Masalah kesehatan yang hingga saat ini masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia adalah malnutrisi atau gangguan nutrisi, salah satunya berupa stunting. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Anak-anak yang terkena stunting dapat mengalami kerusakan fisik dan kognitif yang parah dan tidak dapat diperbaiki, sehingga menyebabkan pertumbuhannya terhambat. Pada level global, prevalensi stunting telah menurun secara stabil sejak tahun 2000. Namun demikian, akselerasi penanganan kasus stunting masih harus menjadi perhatian khusus agar target prevalensi stunting yang telah ditetapkan untuk tahun 2030 sebesar 13,5 persen dapat tercapai (UNICEF, 2023).
Berbagai kajian dan perumusan kebijakan strategis telah diimplementasikan di Indonesia sebagai upaya percepatan penurunan kasus prevalensi stunting. UNICEF, WHO, dan The World Bank telah melakukan estimasi pemodelan stunting di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk memenuhi ketersediaan indikator yang relevan dan dapat diperbandingkan antarnegara. Prevalensi stunting di Indonesia diproyeksikan menurun secara gradual hingga tahun 2022, namun masih memerlukan upaya lebih untuk dapat mencapai target yang telah ditentukan oleh UNICEF, WHO, dan The World Bank di tahun 2030.
Isu krusial stunting mendapat perhatian khusus yang tercermin dengan adanya target-target periodik yang harus dicapai untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 khususnya di sektor kesehatan. Upaya penyediaan indikator untuk mengukur prevalensi stunting di Indonesia secara rutin (dalam periode tahunan) telah dilakukan sejak 2019 melalui Survei Status Gizi Indonesia (SSGI). Sebelumnya, statistik kasus stunting di Indonesia diperoleh melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Tren penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia sejalan dengan tren penurunan hasil estimasi pemodelan UNICEF, WHO, dan The World Bank dengan nilai persentase yang lebih rendah. Meskipun demikian, penanganan stunting tetap perlu dipercepat secara masif. Indonesia telah menetapkan target prevalensi stunting dalam jangka panjang di tahun 2045 sebesar 5 persen dengan indikator baseline pada tahun 2025 sebesar 13,5 persen (Kementerian PPN/Bappenas, 2024). Bahkan untuk mencapai baseline yang telah ditetapkan tersebut, Indonesia masih memerlukan eskalasi intervensi dan implementasi kebijakan agar kasus-kasus stunting dapat segera dituntaskan.
Sumber: Buku Saku SSGI 2024, dan Rancangan Akhir RPJPN 2025-2045
Gambar 1 menunjukkan bahwa prevalensi stunting secara nasional tercatat sebesar 24,4% pada 2021, 21,6% pada 2022, 21,5% pada 2023, hingga mencapai 19,8% pada tahun 2024. Namun, realisasi penurunan stunting dapat dikatakan masih jauh dari target sebesar 14,2 persen. Penurunan ini menjadi capaian penting, meskipun angka tersebut masih di atas target penurunan stunting nasional yang diselaraskan dengan World Health Assembly (WHA), yakni penurunan 40% pada tahun 2025 dibanding kondisi 2013, serta target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menghapuskan semua bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030.
Gambar 1.2 Disparitas Prevalensi Stunting pada Level Kabupaten/Kota,
Tahun 2024
Gambar 2 menunjukkan bahwa tingginya angka prevalensi terkonsentrasi pada wilayah Indonesia bagian tengah dan timur, sedangkan wilayah Indonesia bagian barat memiliki tingkat prevalensi relatif rendah. Ketimpangan nilai prevalensi tersebut secara tidak langsung menunjukkan timpangnya paparan penduduk di masing-masing daerah terhadap determinan penyebab stunting, yang pada akhirnya memunculkan kebutuhan untuk memetakan wilayah berdasarkan kerentanan penduduk agar target intervensi dapat lebih tepat sasaran (Beal, 2018). Dalam jangka panjang, Indonesia telah menetapkan target penurunan stunting di tiap-tiap wilayah provinsi melalui arah kebijakan transformasi sosial (Kementerian PPN/Bappenas, 2024) sebagaimana yang telah dimuat dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Analisis terhadap determinan prevalensi stunting perlu dilakukan dalam konteks spasial agar intervensi kebijakan dapat ditargetkan dengan baik sesuai karakteristik masing-masing wilayah (Beal et al, 2018). Dengan disparitas prevalensi stunting provinsi yang relatif tinggi, intervensi penurunan stunting dapat difokuskan sesuai karakteristik determinan di tiap-tiap provinsi atau jika memungkinkan di level kabupaten/kota. Salah satu metode pemodelan yang dapat dipakai untuk memetakan determinan stunting yang mengakomodasi aspek kewilayahan yaitu analisis Spasial Bayes yang dalam proses inferensinya menggunakan INLA (Integrated Nested Laplace Approximation) (Rue et al, 2022). Model Bayes sering digunakan untuk memodelkan data spasial dan data yang bersifat spatio-temporal (Amaral et al, 2023). INLA memungkinkan untuk melakukan inferensi aproksimatif Bayes pada pemodelan spasial dan spatio-temporal (Moraga, 2023). Rachmawati (2020) menggunakan INLA untuk melakukan pemodelan dan pemetaan kasus malnutrisi yang mengakomodasi aspek spasial.
