Bagian A (Konsep Teori)

1. Pengertian Autokorelasi spasial positif dan Autokorelasi spasial negatif

Autokorelasi spasial adalah ukuran sejauh mana suatu nilai variabel di lokasi tertentu berhubungan dengan nilai variabel yang sama di lokasi-lokasi sekitarnya. Konsep ini penting dalam analisis data spasial (misalnya data peta, citra satelit, atau data wilayah).

  • Autokorelasi spasial positif terjadi ketika nilai-nilai variabel yang berada di lokasi yang berdekatan cenderung mirip satu sama lain.
  • Autokorelasi spasial negatif terjadi ketika nilai-nilai variabel yang berdekatan cenderung berbeda satu sama lain (pola saling bertolak-belakang).

2. Contoh Autokorelasi spasial positif dan Autokorelasi spasial negatif

Contoh Autokorelasi spasial positif:

  • Harga tanah per meter di kota besar → kawasan pusat bisnis biasanya mahal, dan daerah tetangganya juga mahal.

  • Tingkat kemiskinan desa/kelurahan → daerah miskin cenderung berdekatan dengan daerah miskin lainnya.

  • Polusi udara (PM2.5) di perkotaan → daerah dekat jalan raya padat sama-sama tinggi polusi.

Contoh Autokorelasi spasial negatif:

  • Warna cat rumah di komplek → acak, tidak ada pola mirip atau berbeda.

  • Nomor plat kendaraan parkir → acak, tidak menunjukkan pola spasial.

3. Rumus matematis

Notasi umum

  • \(n\) : jumlah lokasi/observasi.
  • \(x_i\) : nilai variabel pada lokasi \(i\).
  • \(\bar{x} = \dfrac{1}{n}\sum_{i=1}^n x_i\) : rata-rata sampel.
  • \(w_{ij}\) : elemen matriks bobot spasial \(W\) antara lokasi \(i\) dan \(j\) (mis. 1 jika tetangga, 0 jika tidak; atau bobot jarak).
  • \(S_0 = \sum_{i}\sum_{j} w_{ij}\) : jumlah bobot total.

Moran’s I

\[ I = \frac{n}{S_0} \cdot \frac{\displaystyle\sum_{i=1}^{n}\sum_{j=1}^{n} w_{ij} \, (x_i - \bar{x}) (x_j - \bar{x})} {\displaystyle\sum_{i=1}^{n} (x_i - \bar{x})^{2}} \]

Interpretasi:

  • \(I > 0\) → indikasi autokorelasi spasial positif (lokasi berdekatan cenderung mirip).

  • \(I < 0\) → indikasi autokorelasi spasial negatif (lokasi berdekatan cenderung berbeda).

  • \(I \approx E[I]\) → tidak ada autokorelasi spasial yang signifikan.

Ekspektasi Moran’s I (di bawah hipotesis nol autokorelasi spasial acak):

\[ E[I] = -\frac{1}{n-1} \]

(Variance \(Var(I)\) memiliki bentuk rumit yang tergantung pada bobot \(w_{ij}\) dan momen ke-2 dan ke-4 dari data — biasanya dihitung oleh paket statistik.)

Geary’s C

Geary’s C mengukur perbedaan nilai antar pasangan tetangga langsung, dirumuskan sebagai:

\[ C = \frac{(n-1)}{2 S_0} \cdot \frac{\displaystyle\sum_{i=1}^{n}\sum_{j=1}^{n} w_{ij} \, (x_i - x_j)^{2}} {\displaystyle\sum_{i=1}^{n} (x_i - \bar{x})^{2}} \]

Interpretasi:

  • \(C < 1\) → autokorelasi spasial positif (karena perbedaan antar tetangga relatif kecil).

  • \(C > 1\) → autokorelasi spasial negatif (perbedaan antar tetangga relatif besar).

  • \(C \approx 1\) → tidak ada autokorelasi spasial.

Local Moran’s I \(I_i\)

\[ I_i = \frac{(x_i - \bar{x})}{m_2} \sum_{j=1}^{n} w_{ij} (x_j - \bar{x}) \]

dengan

\[ m_2 = \frac{1}{n} \sum_{i=1}^{n} (x_i - \bar{x})^2 \]

Interpretasi:

  • \(I_i > 0\) dan signifikan → wilayah \(i\) mirip dengan tetangga (klaster High–High atau Low–Low).
  • \(I_i < 0\) dan signifikan → wilayah \(i\) berbeda dengan tetangga (outlier, High–Low atau Low–High).

