi oleh provinsi dengan nilai PDRB tinggi pula. Hal ini menunjukkan adanya aglomerasi ekonomi yang kuat di kawasan Pulau Jawa, di mana aktivitas ekonomi terkonsentrasi dan saling memperkuat antarwilayah. Sementara itu, provinsi lain seperti Jawa Timur, DI Yogyakarta, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat tidak menunjukkan autokorelasi spasial yang signifikan (p-value > 0.05), yang mengindikasikan bahwa PDRB di wilayah-wilayah tersebut tidak dipengaruhi secara kuat oleh kondisi ekonomi di provinsi sekitar. Temuan ini menegaskan bahwa inti pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terfokus di koridor Jawa bagian barat, sementara wilayah lain belum membentuk klaster ekonomi yang signifikan secara spasial.

  1. Getis-Ord Gi* Statistic
# Getis-Ord Gi* untuk PDRB
getis_pdrb <- localG(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)

# Tambahkan hasil Getis-Ord ke shp_data
shp_data$getis_gi <- as.numeric(getis_pdrb)

# Klasifikasi hotspot/coldspot
shp_data$getis_class <- case_when(
  shp_data$getis_gi > 2.58 ~ "Hot Spot (99%)",
  shp_data$getis_gi > 1.96 & shp_data$getis_gi <= 2.58 ~ "Hot Spot (95%)",
  shp_data$getis_gi > 1.65 & shp_data$getis_gi <= 1.96 ~ "Hot Spot (90%)",
  shp_data$getis_gi < -2.58 ~ "Cold Spot (99%)",
  shp_data$getis_gi < -1.96 & shp_data$getis_gi >= -2.58 ~ "Cold Spot (95%)",
  shp_data$getis_gi < -1.65 & shp_data$getis_gi >= -1.96 ~ "Cold Spot (90%)",
  TRUE ~ "Not Significant"
)

# Tabel hasil Getis-Ord
getis_table <- shp_data %>%
  st_drop_geometry() %>%
  select(NAME_1, PDRB, getis_gi, getis_class) %>%
  arrange(desc(getis_gi))

kable(head(getis_table, 10),
      caption = "Top 10 Provinsi berdasarkan Getis-Ord Gi*",
      digits = 4,
      col.names = c("Provinsi", "PDRB", "Gi* Z-score", "Klasifikasi")) %>%
  kable_styling(bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed"))
Top 10 Provinsi berdasarkan Getis-Ord Gi*
Provinsi PDRB Gi* Z-score Klasifikasi
Banten 873626.2 4.1457 Hot Spot (99%)
Jawa Barat 2823338.7 3.3710 Hot Spot (99%)
Jawa Tengah 1817777.0 2.9485 Hot Spot (99%)
DKI Jakarta 3679358.6 2.5507 Hot Spot (95%)
Jawa Timur 3168295.6 1.5860 Not Significant
DI Yogyakarta 193514.6 1.2866 Not Significant
Aceh 243202.1 0.5467 Not Significant
Kalimantan Utara 146793.5 0.2254 Not Significant
Sumatera Barat 332936.4 0.0524 Not Significant
Riau 1112481.6 -0.0482 Not Significant

Hasil analisis Getis-Ord Gi* pada variabel PDRB tahun 2024 menunjukkan adanya pola pengelompokan wilayah dengan aktivitas ekonomi tinggi (hot spot) yang signifikan secara spasial. Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta memiliki nilai Gi* Z-score positif dan signifikan (masing-masing > 2.5) dengan tingkat kepercayaan 95–99%, sehingga dikategorikan sebagai hot spot. Hal ini menunjukkan bahwa keempat provinsi tersebut memiliki PDRB tinggi dan berdekatan dengan provinsi lain yang juga memiliki nilai PDRB tinggi, menegaskan keberadaan inti pertumbuhan ekonomi nasional di kawasan barat Pulau Jawa. Sementara itu, provinsi lain seperti Jawa Timur, DI Yogyakarta, Aceh, Kalimantan Utara, Sumatera Barat, dan Riau tidak menunjukkan nilai Gi* yang signifikan, sehingga tidak termasuk dalam klaster panas maupun dingin (cold spot). Temuan ini konsisten dengan hasil analisis Moran’s I dan LISA sebelumnya, yang sama-sama menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi Indonesia masih sangat terpusat di wilayah Jawa bagian barat, dengan tingkat keterkaitan spasial yang kuat antarprovinsi di kawasan tersebut.

