Charles Joshua Nathaniel Waruwu NPM. 140610230048
Autokorelasi Spasial Positif terjadi ketika nilai-nilai variabel yang diamati di lokasi-lokasi yang berdekatan secara spasial cenderung mirip atau berkorelasi positif. Dengan kata lain, lokasi yang dekat satu sama lain memiliki nilai yang serupa sehingga membentuk pola pengelompokkan (clustering). Landasan ini sering diukur menggunakan statistik seperti Moran’s I atau Geary’s C, di mana nilai autokorelasi mendekati +1 menunjukkan autokorelasi positif yang kuat. Hal ini dapat dirumuskan dengan:
\[ \rho > 0 \]
di mana \(\rho\) adalah koefisien autokorelasi spasial, seperti nilai Moran’s I yang bernilai positif.
Autokorelasi Spasial Negatif terjadi ketika nilai-nilai variabel yang diamati di lokasi-lokasi yang berdekatan cenderung berbeda atau berkorelasi negatif. Artinya, lokasi yang dekat memiliki nilai yang kontras, sehingga membentuk pola dispersi atau chequerboard (seperti papan catur). Statistik autokorelasi akan mendekati -1 untuk menunjukkan autokorelasi negatif yang kuat. Hal ini dapat dirumuskan dengan:
\[ \rho < 0 \]
di manna \(\rho\) menunjukkan koefisien autokorelasi spasial, seperti nilai Moran’s I yang negatif.
Autokorelasi Spasial bertujuan untuk mengukur derajat kemiripan nilai antar lokasi. Untuk itu, digunakannya ukuran global klasik seperti Moran’s I (Moran, 1950) dan Geary’s C (Geary, 1954). Begitupun, terdapat analisis lokal menggunakan Local Moran’s I (Anselin, 1995) dan Getis-Ord untuk mengidentifikasi hot spots dan cold spots.
Moran’s I merupakan ukuran global autokorelasi spasial yang memiliki kemiripan dengan koefisien korelasi Pearson, tetapi disesuaikan untuk data spasial. Statistik ini mengukur sejauh mana nilai-nilai yang serupa berkumpul secara spasial. Nilai yang berkisar antara -1 (autokorelasi negatif sempurna) hingga +1 (autokorelasi positif sempurna), dengan nilai mendekati 0 menunjukkan tidak ada autokorelasi.
Secara matemmatis, dapat dinyatakan sebagai:
\[ I = \frac{N}{S_0} \cdot \frac{ \sum_{i=1}^N \sum_{j=1}^N w_{ij} (x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x}) }{ \sum_{i=1}^N (x_i - \bar{x})^2 } \]
di mana \(N\) adalah jumlah observasi, \(w_{ij}\) adalah bobot spasial antara lokasi \(i\) dan \(j\), \(x_i\) adalah nilai variabel pada lokasi \(i\), dan \(\bar{x}\) adalah rata-rata nilai variabel.
Geary’s C adalah ukuran global autokorelasi spasial yang berfokus pada perbedaan kuadrat antara nilai-nilai berdekatan. Berbeda dengan Moran’s I, Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan lokal. Nilai mendekati 0 menunjukkan autokorelasi positif kuat, sekitar 1 menunjukkan tidak ada autokorelasi, dan di atas 1 menunjukkan autokorelasi negatif.
Secara matematis, dapat dinyatakan sebagai:
\[ C = \frac{(N - 1) \sum_{i=1}^N \sum_{j=1}^N w_{ij} (x_i - x_j)^2}{2 S_0 \sum_{i=1}^N (x_i - \bar{x})^2} \]
di mana \(S_0 = \sum_{i=1}^N \sum_{j=1}^N w_{ij}\), dan variabel lain sama seperti sebelumnya.
Interpretasi: \(C < 1\) menunjukkan autokorelasi positif (tetangga mirip), \(C > 1\) menunjukkan autokorelasi negatid (tetangga berlawanan), serta \(C = 1\) menunjukkan tidak ada autokorelasi (acak).