Getis–Ord \(G_i\) dan \(G_i^*\)

  • Getis–Ord \(G_i\):

\[ G_i = \frac{\sum_{j=1}^{n} w_{ij} x_j} {\sum_{j=1}^{n} x_j} \]

  • Getis–Ord \(G_i^*\):

\[ G_i^* = \frac{\sum_{j=1}^{n} w_{ij} x_j}{\sum_{j=1}^{n} x_j} \quad \text{dengan } i \text{ termasuk dalam perhitungan bobot } w_{ij}. \]

Interpretasi:

  • Nilai \(G_i^* > 0\) dan signifikan → Hot Spot (wilayah dengan nilai tinggi berkelompok).
  • Nilai \(G_i^* < 0\) dan signifikan → Cold Spot (wilayah dengan nilai rendah berkelompok).
  • Nilai mendekati 0 → tidak signifikan (tidak ada pola jelas).

4. Perbedaan Ukuran Global dan Lokal

  • Ukuran Global (mis. Moran’s I, Geary’s C):
    Mengukur autokorelasi spasial secara keseluruhan di seluruh area studi. Hasilnya adalah satu nilai agregat untuk seluruh data.

  • Ukuran Lokal (mis. Local Moran’s \(I_i\), Getis–Ord \(G_i\), \(G_i^*\)):
    Mengukur autokorelasi spasial pada tingkat individu/lokasi tertentu. Berguna untuk mendeteksi hotspot (nilai tinggi dikelilingi nilai tinggi), coldspot (nilai rendah dikelilingi nilai rendah), atau outlier spasial (nilai berbeda dari tetangganya).

Bagian B (Analisis Data/Simulasi)

1. Data spasial kecamatan di Kota Bandung

# Data kasus campak
data <- read.csv("C:/Users/tatya/Downloads/Campak.csv", header = TRUE, sep = ",")
attach(data)
  
# Data shapefile
Indo_Kec <- readRDS("gadm36_IDN_3_sp.rds")

# Ambil hanya Kota Bandung
Bandung <- Indo_Kec[Indo_Kec$NAME_2 == "Kota Bandung", ]
Bandung$id <- 1:30
Bandung_sf <- st_as_sf(Bandung)

# Gabungkan dengan data kasus
Campak_df <- data.frame(
  id    = Bandung_sf$id,   # atau vektor ID lain yang benar
  kasus = Campak           # vektor integer kasus campak
)

Bandung_merged <- Bandung_sf %>%
  dplyr::left_join(Campak_df, by = "id")

ggplot(Bandung_merged) +
  geom_sf(aes(fill = Campak), color = NA) +
  scale_fill_gradient(low = "yellow", high = "red") +
  theme_bw() +
  labs(title = "Peta Kasus Campak Kota Bandung", fill = "Jumlah Kasus")

2. Data simulasi kasus penyakit menular

## Simulasi
# Kalau objek Bandung_sf belum ada, bikin dummy grid
if(!exists("Bandung_sf")) {
  bb <- sf::st_as_sfc(
    sf::st_bbox(c(xmin = 107.55, ymin = -6.98,
                  xmax = 107.72, ymax = -6.85), crs = 4326))
  
  grid <- sf::st_make_grid(bb, n = c(6, 5))
  grid <- sf::st_as_sf(grid)             # ubah ke sf
  grid$id <- seq_len(nrow(grid))         # tambah kolom id
  Bandung_sf <- grid
}
Bandung_sf <- sf::st_make_valid(Bandung_sf)    # pastikan geometri valid

# kasih id kalau belum ada
if(!"id" %in% names(Bandung_sf)) {
  Bandung_sf$id <- seq_len(nrow(Bandung_sf))
}

# plot dummy grid
library(ggplot2)
ggplot(Bandung_sf) +
  geom_sf(fill = "grey90", color = "white") +
  labs(title = "Kota Bandung - Unit (contoh)") +
  theme_minimal()