WHO telah menyusun kerangka kerja yang memetakan isu stunting dari segi konteks (berdasarkan faktor komunitas sosial), penyebab kejadian, dan akibat kejadian stunting dalam jangka pendek dan jangka panjang (Stewart et al, 2013). Dalam kerangka kerja tersebut digambarkan bahwa penyebab kejadian stunting diklasifikasikan menjadi empat faktor utama yang meliputi rumah tangga dan keluarga (maternal dan lingkungan rumah), nutrisi makanan (kualitas, kelayakan, dan keamanan makanan dan sumber air minum), pemberian ASI, dan infeksi (klinis dan subklinis). Untuk konteks Indonesia, beberapa faktor yang termasuk dalam kerangka kerja tersebut terkonfirmasi menjadi determinan prevalensi stunting (Beal et al, 2018) yaitu meliputi kondisi ibu, kondisi bayi saat lahir, kondisi tumbuh kembang bayi, dan status sosial-ekonomi rumah tangga. Penelitian ini akan menganalisis determinan prevalensi stunting dari kelompok faktor sosial, ekonomi, lingkungan dan kesehatan keluarga dengan mengakomodasi aspek spasial.
Stunting pada balita merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang masih cukup tinggi di Indonesia. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif dan produktivitas jangka panjang. Upaya pemerintah telah dilakukan melalui berbagai program, namun prevalensi stunting masih belum menurun secara signifikan di beberapa wilayah.
Permasalahan yang muncul adalah:
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian stunting pada balita di Indonesia bersifat kompleks, melibatkan aspek sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.
Sebaran kasus stunting tidak merata, melainkan menunjukkan adanya pola spasial yang perlu dipetakan untuk mengetahui wilayah dengan kerentanan tinggi.
Metode analisis konvensional sering kali kurang optimal dalam menangkap struktur spasial dan ketidakpastian estimasi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan statistik yang lebih kuat, seperti pendekatan Bayesian dengan Integrated Nested Laplace Approximation (INLA) untuk memodelkan dan memetakan faktor-faktor tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita di Indonesia.
Memodelkan hubungan faktor-faktor tersebut menggunakan pendekatan Bayesian dengan INLA.
Membuat pemetaan spasial prevalensi stunting berdasarkan hasil pemodelan untuk mengetahui distribusi wilayah rawan stunting.
Memberikan rekomendasi berbasis data untuk mendukung perumusan kebijakan intervensi dalam upaya penurunan prevalensi stunting di Indonesia.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
Data yang digunakan terbatas pada data sekunder (misalnya data survei nasional atau data pemerintah) sehingga kualitas analisis sangat bergantung pada kelengkapan dan akurasi data tersebut.
Variabel yang dianalisis hanya mencakup faktor-faktor yang tersedia dalam dataset, sehingga mungkin masih ada faktor lain yang relevan namun tidak terakomodasi dalam model.
Analisis spasial dilakukan pada tingkat agregasi wilayah (provinsi/kabupaten), sehingga hasilnya tidak sepenuhnya merepresentasikan kondisi individu atau rumah tangga.
Kompleksitas metode Bayesian dengan INLA dapat menimbulkan tantangan dalam interpretasi hasil bagi pembuat kebijakan yang tidak memiliki latar belakang statistik.
Stunting merupakan salah satu indikator kegagalan pertumbuhan anak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan, sehingga analisis spasial dan temporal menjadi penting untuk memahami pola penyebarannya. Kajian sebelumnya menunjukkan bahwa prevalensi stunting tidak hanya bervariasi antarwilayah, tetapi juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga pendekatan spasio-temporal diperlukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.
Beberapa penelitian terdahulu menekankan peran faktor sosial ekonomi, seperti tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses layanan kesehatan, dalam memengaruhi prevalensi stunting di Indonesia, serta menggarisbawahi pentingnya pemetaan spasial untuk menentukan prioritas intervensi.
Meskipun demikian, sebagian besar penelitian masih terbatas pada pemodelan prediktif dan belum banyak mengembangkan peramalan jangka panjang berbasis metode Bayesian yang mampu mengakomodasi autokorelasi spasio-temporal dan permasalahan data hilang. Dengan demikian, penelitian ini memiliki urgensi dalam mengembangkan pendekatan Bayesian hierarkis dengan INLA untuk menghasilkan model spasio-temporal yang lebih akurat.
Metode Bayesian menawarkan pendekatan alternatif dalam estimasi dan inferensi parameter regresi linear. Pendekatan Bayesian dalam dunia statistika beberapa tahun terakhir mendapat perhatian serius karena kemampuannya memberikan hasil estimasi dan inferensi yang reliabel, khususnya untuk ukuran sampel kecil. Pendekatan ini menggabungkan informasi subjektif dan objektif untuk mendapatkan hasil yang lebih reliabel.