4.3 Estimasi Model

# ============================================================
#  MODEL REGRESI SPASIAL
# ============================================================

# Library tambahan
library(spatialreg)
## Loading required package: Matrix
## 
## Attaching package: 'spatialreg'
## The following objects are masked from 'package:spdep':
## 
##     get.ClusterOption, get.coresOption, get.mcOption,
##     get.VerboseOption, get.ZeroPolicyOption, set.ClusterOption,
##     set.coresOption, set.mcOption, set.VerboseOption,
##     set.ZeroPolicyOption
library(lmtest)
## Loading required package: zoo
## 
## Attaching package: 'zoo'
## The following objects are masked from 'package:base':
## 
##     as.Date, as.Date.numeric
library(car)
## Loading required package: carData
## 
## Attaching package: 'car'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
## 
##     recode
library(tseries)
## Registered S3 method overwritten by 'quantmod':
##   method            from
##   as.zoo.data.frame zoo
  1. Model OLS (Ordinary Least Squares)
# Model OLS
ols_model <- lm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
summary(ols_model)
## 
## Call:
## lm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1399282  -173884   -51727    43659  2171620 
## 
## Coefficients:
##                Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)    
## (Intercept)   8.795e+04  1.184e+05   0.743 0.463179    
## Jml_IMK       2.026e+00  4.584e-01   4.419 0.000113 ***
## Realisasi_PMA 1.687e+02  4.013e+01   4.204 0.000207 ***
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## 
## Residual standard error: 548100 on 31 degrees of freedom
## Multiple R-squared:  0.6582, Adjusted R-squared:  0.6361 
## F-statistic: 29.85 on 2 and 31 DF,  p-value: 5.94e-08

Berdasarkan hasil estimasi model Ordinary Least Squares (OLS), hubungan antara variabel dependen Y (PDRB) dan dua variabel independen yaitu X₁ (Jumlah Industri Mikro dan Kecil/IMK) serta X₂ (Realisasi Penanaman Modal Asing/PMA) menunjukkan hasil yang signifikan. Nilai R² sebesar 0.6582 dan Adjusted R² sebesar 0.6361 menandakan bahwa sekitar 65,82% variasi PDRB dapat dijelaskan oleh kedua variabel tersebut, sementara sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Uji F menghasilkan p-value sebesar 5.94e-08, yang berarti model signifikan secara keseluruhan.

Secara parsial, kedua variabel independen memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Koefisien untuk X₁ (IMK) sebesar 2.026 dengan p-value 0.000113, menunjukkan bahwa peningkatan jumlah industri mikro dan kecil berdampak nyata pada peningkatan PDRB. Sementara itu, X₂ (PMA) memiliki koefisien 168.7 dengan p-value 0.000207, yang juga signifikan pada taraf 1%, menunjukkan bahwa meningkatnya realisasi investasi asing turut mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian, baik aktivitas industri mikro-kecil maupun investasi asing memiliki peranan penting terhadap peningkatan nilai tambah ekonomi regional.