Contoh: Di analisis pendapatan per wilayah AS, Geary’s C 0.6 menunjukkan autokorelasi positif-daerah kaya berdekatan.
Local Moran’s I_i adalah versi lokal dari Moran’s I yang digunakan untuk mengidentifikasi cluster atau pencilan spesifik pada tiap lokasi. Hal ini membantu mendeteksi area high-high (cluster nilai tinggi), low-low (cluster nilai rendah), high-low (outlier tinggi di tengah rendah), atau low-high (outlier rendah di tengah tinggi).
Secara matematis, dapat dinyatakan sebagai:
\[ I_i = \frac{x_i - \bar{x}}{m_2} \sum_{j=1}^N w_{ij} (x_j - \bar{x}) \]
Di mana \(m_2 = \frac{1}{N} \sum_{k=1}^N (x_k - \bar{x})^2 , (x_i)\) adalah nilai pada lokasi \(i\), \(\bar{x}\) adalah rata-rata, \(w_{ij}\) adalah bobot spasial, dan \(N\) adalah jumlah observasi.
Getis-Ord Gi dan Gi^* adalah statistik lokal untuk mendeteksi hot spots (area dengan nilai tinggi dikelilingi nilai tinggi) dan cold spots (area dengan nilai rendah dikelilingi nilai rendah). \(G_i\) tidak menyertakan nilai lokasi itu sendiri, sementara \(G_i^*\) menyertakannya untuk pertimbangan lebih inklusif. Untuk suatu band jarak \(d\) (atau bobot ketetaanggaan biner) dengan \(w_{ij}(d) \in \{0, 1\}\):
\[ G_i(d) = \frac{\sum_{j \neq i} w_{ij}(d) x_j}{\sum_{j \neq i} x_j} \]
Di mana \(w_{ij}(d)\) adalah bobot spasial berdasarkan jarak \(d\), \(x_j\) adalah nilai variabel pada lokasi \(j\), dan penyebut adalah jumlah nilai kecuali lokasi \(i\).
\[ G_i^*(d) = \frac{\sum_{j=1}^N w_{ij}(d) x_j}{\sum_{j=1}^N x_j}, \quad \text{dengan } w_{ii}(d) = 1 \]
Di mana \(w_{ij}(d)\) adalah bobot spasial, termasuk \(w_{ii}(d) = 1\) untuk lokasi itu sendiri, dan \(x_j\) adalah nilai variabel.
Ukuran Global dan Ukuran Lokal tentunya memiliki perbedaan utama pada autokorelasi spasial, yang terletak pada lingkup analisisnya.
Ukuran Global, seperti Moran’s I, digunakan untuk mengetahui pola spasial secara menyeluruh pada lokasi. Landasan ini menunjukkan apakah data secara umum cenderung membentuk pola mengelompok, menyebar, atau acak, tetapi tidak dapat menunjukkan lokasi spesifik terjadinya pola tersebut.
Ukuran Lokal, seperti Local Moran’s I (LISA, digunakan untuk mengetahui keterkaitan spasial pada tingkat lokasi tertentu. Ukuran ini dapat mengidentifikasi area yang menjadi kluster nilai tinggi, kluster nilai rendah, maupun area yang berfungsi sebagai outlier spasial. Dengan demikian, ukuran lokal memberikan informasi yang lebih rinci mengenai letak pola spasial, tidak hanya kecenderungan umum seluruh lokasi.
Kota Bandung, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, menghadapi berbagai tantangan kesehatan, termasuk penyakit Malaria. meskipun Malaria lebih sering dikaitkan dengan daerah pedesaan atau tropis, perubahan lingkungan dan mobilitas penduduk di Bandung meningkatkan risiko penyebarannya. Untuk mengatasi hal ini, para peneliti mengumpulkan dataset kasus Malaria untuk 30 kecamatan di kota Bandung. Nantinya, para analisis dapat mengidentifikasi peta choropleth serta pola spasial agar peneliti dapat menyusun strategi intervensi kesehatan pada lokasi yang paling membutuhkan.