Hasil reliabel yang ditawarkan oleh pendekatan Bayesian harus dibayar dengan aspek teoritis dan komputasi yang relatif kompleks. Pada bab ini akan dibahas secara singkat tentang pemodelan analisis regresi dengan pendekatan Bayesian.
Pendekatan Bayesian melibatkan tiga komponen utama, yaitu Prior Distribution, Likelihood Function, dan Posterior Distribution.
Prior ditentukan terlebih dahulu sebelum data observasi dimiliki, sehingga seringkali likelihood dinyatakan sebagai fungsi yang memvalidasi prior. Posterior distribusi didefinisikan menggunakan Hukum Bayesian.
Misalkan \(D = \{y, X\}\) menyatakan data observasi dengan \(\theta = \{\beta, \sigma^2\}\) menyatakan parameter yang akan ditaksir. Maka posterior distribution dapat dinyatakan sebagai berikut:
\[ p(\theta \mid D) = \frac{p(D, \theta)}{p(D)} \] \[ \text{dengan } p(D, \theta) \text{ adalah distribusi densitas gabungan antara } D \text{ dan } \theta, \text{ serta } p(D) \text{ menyatakan densitas marginal dari variabel pengamatan } D. \]
Model Full Bayesian untuk memperkirakan risiko relatif
dikembangkan oleh Besag et al. (1991), yang dikenal sebagai model
BYM.
Heterogenitas non-korelasi spasial (\(u_i\)) diakomodasi dengan mendefinisikan
prior yang non-informatif untuk \(u_i\), biasanya berdistribusi normal
(Lawson et al., 2003):
\[ u_i \mid \tau_u \sim \text{i.i.d. Normal}(0, 1/\tau_u) \]
Heterogenitas korelasi spasial (\(s_i\)) terjadi karena adanya klaster spasial atau autokorelasi spasial (Lawson, 2006). Hal ini dapat dipertimbangkan dengan menggunakan informasi terkait daerah berdekatan, berdasarkan asumsi bahwa daerah yang berdekatan memiliki karakteristik spasial serupa dan risiko relatif serupa. Besag et al. (1991) mengusulkan prior sebagai berikut:
\[ s_i \mid s_{j \neq i}, \tau_s \sim \text{Normal}\left( \frac{\sum_j w_{ij} s_j}{\sum_j w_{ij}}, \frac{1/\tau_s}{\sum_j w_{ij}} \right) \]
dengan \(w_{ij}\) menunjukkan dependensi spasial antara daerah \(i\) dan \(j\), yang didefinisikan sebagai:
\[ w_{ij} = \begin{cases} 1, & \text{jika } j \text{ bersinggungan dengan } i \\ 0, & \text{lainnya} \end{cases} \]
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang berdampak jangka panjang pada kualitas sumber daya manusia. Di Indonesia, prevalensi stunting menunjukkan variasi antar kabupaten/kota yang dipengaruhi oleh kemiskinan, akses layanan kesehatan ibu–anak, air minum layak, sanitasi, serta faktor lingkungan. Untuk penajaman intervensi, diperlukan pemetaan risiko yang mampu menampilkan pola ketergerombolan (clustering) antardaerah sehingga wilayah prioritas dapat diidentifikasi dengan lebih akurat.
Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis data stunting tingkat kabupaten/kota guna menyusun taksiran risiko/prevalensi yang lebih stabil dan informatif bagi pengambil kebijakan.
Secara empiris, kejadian stunting antar kabupaten/kota tidak independen. Daerah bertetangga kerap berbagi karakteristik struktural seperti jaringan layanan kesehatan, kondisi pasar pangan, atau infrastruktur WASH yang menimbulkan korelasi spasial. Mengabaikan keterkaitan ini (misalnya dengan OLS/GLM biasa) berpotensi menghasilkan standard error yang bias, over/under-detection hotspot, dan peta risiko yang “berisik” terutama pada unit berpopulasi kecil. Karena itu, analisis yang digunakan memodelkan dependensi spasial secara eksplisit agar pola area-level dapat ditangkap dengan lebih baik.
Dalam banyak studi penyakit populasi, Standardized Mortality/Morbidity Ratio (SMR) sering dipakai sebagai indikator kasar. Namun, SMR rentan bias karena dipengaruhi ukuran populasi (small-area instability) dan tidak mengakomodasi kovariat maupun korelasi spasial. Alternatif yang lebih tepat ialah model Bayesian dengan pendekatan Integrated Nested Laplace Approximation (INLA).
INLA memanfaatkan aproksimasi Laplace berulang untuk menghitung posterior secara efisien, jauh lebih cepat dan stabil dibanding banyak skenario MCMC, sehingga cocok untuk pemodelan area-level berskala nasional.
Secara teknis, penelitian ini menerapkan model Bayesian spasial tipe BYM2 dalam kerangka INLA. Respon dimodelkan sebagai: - (i) Poisson dengan offset \(\log\)(populasi balita) untuk menaksir risk atau relative risk, atau - (ii) Gaussian untuk prevalensi (proporsi) bila data berbentuk persentase terstandar.