Persamaan Model :

\[ \hat{y} = 87{,}950 + 2.026X_{1} + 168.7X_{2} + e \] Uji Diagnostik OLS

# Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera)
cat("Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera Test):\n")
## Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera Test):
jb_test <- jarque.bera.test(residuals(ols_model))
print(jb_test)
## 
##  Jarque Bera Test
## 
## data:  residuals(ols_model)
## X-squared = 94.07, df = 2, p-value < 2.2e-16
# Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
cat("\nUji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan Test):\n")
## 
## Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan Test):
bp_test <- bptest(ols_model)
print(bp_test)
## 
##  studentized Breusch-Pagan test
## 
## data:  ols_model
## BP = 14.73, df = 2, p-value = 0.0006332
# Uji Multikolinearitas (VIF)
cat("\nUji Multikolinearitas (VIF):\n")
## 
## Uji Multikolinearitas (VIF):
vif_values <- vif(ols_model)
print(vif_values)
##       Jml_IMK Realisasi_PMA 
##      1.165643      1.165643

Berdasarkan hasil Jarque-Bera test, diperoleh nilai X-squared sebesar 94.07 dengan p-value < 2.2e-16. Nilai p-value yang jauh lebih kecil dari 0.05 menunjukkan bahwa residual tidak berdistribusi normal. Hal ini mengindikasikan bahwa asumsi normalitas pada model OLS tidak terpenuhi sepenuhnya, sehingga hasil estimasi mungkin kurang efisien untuk inferensi klasik, namun tetap dapat digunakan sebagai model awal sebelum dilakukan pendekatan spasial.

Hasil uji Breusch-Pagan menunjukkan nilai BP sebesar 14.73 dengan p-value 0.0006332, yang lebih kecil dari 0.05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi heteroskedastisitas dalam model OLS. Artinya, varians error tidak konstan di seluruh observasi, sehingga penggunaan model spasial atau transformasi tertentu diperlukan untuk memperoleh estimasi yang lebih reliabel.

Nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk kedua variabel independen, yaitu X₁ (IMK) dan X₂ (PMA), masing-masing sebesar 1.1656. Nilai ini jauh di bawah ambang batas umum (VIF < 10), yang berarti tidak terdapat masalah multikolinearitas di antara variabel independen. Dengan demikian, kedua variabel dapat digunakan bersama dalam model tanpa menimbulkan distorsi akibat hubungan linear yang tinggi antar prediktor.

  1. Uji Lagrange Multiplier (LM)
# Uji LM untuk menentukan model spasial yang sesuai
lm_test <- lm.LMtests(ols_model, lw, test = "all", zero.policy = TRUE)
## Please update scripts to use lm.RStests in place of lm.LMtests
print(lm_test)
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
## test weights: listw
## 
## RSerr = 0.09692, df = 1, p-value = 0.7556
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
## test weights: listw
## 
## RSlag = 1.977, df = 1, p-value = 0.1597
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
## test weights: listw
## 
## adjRSerr = 2.764, df = 1, p-value = 0.0964
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
## test weights: listw
## 
## adjRSlag = 4.6441, df = 1, p-value = 0.03116
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data)
## test weights: listw
## 
## SARMA = 4.7411, df = 2, p-value = 0.09343

Uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya efek spasial, baik dalam bentuk spatial lag maupun spatial error. Berikut hasil pengujiannya:

Jenis Uji Nilai Statistik df p-value Keterangan
LM Error (RSerr) 0.0969 1 0.7556 Tidak signifikan
LM Lag (RSlag) 1.977 1 0.1597 Tidak signifikan
LM Error Adj (adjRSerr) 2.764 1 0.0964 Tidak signifikan (mendekati batas 10%)
LM Lag Adj (adjRSlag) 4.6441 1 0.0312 Signifikan pada α = 0.05
SARMA 4.7411 2 0.0934 Tidak signifikan

Berdasarkan hasil uji di atas, terlihat bahwa Adjusted LM Lag (adjRSlag) memiliki nilai p-value sebesar 0.0312, yang lebih kecil dari 0.05, menunjukkan adanya indikasi dependensi spasial dalam bentuk lag. Dengan demikian, model yang paling sesuai untuk dikembangkan lebih lanjut adalah model Spatial Lag (SAR), karena mengindikasikan bahwa PDRB suatu wilayah kemungkinan dipengaruhi oleh PDRB di wilayah sekitarnya.