Peneliti menggunakan data kasus Malaria di Kota Bandung melalui simulasi data menggunakan software R, sehingga dapat dijalankan:
library(sf)
## Warning: package 'sf' was built under R version 4.3.3
## Linking to GEOS 3.11.2, GDAL 3.8.2, PROJ 9.3.1; sf_use_s2() is TRUE
library(sp)
## Warning: package 'sp' was built under R version 4.3.3
library(spdep)
## Warning: package 'spdep' was built under R version 4.3.3
## Loading required package: spData
## Warning: package 'spData' was built under R version 4.3.3
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
library(dplyr)
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.3.3
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
library(ggplot2)
library(viridis)
## Warning: package 'viridis' was built under R version 4.3.3
## Loading required package: viridisLite
## Warning: package 'viridisLite' was built under R version 4.3.3
library(tmap)
library(spData)
set.seed(48)
# Membuat Peta Simulasi 30 Kecamatan
BB = st_bbox(c(xmin = 107.55, ymin = -6.98, xmax = 107.72, ymax = -6.85), crs = 4326)
Bandung_sf = st_make_grid(BB, n = c(6, 5), what="polygons") %>%
st_as_sf() %>%
mutate(id=row_number())
# Neighbour Queen
nb = spdep::poly2nb(as_Spatial(Bandung_sf), queen="TRUE")
# Listw Untuk Analisis Global/Lokal
lwW = spdep::nb2listw(nb, style="W")
lwB = spdep::nb2listw(nb, style="B")
# Simulasi Penyakit Malaria dengan Data Spasial
N = nrow(Bandung_sf); N
## [1] 30
z = rnorm(N); z
## [1] 0.199760887 -2.780140690 -0.695752255 2.075399905 0.790222719
## [6] 0.489850794 1.311062075 0.239704151 0.412849736 -0.397091669
## [11] -0.294980407 2.389282641 0.902576894 -0.120982197 1.735487474
## [16] -2.841297743 -0.825391281 -0.186318214 0.674971382 0.024728453
## [21] 0.635129421 0.058447424 0.597286557 -0.002240434 0.569521797
## [26] 0.757771611 1.215836037 -1.653904827 0.752547498 0.601008559
lz = spdep::lag.listw(lwW, z); lz
## [1] -0.409791488 0.293524919 -0.089855713 -0.036950375 0.852492253
## [6] 0.961508318 -0.311816191 0.120607741 -0.348084128 0.044567269
## [11] 0.186832144 -0.005323278 0.425896773 0.742063698 -0.248564053
## [16] 0.240217157 -0.084613981 0.372791415 0.426723312 0.796289052
## [21] -0.102989221 -0.048038358 -0.512143627 0.187826624 0.485823816
## [26] 0.624037418 -0.035565584 0.651849387 -0.079880544 0.449197873
# Model Poisson untuk Simulasi Penyakit Malaria
beta0 = 1.2; beta1 = 0.6; beta2 = 1.0
lambda = exp(beta0 + beta1*scale(z) + beta2*scale(lz))
pop = round(runif(N, 5000, 20000))
cases = rpois(N, lambda=lambda * (pop/10000))
# Gabungkan Data Simulasi dengan Spasial
Malaria = dplyr::tibble(
id = Bandung_sf$id,
pop = pop,
cases = cases,
rate_per_10k = (cases/pop)*10000
)
Bandung_merged = dplyr::left_join(Bandung_sf, Malaria, by="id")
# Peta Choropleth
setwd("C:/Users/MSI Cyborg15/OneDrive/Documents/college/Semester 5/Spatial")
Peta_Bandung_sf = st_read("BANDUNG.shp")
## Reading layer `BANDUNG' from data source
## `C:\Users\MSI Cyborg15\OneDrive\Documents\college\Semester 5\Spatial\BANDUNG.shp'
## using driver `ESRI Shapefile'
## Simple feature collection with 30 features and 12 fields
## Geometry type: POLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 107.5453 ymin: -6.969748 xmax: 107.7395 ymax: -6.840746
## Geodetic CRS: WGS84 Lat/Long's, Degrees, -180 ==> +180
# Plot Peta Hasil Simulasi
Peta_Bandung_sf = Peta_Bandung_sf %>%
mutate(id = row_number())
Bandung_merged = Peta_Bandung_sf %>%
left_join(Malaria, by="id")
ggplot(Bandung_merged) +
geom_sf(aes(fill = rate_per_10k), color="white", size=0.3) +