# Neighbor queen
set.seed(123)
nb <- spdep::poly2nb(sf::as_Spatial(Bandung_sf), queen = TRUE)
# Listw untuk analitik global/lokal (row-standar & biner)
lwW <- spdep::nb2listw(nb, style="W") # row-standardized
lwB <- spdep::nb2listw(nb, style="B") # binary (untuk raw G)
N <- nrow(Bandung_sf)
z <- rnorm(N)
lz <- spdep::lag.listw(lwW, z)
beta0 <- 1.2; beta1 <- 0.6; beta2 <- 1.0
lambda <- exp(beta0 + beta1*scale(z) + beta2*scale(lz))
pop <- round(runif(N, 3000, 8000))
cases <- rpois(N, lambda=lambda * (pop/10000))
Campak <- dplyr::tibble(id = Bandung_sf$id, pop = pop, cases = cases,

rate10k = (cases/pop)*10000)
Bandung_merged <- dplyr::left_join(Bandung_sf, Campak, by="id")

3. Peta choropleth

ggplot(Bandung_merged) +
  geom_sf(aes(fill = rate10k), color="black", size=0.2) +
  scale_fill_viridis_c(option="magma") +
  labs(title="Rate Campak (per 10.000) — Simulasi", fill="Rate") +
  theme_minimal()

leaflet(Bandung_merged) %>%
  addTiles() %>%
  addPolygons(fillColor = ~colorNumeric("viridis", rate10k)(rate10k),
              color = "black", weight = 1,
              popup = ~paste0("Kecamatan: ", NAME_3, 
                              "<br>Rate: ", round(rate10k,2)))

4. Pola spasial secara visual

Peta Jumlah Kasus Campak Kota Bandung

  • Interpretasi visual: Warna semakin gelap (menuju merah) menunjukkan jumlah kasus campak yang lebih tinggi. Terlihat bahwa beberapa kecamatan di bagian tengah dan barat memiliki kasus campak yang relatif tinggi (warna merah tua), sedangkan wilayah timur dan selatan lebih banyak didominasi warna kuning–oranye dengan jumlah kasus lebih rendah.
  • Pola spasial: Distribusi kasus tidak merata, cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu. Ada indikasi potensi cluster kasus tinggi di daerah tengah–barat Kota Bandung. Namun, peta ini hanya menunjukkan jumlah absolut, sehingga daerah padat penduduk bisa tampak lebih tinggi kasusnya meskipun tingkat risiko relatifnya mungkin tidak sebesar itu.

Peta Rate Campak (per 10.000 penduduk) — Simulasi

  • Interpretasi visual: Warna semakin terang (kuning–oranye) menunjukkan rate campak yang lebih tinggi per 10.000 penduduk. Dari peta terlihat bahwa beberapa wilayah di utara memiliki

    • Pola spasial: Peta ini lebih menekankan pada risiko relatif. Ada pola bahwa risiko relatif campak lebih menonjol di bagian utara, sementara bagian selatan–tengah relatif rendah. Artinya, meskipun jumlah kasusnya mungkin tidak besar, tetapi beban penyakit relatif terhadap jumlah penduduk lebih signifikan di wilayah tersebut.

Bagian C (Pengukuran Autokorelasi)

1. Hitung Moran’s I

Berapa nilai Moran’s I?

moran_res <- spdep::moran.test(Bandung_merged$rate10k, lwW,
randomisation = TRUE, alternative = "two.sided")
moran_res
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  Bandung_merged$rate10k  
## weights: lwW    
## 
## Moran I statistic standard deviate = 4.8496, p-value = 1.237e-06
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##        0.50481782       -0.03448276        0.01236637

Interpretasi:

Hasil perhitungan Moran’s I secara analitik menunjukkan nilai sebesar 0.50481782. Angka 0,50 menunjukkan autokorelasi spasial positif yang cukup kuat. Artinya, wilayah dengan angka kejadian penyakit tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah yang juga tinggi, begitu pula untuk wilayah dengan angka rendah.

Apakah signifikan secara statistik (uji permutasi)?

Karena p-value (1.237e-06) jauh lebih kecil dari batas umum α = 0,05 (bahkan 0,01), hasilnya sangat signifikan. Sehingga menolak hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi kasus penyakit bersifat acak

Apa artinya bagi pola spasial penyakit?

Kasus penyakit (rate per 10 000 penduduk) tidak tersebar secara acak. Terdapat pengelompokan spasial (clustering): daerah dengan tingkat kejadian tinggi dikelilingi daerah tinggi lainnya, sedangkan daerah rendah dikelilingi daerah rendah.

Perlu perhatian lebih pada wilayah yang membentuk “hot spot” karena penularan atau faktor risiko di area sekitar bisa saling memperkuat. Analisis lanjutan (misal Local Moran’s I/LISA) dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi spesifik klaster penyakit.

2. Hitung Geary’s C

Bagaimana perbandingannya dengan Moran’s I?