  1. Model SAR (Spatial Autoregressive Model)
# Model SAR
sar_model <- lagsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, 
                      data = shp_data, 
                      listw = lw, 
                      zero.policy = TRUE)
## Warning in lagsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, listw = lw, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 1.35304e-24 - using numerical Hessian.
summary(sar_model)
## 
## Call:lagsarlm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, 
##     listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1205442  -193970   -66022    88688  2014871 
## 
## Type: lag 
## Regions with no neighbours included:
##  2 3 21 22 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                 Estimate Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)   2.2619e+04 1.0814e+05  0.2092 0.8343146
## Jml_IMK       1.7142e+00 4.5918e-01  3.7332 0.0001891
## Realisasi_PMA 1.5167e+02 3.7892e+01  4.0026 6.264e-05
## 
## Rho: 0.20176, LR test value: 2.5054, p-value: 0.11345
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.12235
##     z-value: 1.649, p-value: 0.099138
## Wald statistic: 2.7194, p-value: 0.099138
## 
## Log likelihood: -494.7021 for lag model
## ML residual variance (sigma squared): 2.5e+11, (sigma: 5e+05)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 5 
## AIC: 999.4, (AIC for lm: 999.91)

Hasil estimasi spatial lag menunjukkan bahwa kedua prediktor memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB: koefisien untuk \(X_{1}\) sebesar 1.7142 (p ≈ 0.00019) dan untuk \(X_{2}\) sebesar 151.67 (p ≈ 6.26e-05), yang berarti peningkatan pada jumlah IMK dan realisasi PMA berkaitan dengan peningkatan PDRB secara substansial. Parameter spasial (ρ = 0.20176) bersifat positif namun tidak signifikan pada level 5% (p ≈ 0.113), sehingga bukti efek ketergantungan spasial lewat lag PDRB relatif lemah dalam sampel ini; dengan kata lain variasi PDRB lebih kuat dijelaskan oleh \(X_{1}\) dan \(X_{2}\) daripada oleh nilai PDRB di provinsi tetangga.

\[ \hat{Y_i} \;=\; 22\,619 \;+\; 1.7142\,X_{1i} \;+\; 151.67\,X_{2i} \;+\; 0.20176\,WY_i \;+\; e_i \]

  1. Model SEM (Spatial Error Model)
# Model SEM
sem_model <- errorsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, 
                        data = shp_data, 
                        listw = lw, 
                        zero.policy = TRUE)
## Warning in errorsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, listw = lw, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 7.30144e-24 - using numerical Hessian.
summary(sem_model)
## 
## Call:errorsarlm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, 
##     listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1440530  -179531   -25649    67100  2124190 
## 
## Type: error 
## Regions with no neighbours included:
##  2 3 21 22 
## Coefficients: (asymptotic standard errors) 
##                 Estimate Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)   7.8878e+04 1.0801e+05  0.7303    0.4652
## Jml_IMK       2.0276e+00 4.1727e-01  4.8592 1.179e-06
## Realisasi_PMA 1.7441e+02 3.7743e+01  4.6211 3.818e-06
## 
## Lambda: -0.069788, LR test value: 0.12303, p-value: 0.72577
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.19509
##     z-value: -0.35772, p-value: 0.72055
## Wald statistic: 0.12796, p-value: 0.72055
## 
## Log likelihood: -495.8933 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 2.7234e+11, (sigma: 521860)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 5 
## AIC: 1001.8, (AIC for lm: 999.91)

Hasil estimasi model SEM menunjukkan bahwa variabel Jumlah Industri Mikro dan Kecil (X₁) serta Realisasi Penanaman Modal Asing (X₂) berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB antarprovinsi di Indonesia. Nilai koefisien untuk \(X_1 = 2.0276\) (p ≈ 1.18e-06) dan untuk \(X_2 = 174.41\) (p ≈ 3.82e-06) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah industri maupun investasi asing di suatu provinsi berkorelasi kuat dengan peningkatan output ekonominya. Sementara itu, parameter error spasial (\(\lambda = -0.0698\)) tidak signifikan (p ≈ 0.726), mengindikasikan bahwa efek ketergantungan spasial dalam komponen galat tidak dominan. Dengan demikian, variasi PDRB lebih dijelaskan oleh faktor internal provinsi dibandingkan oleh pengaruh spasial dari provinsi lain.