scale_fill_viridis_c(option="magma") +
labs(title="Peta Kelajuan Penyakit Malaria - Simulasi",
fill = "Rate")
Peta yang disajikan menunjukkan simulasi laju penyakit Malaria di Kota Bandung berdasarkan tingkat keparahan di setiap 30 Kecamatan. Skala warna pada peta berkisar dari kuning yang menandakan laju tinggi, hingga hitam yang mencerminkan laju rendah, dengan nilai berkisar antara 0 hingga 20. Kecamatan yang berwarna kuning atau merah, terutama di bagian tengah peta, mengindikasikan tingkat laju malaria yang tinggi sekitar 15-20. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti genangan air atau kepadatan penduduk. Sebaliknya, ecamatan dengan warna ungu tua atau hitam, seperti di wilayah utara dan selatan, menunjukkan laju rendah, berkisar antara 0 hingga 5, yang mungkin mencerminkan kondisi lingkungan lebih baik atau keberhasilan pengendalian nyamuk.
Variasi warna ini menggambarkan distribusi Malaria yang berlawanan di seluruh wilayah, dengan kecamatan di tengah lebih rentan dibandingkan di pinggiran. Peta ini dapat dimanfaatkan untuk menentukan prioritas, seperti mengarahkan upaya penyemrotan nyamuk ke kecamatan yang menunjukkan laju tinggi, sehingga mendukung strategi pengendalian penyakit yang lebih efektif.
nb <- poly2nb(as_Spatial(Peta_Bandung_sf), queen = TRUE)
lwW <- nb2listw(nb, style = "W")
moran_test = spdep::moran.test(Bandung_merged$rate_per_10k, lwW,
randomisation = "TRUE", alternative="two.sided")
moran_test
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: Bandung_merged$rate_per_10k
## weights: lwW
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.2439, p-value = 0.8073
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.008032119 -0.034482759 0.011760963
Interpretasi
Berdasarkan output analisis Moran’s I yang ditampilkan, didapatkan beberapa informasi:
Nilai Moran’s I yang diperoleh sebesar -0.008032119. Ukuran ini digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial, yaitu derajat kemiripan nilai suatu variabel antara lokasi yang berdekatan. Nilai yang didapatkan mendekati 0, mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial yang kiat (walaupun simulasi), atau pola spasial yang cenderung acak. Dengan demikian, laju malaria di kecamatan Bandung tidak menunjukkan kecenderungan jelas untuk berkelompok atau tersebar secara konstan berdasarkan pendekatan geografis.
Signifikansi Statistik menggunakan uji permutasi dilakukan untuk mengevaluasi apakah nilai Moran’s I yang didapatkan signifikan secara statistik. Dalam hasil output, p-value yang diperoleh sebesar 0.8073 dengan hipotesis alternatif dua sisi.
P-value menunjukkan probabilitas mendapatkan hasil setidaknya se-ekstrem nilai Moran’s I yanng diamati jika hipotesis nol (tidak ada autokorelasi spasial) benar.
Batas signifikansi umum adalah 0.05. Karena p-value > 0.05, maka H0 diterima. Hal ini menunjukkan tidak ada bukti yang cukup untuk menyatakan adanya autokorelasi spasial yang signifikan pada laju malaria di Bandung.
geary_test = spdep::geary.test(Bandung_merged$rate_per_10k, listw = lwW,
randomisation = "TRUE", alternative = "two.sided")
geary_test
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: Bandung_merged$rate_per_10k
## weights: lwW
##
## Geary C statistic standard deviate = -0.76712, p-value = 0.443
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 1.09493973 1.00000000 0.01531672
Interpretasi
Moran’s I mendekati 0 (negatif ringan), mengindikasikan pola acak dengan sedikit kecenderungan penyebaran.