Struktur ketetanggaan antar kabupaten/kota dibangun dari shapefile Indonesia (queen contiguity) dan dimasukkan ke dalam komponen acak terstruktur (ICAR) serta tak terstruktur area-level (BYM2). Kovariat seperti kemiskinan, sanitasi, pendidikan ibu, dan cakupan layanan dimasukkan sebagai efek tetap.
Kelayakan model dinilai menggunakan DIC/WAIC, sementara hasilnya divisualisasikan dalam bentuk peta taksiran beserta kategori interval yang relevan bagi kebijakan (\(<10\%\), \(10\)–\(20\%\), \(20\)–\(30\%\), \(30\)–\(40\%\), \(\geq40\%\)).
Dengan demikian, pendekatan ini menghasilkan estimasi yang lebih halus, ketidakpastian yang terukur, dan pemetaan risiko stunting yang lebih dapat diandalkan untuk penentuan prioritas program.
Data penelitian ini mencakup 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan tahun pengamatan 2024, yang meliputi berbagai indikator terkait stunting dan faktor-faktor determinannya. Variabel utama berupa prevalensi stunting diperoleh dari Dashboard Konvergensi Penurunan Stunting Kementerian Dalam Negeri, sedangkan variabel sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan ibu, PDRB per kapita, dan tingkat kemiskinan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Sementara itu, faktor lingkungan dan perilaku seperti akses air minum layak, sanitasi layak, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta penggunaan kontrasepsi pascapersalinan (KB setelah persalinan) diambil dari Dashboard Cakupan Intervensi Konvergensi Stunting Kemendagri. Seluruh data tersebut digunakan untuk membangun model spasial Bayesian-INLA guna menaksir risiko relatif stunting antarwilayah dan menganalisis pengaruh faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan terhadap variasi spasial prevalensi stunting di Indonesia tahun 2024.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel respon (dependent variable) dan beberapa variabel prediktor (independent variable). Rincian variabel yang dilibatkan dalam penelitian dapat disajikan dalam Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1. Variabel Penelitian
| Variabel Penelitian | Keterangan | Satuan |
|---|---|---|
| Prevalensi Stunting | Variabel Respon (Y) | Persentase |
| Tingkat Pendidikan Ibu | Variabel Prediktor (X1) | Persentase |
| PDRB | Variabel Prediktor (X2) | Persentase |
| Tingkat Kemiskinan | Variabel Prediktor (X3) | Persentase |
| Air Minum Layak | Variabel Prediktor (X4) | Persentase |
| Sanitasi Layak | Variabel Prediktor (X5) | Persentase |
| PHBS | Variabel Prediktor (X6) | Persentase |
| KB Setelah Persalinan | Variabel Prediktor (X7) | Persentase |
Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya, maka dalam penelitian ini akan dicobakan beberapa model yang dituliskan sebagai berikut:
Model 1: Hanya Memasukkan Efek Fixed
\[ \eta_{i} = \beta_0 + X_i \beta, \quad (3.7) \]
Model 2: Memasukkan Efek Fixed dan Efek Spasial
\[ \eta_{i} = \beta_0 + X_i \beta + u_i + s_i, \quad (3.8) \]
Keterangan:
\[ \eta_{i} = \log(\theta_{i}) \]
\[ \begin{aligned} \beta_0 & : \text{risiko relatif keseluruhan} \\ X_{i} & : \text{vektor kovariat, } X_{i} = (X_{1}, \ldots, X_{i}) \\ \beta & : \text{vektor koefisien regresi, } \beta = (\beta_1, \ldots, \beta_K)^T \\ s_i & : \text{efek ketergantungan spasial} \\ u_i & : \text{efek heterogenitas spasial} \end{aligned} \]
Model di atas diestimasi menggunakan pendekatan Integrated
Nested Laplace Approximation (INLA).
Ukuran kecocokan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
DIC (Deviance Information Criterion) dan
R-Square.
Berikut merupakan Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Analisis deskriptif data — untuk memperoleh gambaran umum distribusi kasus dan variabel kovariat.
Pemeriksaan autokorelasi spasial — menggunakan Moran’s I atau Geary’s C untuk mendeteksi keterkaitan spasial antarwilayah.
Pemilihan model terbaik — berdasarkan kriteria DIC dan R-Square.
Evaluasi komponen spasial dan temporal dari model terbaik untuk memahami dinamika risiko relatif.
Uji signifikansi variabel dengan menggunakan credible interval (CI) dari distribusi posterior.
Menaksir risiko relatif (RR) dengan model spasial Bayesian (BYM2-INLA).
Membuat peta risiko relatif untuk visualisasi distribusi spasial risiko stunting antarwilayah.
Dengan tahapan tersebut, diharapkan hasil analisis dapat memberikan informasi spasial yang lebih komprehensif dan akurat untuk mendukung kebijakan intervensi gizi di Indonesia.
Dalam menggambarkan aspek spasial dan temporal diperlukan suatu matriks pembobot spatio-temporal. Matriks pembobot spatio-temporal merupakan matriks yang menggambarkan hubungan antarwilayah sekaligus antar waktu, dan diperoleh berdasarkan informasi jarak, persinggungan, atau fenomena yang relevan. Matriks ini berdimensi n × T, di mana n adalah jumlah unit wilayah dan T adalah dimensi temporal. Matriks pembobot spasial dilambangkan dengan W dan berukuran n × n.