Persamaan Model:

\[ \hat{Y_i} = 78\,878 \;+\; 2.0276\,X_{1i} \;+\; 174.41\,X_{2i} \;+\; u_i \]

\[ u_i = \lambda W u_i + \varepsilon_i \]

  1. Model SDM (Spatial Durbin Model)
# Model SDM
sdm_model <- lagsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, 
                      data = shp_data, 
                      listw = lw, 
                      type = "mixed",
                      zero.policy = TRUE)
## Warning in lagsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, listw = lw, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 1.24534e-24 - using numerical Hessian.
## Warning in sqrt(fdHess[1, 1]): NaNs produced
summary(sdm_model)
## 
## Call:lagsarlm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, 
##     listw = lw, type = "mixed", zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1156564  -256260   -14814   150893  1757335 
## 
## Type: mixed 
## Regions with no neighbours included:
##  2 3 21 22 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                      Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)       -2.4960e+04  1.1643e+05 -0.2144  0.830247
## Jml_IMK            1.4963e+00  5.5046e-01  2.7183  0.006563
## Realisasi_PMA      1.5389e+02  3.6393e+01  4.2285 2.352e-05
## lag.Jml_IMK        5.8797e-01  5.6082e-01  1.0484  0.294452
## lag.Realisasi_PMA  6.6031e+01  4.2699e+01  1.5464  0.121996
## 
## Rho: 0.0012172, LR test value: 4.6375e-05, p-value: 0.99457
## Approximate (numerical Hessian) standard error: NaN
##     z-value: NaN, p-value: NA
## Wald statistic: NaN, p-value: NA
## 
## Log likelihood: -493.4515 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 2.3637e+11, (sigma: 486180)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 7 
## AIC: 1000.9, (AIC for lm: 998.9)

Hasil estimasi SDM menunjukkan bahwa variabel Jumlah Industri Mikro dan Kecil (X₁) dan Realisasi Penanaman Modal Asing (X₂) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Nilai koefisien untuk \(X_1 = 1.4936\) (p ≈ 0.0066) dan \(X_2 = 153.89\) (p ≈ 2.35e-05) menunjukkan bahwa peningkatan kegiatan industri kecil serta investasi asing secara signifikan meningkatkan PDRB provinsi. Sementara itu, efek spasial lag untuk kedua variabel (\(\text{lag.}X_1\) dan \(\text{lag.}X_2\)) tidak signifikan (p > 0.05), yang berarti pengaruh kegiatan ekonomi dari provinsi tetangga terhadap PDRB suatu provinsi relatif kecil. Nilai parameter \(\rho = 0.0012\) juga tidak signifikan (p ≈ 0.995), mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang kuat antarwilayah dalam model ini. Dengan demikian, SDM memperkuat kesimpulan bahwa variasi PDRB lebih banyak dijelaskan oleh faktor internal dibandingkan oleh pengaruh spasial antarprovinsi.

Persamaan Model:

\[ \hat{Y_i} = -24\,960 \;+\; 1.4936\,X_{1i} \;+\; 153.89\,X_{2i} \;+\; 0.5879\,W X_{1i} \;+\; 66.03\,W X_{2i} \;+\; e_i \]