Geary’s C, yang lebih besar dari 1, juga menunjukkan pola acak tetapi sedikit condong ke pengelompokkan rinigan.
Kedua uji ini menunjukkan konsistensi bahwa distribusi laju Malaria tidak menunjukkan pola spasial yang jelas.
Moran’s I lebih sensitif terhadap pengelompokkan spasial (clustering). Hal ini mengukur kesamaan nilai antar wilayah yang berdekatan, dengan fokus pada korelasi positif. Nilai positif yang besar menunjukkan pengelompokkan kuat, sementara nilai negatif menunjukkan penyebaran. Sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi pola global, seperti klaster besar di peta.
Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan lokal antar wilayah berdekatan. Nilai di bawah 1 menunjukkan pengelompokan (nilai serupa), sedangkan nilai di atas 1 menunjukkan penyebaran (perbedaan besar). Geary’s C lebih tajam dalam menangkap variasi lokal, misalnya perbedaan tajam antara kecamatan tetangga.
x_raw = Bandung_merged$rate_per_10k
sum_x = sum(x_raw)
# Matriks Bobot Biner
Wb = spdep::listw2mat(lwB)
# G_i (tanpa i)
num_G = as.numeric(Wb %*% x_raw)
den_G = ( sum_x - x_raw )
G_raw = num_G / den_G
# G_I^* (dengan i)
Wb_star = Wb; diag(Wb_star) = 1
num_Gs = as.numeric(Wb_star %*% x_raw)
den_Gs = sum_x
G_star_raw = num_Gs / den_Gs
# Z-Skor
Gz = spdep::localG(x_raw, listw = lwW)
Bandung_G = dplyr::mutate(Bandung_merged,
G_raw = G_raw,
G_star_raw = G_star_raw,
z_Gistar = as.numeric(Gz),
hotcold = dplyr::case_when(
z_Gistar >= 1.96 ~ "Hot spot (p0.05)",
z_Gistar <= -1.96 ~ "Cold spot (p0.05)",
TRUE ~ "Tidak Signifikan"
))
summary(dplyr::select(Bandung_G, G_raw, G_star_raw, z_Gistar))
## G_raw G_star_raw z_Gistar geometry
## Min. :0.02332 Min. :0.02332 Min. :-1.3769 POLYGON :30
## 1st Qu.:0.09307 1st Qu.:0.10450 1st Qu.:-0.4329 epsg:NA : 0
## Median :0.17582 Median :0.19907 Median : 0.1545 +proj=long...: 0
## Mean :0.17701 Mean :0.20312 Mean : 0.3111
## 3rd Qu.:0.22757 3rd Qu.:0.28606 3rd Qu.: 0.8438
## Max. :0.40567 Max. :0.42106 Max. : 4.1781
ggplot(Bandung_G) +
geom_sf(aes(fill = G_star_raw), color="white", size=0.2) +
scale_fill_viridis_c() +
labs(title="Raw Getis–Ord G* (proporsi massa tetangga)", fill="G*_raw") +
theme_minimal()
ggplot(Bandung_G) +
geom_sf(aes(fill = hotcold), color="white", size=0.2) +
scale_fill_manual(values=c("Hot spot (p0.05)"="#b2182b",
"Cold spot (p0.05)"="#2166ac",
"Tidak Signifikan"="grey85")) +
labs(title="Getis–Ord Gi* — Hot/Cold Spots (z-skor)", fill=NULL) +
theme_minimal()
Interpretasi
Berdasarkan Peta di atas, kecamatan diidentifikasi sebagai hot spot atau cold spot berdasarkan nilai Z-score dan p-value (signifikansi pada p < 0.05):
Hot Spot (p < 0.05): Kecamatan yang ditandai merah tua menunjukkan laju malaria tinggi dan signifikan secara statistik. Dari peta, wilayah di barat daya (seperti Bojongloa Kidul, Lengkong, dan Regol) masuk kategori ini. Ini sesuai dengan z-score positif tinggi dan p-value kecil.