Secara geografis, terdapat 30 kecamatan di Kota Bandung sehingga matriks pembobot spasial akan berdimensi 30 × 30 dengan nilai diagonal utama nol. Dalam penelitian ini digunakan metode Queen Contiguity, yaitu matriks pembobot di mana elemen bernilai 1 apabila wilayah i dan j bersinggungan pada sisi maupun sudut, serta bernilai 0 apabila keduanya tidak bersinggungan. Struktur ketetanggaan ini menjadi dasar dalam analisis spasio-temporal sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 6.
Autokorelasi spatio-temporal merupakan korelasi antar anggota
serangkaian pengamatan yang diurutkan berdasarkan ruang dan waktu. Salah
satu metode untuk menguji adanya autokorelasi spatio-temporal antar
lokasi pengamatan adalah Moran’s I Spatio-Temporal,
dengan rumus pada Persamaan (3.6). Uji ini dilakukan menggunakan
perangkat lunak R melalui package
MoranST (Jaya dkk., 2018). Hasil perhitungan disajikan pada
Tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3. Hasil Uji Autokorelasi Spatio-Temporal
| Pengujian | Statistik (I) | P-value |
|---|---|---|
| Moran Spatio-Temporal | 0.3203 | 0.000000022 |
Berdasarkan Tabel 4.3, nilai statistik Moran’s I sebesar 0.3203 yang berada pada rentang 0 ≤ I ≤ 1 menunjukkan adanya autokorelasi spatio-temporal positif. Nilai p-value sebesar 0.000000022 yang lebih kecil dari α = 0.05 mengindikasikan bahwa H₀ ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi spasial positif pada kasus prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Indonesia, artinya wilayah dengan prevalensi stunting tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah yang juga memiliki prevalensi tinggi.
Pemilihan model terbaik dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan nilai Deviance Information Criterion (DIC) dan R-Square. Model yang dipilih adalah model dengan nilai DIC terkecil dan R-Square terbesar. Hasil penghitungan berdasarkan Persamaan (3.32) dan (3.33) dengan bantuan perangkat lunak R untuk model (3.7) hingga (3.8) disajikan pada Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4. Hasil Ukuran Kecocokan Model
| No | Model | DIC | R-Square |
|---|---|---|---|
| 1 | η_i = β₀ + X_iᵀβ | 3451.99 | 0.1813 |
| 2 | η_i = β₀ + X_iᵀβ + uᵢ + sᵢ | 2914.61 | 0.2264 |
Berdasarkan Tabel 4.4, ketika efek spasial tidak dimasukkan ke dalam model, diperoleh nilai DIC sebesar 3451.99 dengan R-Square sebesar 0.1813. Sementara itu, ketika efek spasial dimasukkan, nilai DIC menurun secara signifikan menjadi 2914.61 dan R-Square meningkat menjadi 0.2264. Oleh karena itu, model dengan efek spasial (η_i = β₀ + X_iβ + uᵢ + sᵢ) dipilih sebagai model terbaik karena memberikan hasil yang lebih baik dalam menjelaskan variasi risiko relatif stunting di Indonesia.
Tahap selanjutnya setelah diperoleh model terbaik, yaitu:
\[ \eta_{i} = \beta_0 + X_{i} \beta + u_i + s_i, \]
adalah melakukan uji signifikansi variabel berdasarkan hasil taksiran parameter model. Uji ini bertujuan untuk menilai variabel mana yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi stunting serta arah pengaruhnya terhadap risiko stunting. Hasil estimasi parameter ditampilkan pada Tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6. Hasil Pengujian Variabel
| Variabel | Rata-rata | Standar Deviasi | 2.5% | 50% | 97.5% |
|---|---|---|---|---|---|
| Intercept | 10.926 | 1.521 | 7.942 | 10.927 | 13.907 |
| Tingkat Pendidikan Ibu | -0.072 | 0.022 | -0.116 | -0.116 | -0.028 |
| PDRB | 0.000 | 0.000 | 0.000 | 0.000 | 0.000 |
| Tingkat Kemiskinan | 0.218 | 0.051 | 0.119 | 0.218 | 0.317 |
| Air Minum Layak | 0.000 | 0.014 | -0.027 | 0.000 | 0.028 |
| Sanitasi Layak | 0.014 | 0.013 | -0.011 | 0.014 | 0.039 |
| PHBS | -0.050 | 0.012 | -0.074 | -0.050 | -0.027 |
| KB Setelah Persalinan | -0.011 | 0.010 | -0.031 | -0.011 | 0.008 |
Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh estimasi parameter sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, nilai intercept sebesar 10,926 dengan interval kredibilitas (7,942; 13,907) bersifat signifikan, yang menggambarkan rata-rata tingkat risiko dasar stunting ketika semua variabel independen bernilai nol. Variabel tingkat pendidikan ibu memiliki koefisien -0,072 dengan interval kredibilitas (-0,116; -0,028) dan bersifat signifikan negatif. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka prevalensi stunting cenderung menurun, sejalan dengan teori bahwa pendidikan ibu berperan penting dalam peningkatan pengetahuan gizi dan pola asuh anak.