  1. Model SAC (Spatial Autoregressive Combined/SARAR)
# Model SAC (kombinasi SAR dan SEM)
sac_model <- sacsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, 
                      data = shp_data, 
                      listw = lw, 
                      zero.policy = TRUE)
## Warning in sacsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, listw = lw, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 7.84234e-25 - using numerical Hessian.
summary(sac_model)
## 
## Call:sacsarlm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, 
##     listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1165841  -201317   -36963   132680  1740959 
## 
## Type: sac 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                  Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)   -8093.86240 92929.02892 -0.0871 0.9305942
## Jml_IMK           1.49586     0.41604  3.5955 0.0003238
## Realisasi_PMA   151.12025    36.11221  4.1847 2.855e-05
## 
## Rho: 0.29187
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.12976
##     z-value: 2.2493, p-value: 0.024492
## Lambda: -0.29923
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.20827
##     z-value: -1.4367, p-value: 0.1508
## 
## LR test value: 4.4336, p-value: 0.10896
## 
## Log likelihood: -493.738 for sac model
## ML residual variance (sigma squared): 2.2302e+11, (sigma: 472250)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 6 
## AIC: 999.48, (AIC for lm: 999.91)

Hasil estimasi model SAC menunjukkan bahwa variabel Jumlah Industri Mikro dan Kecil (X₁) dan Realisasi Penanaman Modal Asing (X₂) berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Nilai koefisien untuk \(X_1 = 1.4959\) (p ≈ 0.00032) dan \(X_2 = 151.12\) (p ≈ 2.86e-05) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah IMK dan realisasi PMA berkontribusi nyata dalam meningkatkan PDRB di tingkat provinsi. Parameter spasial \(\rho = 0.2919\) signifikan (p ≈ 0.024), menandakan adanya dependensi spasial pada variabel respon, di mana PDRB di suatu provinsi dipengaruhi oleh PDRB di provinsi tetangganya. Sementara itu, parameter \(\lambda = -0.2992\) tidak signifikan (p ≈ 0.151), yang mengindikasikan tidak adanya korelasi spasial yang kuat dalam error term. Hal ini berarti efek spasial utama muncul pada tingkat hubungan antarwilayah dalam variabel dependen, bukan pada struktur residualnya. Dengan nilai AIC sebesar 999.48, model SAC memberikan hasil yang cukup efisien dibandingkan model klasik, meskipun indikasi pengaruh spasial masih terbatas.

Persamaan Model :

\[ \hat{Y_i} = -8093.86 + 1.4959\,X_{1i} + 151.12\,X_{2i} + 0.2919\,W Y_i - 0.2992\,W \varepsilon_i + e_i \] \[ \hat{Y_i} = \rho W Y + X\beta + W\varepsilon\lambda + e_i \]

  1. Model GNS (General Nested Spatial)
gns_model <- sacsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, listw = lw,
                      type = "sacmixed",
                      zero.policy = TRUE)
## Warning in sacsarlm(PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, listw = lw, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 1.05901e-24 - using numerical Hessian.
summary(gns_model)
## 
## Call:sacsarlm(formula = PDRB ~ Jml_IMK + Realisasi_PMA, data = shp_data, 
##     listw = lw, type = "sacmixed", zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1156581  -256827   -14457   151861  1756474 
## 
## Type: sacmixed 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                      Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)       -2.6004e+04  1.2093e+05 -0.2150  0.829736
## Jml_IMK            1.4951e+00  5.4590e-01  2.7388  0.006167
## Realisasi_PMA      1.5571e+02  3.9415e+01  3.9506 7.795e-05
## lag.Jml_IMK        7.0003e-01  1.0419e+00  0.6719  0.501659
## lag.Realisasi_PMA  7.4885e+01  8.2443e+01  0.9083  0.363710
## 
## Rho: -0.049902
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.41817
##     z-value: -0.11933, p-value: 0.90501
## Lambda: 0.05415
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.40881
##     z-value: 0.13246, p-value: 0.89462
## 
## LR test value: 5.0175, p-value: 0.28551
## 
## Log likelihood: -493.4461 for sacmixed model
## ML residual variance (sigma squared): 2.3577e+11, (sigma: 485560)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 8 
## AIC: 1002.9, (AIC for lm: 999.91)

\[ \hat{Y} = -26{,}004.0 + 1.4951\,X_{1} + 155.71\,X_{2} + 70.00\,W X_{1} + 74.89\,W X_{2} - 0.0499\,W Y + 0.0541\,W\varepsilon + e \]