Hot Spot signifikan (p < 0.05): Area merah tua tersebut, kemungkinan mencakup 2-3 kecamatan berdasarkan bentuk peta, menegaskan klaster laju tinggi.
Cold Spot (p < 0.05): Tidak ada wilayah yang jelas ditandai sebagai cold spot (laju rendah signifikan) karena tidak ada warna biru atau hijau pada peta.
Tidak Signifikan: Sebagian besar kecamatan berwarna abu-abu, menunjukkan Z-score dan p-value yang tidak signifikan.
Peta LISA sebelumnya menunjukkan kategori Low-High (Outlier) di kecamatan seperti Bojongloa Kidul, Lengkong, Regol, dan Cidadap (warna biru), dengan mayoritas wilayah abu-abu (tidak signifikan). Didapatkan perbandingan:
Persamaan: Kecamatan Bojongloa Kidul, Lengkong, dan Regol muncul sebagai lokasi penting pada kedua analisis. Pada peta Getis-Ord, ini adalah hot spot, sedangkan pada LISA sebagai Low-High, menunjukkan adanya outlier spasial di wilayah tersebut.
Perbedaan: LISA tidak menunjukkan High-High atau Low-Low, fokus pada outlier, sedangkan Getis-Ord mengidentifikasi klaster hot spot tanpa outlier sebaliknya. LISA menyoroti perbedaan lokal, sementara Getis-Ord menekankan klaster laju tinggi secara keseluruhan.
Apakah ada perbedaan wilayah yang ditandai sebagai klaster signifikan?
Jawab: Ya, ada perbedaan kecil dalam wilayah yang ditandai signifikan.
Persamaan Wilayah: Bojongloa Kidul, Lengkong, dan Regol konsisten sebagai wilayah signifikan di kedua metode, menunjukkan fokus intervensi di sana.
Perbedaan Wilayah: Cidadap muncul signifikan di LISA (Low-High) tetapi tidak menonjol sebagai hot spot di Getis-Ord. Hal ini dikarenakan LISA sensitif terhadap perbedaan lokal. Sebaliknya, Getis-Ord mungkin menangkap wilayah tetangga lain sebagai hot spot yang tidak terdeteksi LISA.
x = scale(Bandung_merged$rate_per_10k) [,1]
lagx = spdep::lag.listw(lwW, x)
lisa = spdep::localmoran(x, lwW, alternative = "two.sided", zero.policy = TRUE)
lisa_df = as.data.frame(lisa)
names(lisa_df) = c("Ii","Ei","Vi","Zi","Pi.two.sided")
alpha = 0.05
quad = dplyr::case_when(
x >= 0 & lagx >= 0 ~ "High-High",
x < 0 & lagx < 0 ~ "Low-Low",
x >= 0 & lagx < 0 ~ "High-Low (Outlier)",
x < 0 & lagx >= 0 ~ "Low-High (Outlier)"
)
Bandung_LISA = dplyr::bind_cols(Bandung_merged, lisa_df) |>
dplyr::mutate(quad = ifelse(Pi.two.sided <= alpha, quad, "Tidak Signifikan"))
Bandung_LISA
## Simple feature collection with 30 features and 22 fields
## Geometry type: POLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 107.5453 ymin: -6.969748 xmax: 107.7395 ymax: -6.840746
## Geodetic CRS: WGS84 Lat/Long's, Degrees, -180 ==> +180
## First 10 features:
## POLY_ID ALAMAT EMAIL JUMLAH_KEL JUMLAH_PEN KEPADATAN_ KEPALA_KEC LUAS_WILAY
## 1 1 <NA> <NA> 4 84931 8213.83 <NA> 10.34
## 2 2 <NA> <NA> 5 84931 8213.83 <NA> 10.34
## 3 3 <NA> <NA> 4 84931 8213.83 <NA> 10.34
## 4 4 <NA> <NA> 8 125369 19406.97 <NA> 6.46
## 5 5 <NA> <NA> 6 103975 28025.61 <NA> 3.71
## 6 6 <NA> <NA> 6 137392 18441.88 <NA> 7.45
## 7 