Variabel PDRB menunjukkan koefisien 0,000 dengan interval (0,000; 0,000), yang menandakan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap stunting. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah belum secara langsung tercermin pada peningkatan status gizi anak. Sebaliknya, variabel tingkat kemiskinan memiliki koefisien positif 0,218 dengan interval (0,119; 0,317) dan signifikan secara statistik. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin besar kemungkinan terjadinya stunting, karena keterbatasan ekonomi dapat memengaruhi akses terhadap pangan bergizi, layanan kesehatan, dan sanitasi yang memadai.
Variabel air minum layak memiliki koefisien 0,000 dengan interval (-0,027; 0,028) dan tidak signifikan, menunjukkan bahwa ketersediaan air minum layak belum memberikan pengaruh langsung terhadap penurunan stunting. Variabel sanitasi layak memiliki koefisien 0,014 dengan interval (-0,011; 0,039) dan juga tidak signifikan, sehingga belum dapat disimpulkan memiliki pengaruh nyata terhadap kejadian stunting.
Selanjutnya, variabel perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) memiliki koefisien -0,050 dengan interval (-0,074; -0,027) yang signifikan negatif. Artinya, semakin baik penerapan PHBS di suatu wilayah, semakin rendah prevalensi stunting, karena perilaku higienis berkaitan erat dengan penurunan risiko infeksi dan peningkatan kesehatan anak. Variabel KB setelah persalinan menunjukkan koefisien -0,011 dengan interval (-0,031; 0,008), yang bernilai negatif namun tidak signifikan, sehingga pengaruhnya terhadap penurunan stunting belum dapat dipastikan secara statistik.
Komponen spasial uᵢ dalam model menggambarkan adanya ketergantungan spasial antar kabupaten/kota, yaitu bahwa prevalensi stunting di suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi wilayah tetangganya. Sementara itu, untuk wilayah yang tidak berbatasan langsung dengan wilayah administratif lain, model hanya menangkap efek acak nonspasial vᵢ yang merepresentasikan pengaruh faktor internal wilayah tersebut.
Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa faktor kemiskinan, pendidikan ibu, dan perilaku hidup bersih dan sehat merupakan determinan utama yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi stunting di Indonesia. Untuk mencapai target global penurunan stunting sebesar 13,5 persen pada tahun 2030 sebagaimana ditetapkan oleh UNICEF, WHO, dan The World Bank serta menjadi acuan RPJPN Indonesia, diperlukan upaya transformatif di tingkat kabupaten/kota. Hasil pemodelan spasial juga memungkinkan perhitungan tingkat risiko stunting per wilayah, yang menggambarkan peluang suatu daerah memiliki prevalensi stunting di atas rata-rata nasional (21,6 persen). Informasi ini sangat penting untuk menentukan prioritas intervensi kebijakan, sehingga program percepatan penurunan stunting dapat difokuskan pada wilayah dengan tingkat kerentanan yang relatif tinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Setelah melakukan pemeriksaan signifikansi variabel, selanjutnya dapat dicari nilai taksiran Risiko Relatif menggunakan Bayesian Spasial dengan package INLA. Adapun hasil perhitungan diperoleh sebagai berikut.
Tabel 4.7. Taksiran Risiko Relatif Menggunakan Bayesian Spasial Model
| Min | Median | Rata-rata | Maks |
|---|---|---|---|
| -2,599 | 7,694 | 8,12 | 28,451 |
Berdasarkan hasil pengujian model Bayesian Spasial menggunakan paket INLA, diperoleh nilai taksiran Risiko Relatif (RR) dengan nilai minimum sebesar -2,599, median 7,694, rata-rata 8,12, dan maksimum 28,451. Nilai RR yang paling rendah yaitu Kota Jakarta Selatan, sedangkan nilai RR dengan risiko tertinggi adalah Kabupaten Sumba Barat Daya dengan nilai RR sebesar 28,451, diikuti oleh Kabupaten Rokan Hulu (20,247), Kabupaten Intan Jaya (19,971), Kabupaten Kepulauan Selayar (18,310), Kabupaten Tolikara (18,247), Kabupaten Nduga (18,168), Kabupaten Lanny Jaya (18,133), Kabupaten Maybrat (17,981), Kabupaten Puncak Jaya (17,825), Kabupaten Puncak (17,255), dan Kabupaten Kepulauan Mentawai (17,148).
Hasil ini menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tersebut memiliki tingkat risiko relatif stunting yang jauh di atas rata-rata nasional. Sebagian besar kabupaten dengan RR tinggi berasal dari kawasan Indonesia Timur, terutama provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, serta Nusa Tenggara Timur. Kondisi ini menegaskan bahwa wilayah-wilayah tersebut perlu menjadi prioritas utama dalam intervensi program percepatan penurunan stunting melalui peningkatan akses gizi, pelayanan kesehatan, serta perbaikan lingkungan dan sanitasi dasar.