Hasil estimasi model GNS menunjukkan bahwa variabel Industri Mikro dan Kecil (X₁) dan Penanaman Modal Asing (X₂) berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB antarprovinsi, masing-masing dengan nilai p-value sebesar 0.006167 dan 0.000078. Sementara itu, efek spasial baik dari lag variabel independen maupun error spasial tidak signifikan (ρ = -0.0499, λ = 0.0541, keduanya p-value > 0.89), yang menandakan bahwa hubungan spasial antarprovinsi tidak dominan ketika kedua variabel ekonomi tersebut diperhitungkan langsung. Nilai AIC sebesar 1002.9 sedikit lebih tinggi dibandingkan model spasial lainnya, sehingga model GNS memberikan kesesuaian moderat namun tetap informatif dalam menangkap struktur hubungan simultan antara aktivitas ekonomi dan keterkaitan spasial antarwilayah di Indonesia.

4.4 Perbandingan Model

# Ekstrak nilai AIC, BIC, dan Log-Likelihood
model_comparison <- data.frame(
  Model = c("OLS", "SAR", "SEM", "SDM", "SAC"),
  AIC = c(
    AIC(ols_model),
    AIC(sar_model),
    AIC(sem_model),
    AIC(sdm_model),
    AIC(sac_model)
  ),
  BIC = c(
    BIC(ols_model),
    BIC(sar_model),
    BIC(sem_model),
    BIC(sdm_model),
    BIC(sac_model)
  ),
  LogLik = c(
    as.numeric(logLik(ols_model)),
    as.numeric(logLik(sar_model)),
    as.numeric(logLik(sem_model)),
    as.numeric(logLik(sdm_model)),
    as.numeric(logLik(sac_model))
  )
)

# Urutkan berdasarkan AIC (terkecil = terbaik)
model_comparison <- model_comparison %>%
  arrange(AIC)

kable(model_comparison,
      caption = "Perbandingan Model Regresi Spasial",
      digits = 2,
      align = c("l", "r", "r", "r")) %>%
  kable_styling(bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed"),
                full_width = FALSE) %>%
  row_spec(1, bold = TRUE, color = "white", background = "#28a745")
Perbandingan Model Regresi Spasial
Model AIC BIC LogLik
SAR 999.40 1007.04 -494.70
SAC 999.48 1008.63 -493.74
OLS 999.91 1006.02 -495.95
SDM 1000.90 1011.59 -493.45
SEM 1001.79 1009.42 -495.89

Berdasarkan hasil perbandingan nilai AIC, BIC, dan Log-Likelihood, model Spatial Autoregressive (SAR) menunjukkan performa terbaik dibandingkan model spasial lainnya seperti SAC, SDM, dan SEM, serta model non-spasial OLS. Nilai AIC terendah (999.40) dan BIC terendah (1007.04) menunjukkan bahwa model SAR memiliki keseimbangan paling baik antara kompleksitas model dan tingkat kesesuaian terhadap data. Selain itu, nilai Log-Likelihood sebesar -494.70 juga lebih tinggi (kurang negatif) dibandingkan model lainnya, yang menandakan bahwa model ini memberikan kecocokan yang lebih baik terhadap data observasi. Dengan demikian, model SAR dipilih sebagai model paling representatif untuk menjelaskan pengaruh Industri Mikro Kecil (IMK) dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap PDRB antarprovinsi di Indonesia tahun 2024 dengan mempertimbangkan efek spasial secara signifikan.