7 <NA> <NA> 5 118898 39240.26 <NA> 3.03
## 8 8 <NA> <NA> 6 100244 23312.56 <NA> 4.30
## 9 9 <NA> <NA> 3 52209 8544.84 <NA> 6.11
## 10 10 <NA> <NA> 6 124121 16887.21 <NA> 7.35
## NAMA SUMBER_DAT TAHUN TELEPON id pop cases
## 1 Gedebage Bandung Dalam Angka 2007 0 1 13481 0
## 2 Ujungberung Bandung Dalam Angka 2007 0 2 10989 0
## 3 Cinambo Bandung Dalam Angka 2007 0 3 9443 1
## 4 Bandung Kulon Bandung Dalam Angka 2007 0 4 5084 2
## 5 Andir Bandung Dalam Angka 2007 0 5 18661 51
## 6 Babakan Ciparay Bandung Dalam Angka 2007 0 6 19582 58
## 7 Bojongloa Kaler Bandung Dalam Angka 2007 0 7 15397 0
## 8 Sukajadi Bandung Dalam Angka 2007 0 8 14025 6
## 9 Cidadap Bandung Dalam Angka 2007 0 9 12736 1
## 10 Coblong Bandung Dalam Angka 2007 0 10 18396 2
## rate_per_10k Ii Ei Vi Zi Pi.two.sided
## 1 0.0000000 -0.02583945 -0.022540131 0.14753620 -0.008589653 9.931465e-01
## 2 0.0000000 0.03285139 -0.022540131 0.11330780 0.164555856 8.692936e-01
## 3 1.0589855 0.07666117 -0.015408896 0.10159461 0.288857157 7.726907e-01
## 4 3.9339103 -0.85247945 -0.002867058 0.04135104 -4.178088125 2.939698e-05
## 5 27.3297251 0.67374815 -0.271325908 0.66575197 1.158269478 2.467541e-01
## 6 29.6190379 0.69904532 -0.333042955 1.48744651 0.846245096 3.974160e-01
## 7 0.0000000 -0.98307193 -0.022540131 0.14753620 -2.500704892 1.239464e-02
## 8 4.2780749 0.13969470 -0.002033531 0.01358970 1.215770011 2.240725e-01
## 9 0.7851759 0.28986928 -0.017123132 0.15627793 0.776566803 4.374144e-01
## 10 1.0871929 0.24742154 -0.015237434 0.07716988 0.945514807 3.443961e-01
## geometry quad
## 1 POLYGON ((107.6817 -6.93780... Tidak Signifikan
## 2 POLYGON ((107.7041 -6.91545... Tidak Signifikan
## 3 POLYGON ((107.6914 -6.91231... Tidak Signifikan
## 4 POLYGON ((107.5812 -6.91807... Low-High (Outlier)
## 5 POLYGON ((107.5929 -6.91948... Tidak Signifikan
## 6 POLYGON ((107.5888 -6.94694... Tidak Signifikan
## 7 POLYGON ((107.5865 -6.91875... Low-High (Outlier)
## 8 POLYGON ((107.6015 -6.88278... Tidak Signifikan
## 9 POLYGON ((107.6015 -6.88278... Tidak Signifikan
## 10 POLYGON ((107.6023 -6.90033... Tidak Signifikan
ggplot(Bandung_LISA) +
geom_sf(aes(fill = quad), color="white", size=0.2) +
scale_fill_manual(values=c(
"High-High"="#d73027","Low-Low"="#4575b4",
"High-Low (Outlier)"="#fdae61","Low-High (Outlier)"="#74add1",
"Tidak Signifikan"="grey85"
)) +
labs(title = "Local Moran's I (LISA)", fill = "Kategori") +
theme_minimal()
Interpretasi
Dari Peta LISA di atas, kecamatan dikategorikan berdasarkan autokorelasi spasial laju Malaria. Peta menunjukkan hanya kategori Low-High (Outlier) yang terdeteksi signifikan (warna biru), sementara High-High, Low-Low, dan High-Low tidak muncul (tidak ada warna merah, kuning, atau hijau). Sebagian besar kecamatan abu-abu (tidak signifikan). Berdasarkan posisi wilayah biru di peta, kecamatan yanng termasuk Low-High adalah:
Low-High (Outlier): Bojongloa Kidul, Lengkong, Regol, Cidadap.