Berdasarkan peta taksiran prevalensi stunting hasil pemodelan Bayesian
INLA, terlihat bahwa sebagian besar wilayah di Indonesia berada pada
kategori rendah (<10%) yang ditunjukkan dengan warna hijau, terutama
di Pulau Jawa, Bali, dan sebagian besar Sumatera. Namun, masih terdapat
sejumlah kabupaten/kota dengan prevalensi stunting pada kategori 10–20%
(kuning) yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua. Beberapa wilayah kecil bahkan berada pada kategori 20–30%
(oranye), walaupun jumlahnya relatif sedikit dan terlokalisasi. Kondisi
ini menunjukkan adanya ketimpangan antarwilayah, di mana sebagian besar
daerah telah menunjukkan capaian baik dalam penurunan stunting, tetapi
masih ada daerah-daerah tertentu khususnya di Indonesia Timur yang
menghadapi tantangan serius. Secara keseluruhan, peta ini memperlihatkan
pola spasial stunting yang dapat menjadi dasar penting dalam merumuskan
kebijakan intervensi yang lebih terfokus pada daerah dengan kategori
prevalensi lebih tinggi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial, ekonomi, dan perilaku kesehatan masyarakat berperan penting dalam menentukan tingkat prevalensi stunting di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian model Bayesian Spasial menggunakan pendekatan INLA, ditemukan bahwa tingkat pendidikan ibu, tingkat kemiskinan, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap stunting. Pendidikan ibu yang lebih tinggi berkontribusi terhadap peningkatan pengetahuan tentang gizi, pola asuh, dan kesehatan anak, sehingga mampu menurunkan risiko stunting. Sebaliknya, kemiskinan berhubungan positif dengan stunting karena keterbatasan ekonomi dapat menghambat akses terhadap pangan bergizi, sanitasi layak, dan layanan kesehatan. PHBS yang baik berperan dalam menurunkan risiko infeksi dan penyakit yang menjadi penyebab tidak langsung stunting.
Sementara itu, variabel PDRB, air minum layak, sanitasi layak, dan KB setelah persalinan tidak menunjukkan pengaruh signifikan. Hal ini dapat dijelaskan karena peningkatan ekonomi secara agregat belum menjamin perbaikan gizi anak apabila tidak diikuti dengan pemerataan kesejahteraan dan peningkatan kualitas layanan dasar di tingkat rumah tangga. Begitu pula dengan fasilitas air minum dan sanitasi, efeknya mungkin tidak langsung terasa terhadap stunting apabila perilaku dan praktik kebersihan masyarakat masih rendah. Berdasarkan hasil taksiran Risiko Relatif (RR), wilayah dengan risiko tertinggi adalah Kabupaten Sumba Barat Dayadi Nusa Tenggara Timur, diikuti oleh Rokan Hulu di Riau, serta beberapa kabupaten di Papua Tengah dan Papua Pegunungan seperti Intan Jaya, Tolikara, Nduga, Lanny Jaya, dan Puncak Jaya. Daerah-daerah ini umumnya memiliki karakteristik sosial ekonomi yang lemah, tingkat kemiskinan tinggi, pendidikan ibu yang rendah, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan infrastruktur dasar. Kondisi geografis yang sulit dijangkau juga memperburuk distribusi pangan dan pelayanan kesehatan ibu-anak.
Hasil pemetaan spasial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Jawa, Bali, dan Sumatera telah berada pada kategori rendah (<10%), menandakan keberhasilan program gizi dan kesehatan di wilayah tersebut. Sebaliknya, wilayah di Indonesia Timur, khususnya Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara, masih berada pada kategori sedang hingga tinggi (>10%), mencerminkan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Berdasarkan temuan ini, saran kebijakan yang dapat diberikan adalah pemerintah perlu memperkuat intervensi yang berbasis wilayah dan lintas sektor, dengan prioritas pada daerah berisiko tinggi di kawasan timur Indonesia. Upaya ini harus diarahkan pada peningkatan pendidikan ibu, pengentasan kemiskinan, serta penguatan program PHBS dan layanan kesehatan dasar. Pemerintah daerah juga perlu meningkatkan akses infrastruktur seperti air bersih dan sanitasi, serta memperluas pendampingan keluarga berisiko stunting melalui kader kesehatan dan posyandu.
Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk mengembangkan model spasio-temporal Bayesian dengan cakupan waktu lebih panjang agar dapat memantau dinamika stunting dari tahun ke tahun, serta menambahkan variabel lain seperti pola konsumsi gizi, akses pangan, dan kondisi lingkungan mikro. Pendekatan ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif untuk mendukung kebijakan penurunan stunting yang berbasis bukti ilmiah.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu, tingkat kemiskinan, dan PHBS berpengaruh signifikan terhadap prevalensi stunting. Pendidikan ibu dan PHBS berpengaruh negatif, artinya peningkatan keduanya dapat menurunkan stunting. Sebaliknya, kemiskinan berpengaruh positif, menunjukkan semakin tinggi kemiskinan maka risiko stunting meningkat. Variabel lain seperti PDRB, air minum layak, sanitasi layak, dan KB setelah persalinan tidak signifikan. Selain itu, terdapat pengaruh spasial antarwilayah, sehingga penanganan stunting perlu mempertimbangkan keterkaitan antar daerah.