Uji Dependensi Spasial (Moran’s I Residual SAR)

# =========================================================
# Uji Dependensi Spasial (Moran’s I Residual SAR)
# =========================================================

# Mengambil residual dari model SAR
sar_residuals <- residuals(sar_model)

# Melakukan uji Moran’s I terhadap residual model SAR
moran_test_sar <- moran.test(sar_residuals, lw, zero.policy = TRUE)

# Menampilkan hasil uji Moran’s I
moran_test_sar
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  sar_residuals  
## weights: lw  
## n reduced by no-neighbour observations  
## 
## Moran I statistic standard deviate = -0.95395, p-value = 0.8299
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##       -0.18364844       -0.03448276        0.02445019

Interpretasi:

4.4.1 Uji Dependensi Spasial (Moran’s I Residual SAR)

Hasil uji Moran’s I terhadap residual model SAR menunjukkan nilai I = -0.1836 dengan p-value sebesar 0.8299, yang berarti tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada residual model. Nilai p-value yang jauh di atas taraf signifikansi 0,05 mengindikasikan bahwa penyebaran residual bersifat acak dan tidak menunjukkan pola spasial tertentu antarprovinsi. Dengan demikian, model Spatial Autoregressive (SAR) dinilai berhasil mengakomodasi dan menghilangkan pengaruh spasial yang sebelumnya terdapat dalam data. Hal ini menegaskan bahwa model SAR sudah mampu menangkap hubungan spasial secara memadai, sehingga hasil estimasi yang diperoleh dapat dianggap valid dan bebas dari bias spasial pada komponen error.

5 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Industri Mikro Kecil (IMK) dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024 dengan pendekatan ekonometrika spasial. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh bahwa terdapat ketimpangan spasial dalam persebaran PDRB di Indonesia, di mana provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan sebagian wilayah Sumatra cenderung memiliki nilai PDRB yang lebih tinggi dibandingkan provinsi di kawasan timur. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan kapasitas ekonomi dan konsentrasi aktivitas industri yang masih terpusat di wilayah tertentu. Hasil pengujian spasial menunjukkan bahwa terdapat indikasi keterkaitan antarwilayah, meskipun tidak selalu signifikan pada semua model, yang menggambarkan bahwa kondisi ekonomi suatu provinsi masih memiliki hubungan dengan wilayah di sekitarnya.

Berdasarkan hasil estimasi beberapa model, model Spatial Autoregressive (SAR) dipilih sebagai model terbaik dengan nilai AIC dan BIC terendah, sehingga mampu memberikan keseimbangan terbaik antara kompleksitas model dan kemampuan menjelaskan data. Model SAR menunjukkan bahwa baik IMK maupun PMA berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, yang berarti bahwa peningkatan jumlah industri mikro-kecil dan realisasi investasi asing dapat secara langsung mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Koefisien spasial pada model SAR juga mengindikasikan adanya pengaruh lintas wilayah yang relatif kecil namun tetap relevan, menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi antarprovinsi tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait secara geografis. Temuan ini memperkuat pentingnya memperhitungkan aspek spasial dalam analisis pembangunan ekonomi daerah di Indonesia.

Berdasarkan hasil tersebut, pemerintah diharapkan dapat memperkuat peran industri mikro dan kecil, khususnya di luar Pulau Jawa, melalui peningkatan akses pembiayaan, pelatihan kewirausahaan, serta penyediaan infrastruktur pendukung produksi. Selain itu, penyaluran PMA juga perlu diarahkan secara lebih merata ke wilayah dengan potensi ekonomi tinggi di luar pusat-pusat industri utama agar manfaat ekonomi dapat dirasakan secara lebih luas. Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data panel agar dapat menangkap dinamika antarwaktu serta mempertimbangkan variabel tambahan seperti infrastruktur, kualitas institusi, atau tingkat digitalisasi daerah. Selain itu, pengembangan model spasial yang lebih kompleks seperti Spatial Durbin Error Model (SDEM) atau Spatial Panel Model dapat menjadi langkah lanjutan untuk mendapatkan hasil estimasi yang lebih komprehensif. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris dalam perumusan kebijakan pembangunan ekonomi yang berkeadilan spasial dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.