High-High: Tidak ada (tidak ada klaster laju tinggi)
Low-Low: TIdak ada (tidak ada klaster laju rendah)
High-Low (Outlier): Tidak ada (tidak ada outlier laju tinggi di area rendah)
Selain itu, hasil LISA menunjukkan bahwa distribusi spasial laju penyakit Malaria di Kota Bandung mayoritas bersifat acak, sebagaimana ditandai oleh dominasi kategori “Tidak Signifikan” pada peta. Namun, keberadaan empat kecamatan yang masuk dalam kategori Low-High (Outlier) memberikan informasi penting. Kategori ini mengindikasikan bahwa kecamatan-kecamatan tersebut memiliki laju malaria yang relatif rendah, tetapi dikelilingi oleh wilayah dengan laju yang lebih tinggi. Kondisi ini mencerminkan potensi risiko penyebaran yang signifikan, karena nyamuk dapat dengan mudah mengangkut penyakit dari wilayah berlaju tinggi ke wilayah berlaju rendah yang berdekatan.
Jawab: Hasil analisis autokorelasi spasial, seperti yang ditunjukkan pada peta LISA dan Getis-Ord Gi* memberikan informasi penting bagi Dinas Kesehatan kota Bandung untuk menyusun strategi pencegahan khususnya Malaria. Peta LISA mengidentifikasi kecamatan seperti Bojonglua Kidul, Lengkong, Regol, dan Cidadap sebagai outlier Low-High, yang menandakan laju rendah dikelilingi laju tinggi, menunjukkan potensi risiko penyebaran yang perlu diwaspadai. Sementara itu, peta Getis-Ord menunjukkan klaster hot spot signifikan di wilayah barat daya, seperti Bojongloa Kidul dan Lengkong, yang mengindikasikan kebutuhan intervensi intensif. Dengan informasi ini, dinas dapat mengarahkan penyemprotan insektisida atau fogging terarah di hot spot untuk mengurangi vektor penyakit, serta melaksanakan edukasi penggunaan kelambu dan pembersihan genangan air di outlier untuk mencegah lonjakan kasus.
MAUP (Modifiable Areal Unit Problem): Analisis ini bergantung pada pembagian wilayah kecamatan, yang dapat memengaruhi hasil jika skala atau batas wilayah diubah.
Ukuran bobot spasial (rook, queen, k-nearest neighbors): Pemilihan metode bobot spasial, seperti rook atau queen, memengaruhi konektivitas antar kecamatan. Penggunaan queen yang inklusif akan terlalu mengestimasi hubungan, sedangkan rook yang ketat bisa sedikit estimasi, memengaruhi identifikasi klaster seperti Lengkong sebagai hot spot.
Masalah Multiple testing pada analisis lokal: Dalam LISA, uji signifikan pada banyak lokasi, meningkatkan risiko kesalahan tipe I (false positive). Dengan 30 kecamatan yang ada, penerapan alpha 0.05 tanpa koreksi dapat menghasilkan outlier palsu, misalnya Cidadap sebagai Low-High, yang memerlukan penilaian tambahan dengan data rill untuk memastikan kebenaran.