Berdasarkan hasil taksiran Risiko Relatif (RR) menggunakan model Bayesian Spasial, diketahui bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki risiko stunting tertinggi di Indonesia, diikuti oleh beberapa daerah lain seperti Rokan Hulu, Intan Jaya, dan Kepulauan Selayar. Sebaliknya, Kota Jakarta Selatan memiliki risiko terendah. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan spasial dalam tingkat risiko stunting, di mana wilayah dengan risiko tinggi umumnya berada di kawasan timur Indonesia, khususnya Papua dan Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, daerah-daerah tersebut perlu menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan program percepatan penurunan stunting.
Hasil pemetaan prevalensi stunting dengan model Bayesian INLA menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia, terutama Jawa, Bali, dan Sumatera, berada pada kategori rendah (<10%). Namun, wilayah di Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masih menunjukkan prevalensi lebih tinggi. Pola ini menegaskan adanya ketimpangan spasial, di mana wilayah timur memiliki risiko stunting lebih besar, sehingga perlu menjadi prioritas utama intervensi penurunan stunting.
Saran yang diberikan bedasarkan penelitian ini untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut :
Untuk Pemerintah: Pemerintah perlu memperkuat program penurunan stunting berbasis wilayah, dengan fokus pada provinsi di Indonesia Timur seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur yang memiliki risiko tinggi. Upaya ini dapat dilakukan melalui peningkatan akses pendidikan bagi ibu, pengentasan kemiskinan rumah tangga, serta perluasan program PHBS di tingkat masyarakat. Selain itu, kebijakan intervensi perlu mengintegrasikan pendekatan lintas sektor—melibatkan bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur dasar—guna memastikan penanganan stunting dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Untuk Peneliti Selanjutnya: Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan dimensi temporal agar dapat menganalisis perubahan prevalensi stunting dari waktu ke waktu, serta mempertimbangkan variabel tambahan seperti akses pangan, kualitas layanan kesehatan, dan status gizi ibu. Selain itu, penggunaan model spasio-temporal Bayesian dengan resolusi data lebih tinggi dapat memberikan gambaran risiko yang lebih detail dan akurat sebagai dasar perencanaan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
UNICEF, WHO, & The World Bank. (2023). Joint child malnutrition estimates: Key findings of the 2023 edition.
Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Diskusi publik kesehatan dan hak asasi manusia (HAM). Jakarta. Retrieved June 28, 2024, from https://www.antaranews.com/berita/3749670/bappenas-sebut-transformasi-kesehatan-modal-bangun-sdm-maju-di-2045
Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2018). A review of child stunting determinants in Indonesia. Maternal & Child Nutrition, 14(4), e12617. https://doi.org/10.1111/mcn.12617
Rue, H., Lindgren, F., & Krainski, E. T. (2022). INLA: Full Bayesian analysis of latent Gaussian models using integrated nested Laplace approximations.
Rachmawati, R. N., & Pusponegoro, N. H. (2018). Spatio-temporal poverty analysis with INLA in hierarchical Bayes ecological regression. Procedia Computer Science, 135, 323–330. https://doi.org/10.1016/j.procs.2018.08.190
Stewart, C. P., Iannotti, L., Dewey, K. G., Michaelsen, K. F., & Onyango, A. W. (2013). Contextualising complementary feeding in a broader framework for stunting prevention. Maternal & Child Nutrition, 9(S2), 27–45. https://doi.org/10.1111/mcn.12088
Jaya, I. G. N. M., Folmer, H., & Lundberg, J. (2022). A joint Bayesian spatiotemporal risk prediction model of COVID-19 incidence, IC admission, and death with application to Sweden. The Annals of Regional Science, 72, 107–140.
Jaya, I. G. N. M., & Folmer, H. (2021). Bayesian spatiotemporal forecasting and mapping of COVID-19 risk with application to West Java Province, Indonesia. Journal of Regional Science, 61(4), 849–881.
Jaya, I. G. N. M., & Folmer, H. (2022). Spatiotemporal high-resolution prediction and mapping: Methodology and application to dengue disease. Journal of Geographical Systems, 24, 527–581.
Jaya, I. G. N. M., & Andriyana, Y. (2020). Analisis data spasial perspektif Bayesian. Sumedang: Alqaprint Jatinangor.
Jaya, I. G. N. M., Handoko, B., Andriyana, Y., Chadidjah, A., Kristiani, F., & Antikasari, M. (2023). Multivariate Bayesian semiparametric regression model for forecasting and mapping HIV and TB risks in West Java, Indonesia. Mathematics, 11(17), 3641.
Andriyana, Y., Nalita, Y., Tantular, B., Jaya, I. G. N. M., & Falah, A. N. (2023). Global gold prices forecasting using Bayesian nonparametric quantile generalized additive model. International Journal of Data and Network Science, 7,1033–1044.
Link Fle R Shiny :
https://drive.google.com/drive/folders/1o9XzekevJT2ph5XUgdYD-KmePVT0yWSB?usp=sharing
catatan: jika link tidak bisa diklik, bisa di copy paste ke googlenya saja ya pak, terima kasih