# Geary's C analytic test (spdep)
geary_res <- spdep::geary.test(Bandung_merged$rate10k, lwW,
randomisation = TRUE, alternative = "two.sided")
geary_res
## 
##  Geary C test under randomisation
## 
## data:  Bandung_merged$rate10k 
## weights: lwW   
## 
## Geary C statistic standard deviate = 4.3461, p-value = 1.386e-05
## alternative hypothesis: two.sided
## sample estimates:
## Geary C statistic       Expectation          Variance 
##        0.47515619        1.00000000        0.01458327

Interpretasi:

Uji Geary’s C menghasilkan nilai 0,48 dengan ekspektasi acak 1,0 dan p-value 1,39 × 10⁻⁵, sehingga menunjukkan autokorelasi spasial positif yang signifikan, sama seperti kesimpulan uji Moran’s I yang memberi nilai 0,50 (p ≈ 1,2 × 10⁻⁶). Artinya wilayah dengan tingkat kasus penyakit per 10 ribu penduduk yang tinggi cenderung dikelilingi wilayah bernilai tinggi, dan yang rendah dikelilingi rendah, menandakan pola pengelompokan (clustering).

Jelaskan perbedaan sensitivitas kedua ukuran ini.

Moran’s I menilai kesamaan global antara suatu lokasi dan rata-rata tetangganya sehingga lebih peka terhadap pola klaster besar di seluruh peta, sedangkan Geary’s C menghitung selisih kuadrat antar-tetangga secara langsung, sehingga lebih peka mendeteksi perbedaan atau kontras lokal. Dengan kata lain, Moran’s I memberi gambaran “makro” pola pengelompokan, sedangkan Geary’s C menyoroti variasi “mikro” di perbatasan antarwilayah.

3. Hitung Local Moran’s I \(I_i\) (LISA)

Identifikasi kecamatan yang masuk kategori High-High, Low-Low,High-Low, dan Low-High.

x <- scale(Bandung_merged$rate10k)[,1]
lagx <- spdep::lag.listw(lwW, x)
lisa <- spdep::localmoran(x, lwW, alternative = "two.sided", zero.policy = TRUE)
lisa_df <- as.data.frame(lisa)
names(lisa_df) <- c("Ii","Ei","Vi","Zi","Pi.two.sided")
alpha <- 0.05
quad <- dplyr::case_when(
x >= 0 & lagx >= 0 ~ "High-High",
x < 0 & lagx < 0 ~ "Low-Low",
x >= 0 & lagx < 0 ~ "High-Low (Outlier)",
x < 0 & lagx >= 0 ~ "Low-High (Outlier)"
)
Bandung_LISA <- dplyr::bind_cols(Bandung_merged, lisa_df) |>
dplyr::mutate(quad = ifelse(Pi.two.sided <= alpha, quad, "Not significant"))

Buat peta cluster LISA

ggplot(Bandung_LISA) +
geom_sf(aes(fill = quad), color="white", size=0.2) +
scale_fill_manual(values=c(
"High-High"="purple","Low-Low"="magenta",
"High-Low (Outlier)"="orange","Low-High (Outlier)"="red","Not significant"="grey85"
)) +
labs(title="Local Moran's I (LISA)", fill="Kategori") +
theme_minimal()

Interpretasi:

Peta Local Moran’s I (LISA) menunjukkan bahwa wilayah di bagian utara peta membentuk klaster “High–High” yang ditandai warna ungu, artinya daerah tersebut memiliki tingkat kasus penyakit yang tinggi dan dikelilingi oleh daerah tetangga dengan tingkat kasus tinggi pula. Sementara itu, area lain yang berwarna abu-abu tergolong “Not significant”, menandakan tidak ditemukan pola spasial yang berbeda dari acak. Interpretasi ini memperkuat temuan Moran’s I global bahwa penyebaran penyakit tidak merata, dengan fokus pengelompokan signifikan yang terkonsentrasi di utara sebagai hot spot yang penting untuk pemantauan dan intervensi kesehatan masyarakat.

Apa interpretasi hasil ini untuk kasus penyakit menular?

Hasil Local Moran’s I ini menunjukkan bahwa penyakit menular di wilayah studi tidak menyebar secara acak, tetapi membentuk klaster signifikan di bagian utara. Daerah berwarna ungu (“High-High”) memiliki angka kejadian tinggi dan dikelilingi oleh tetangga yang juga tinggi, menandakan adanya hot spot penularan. Bagi kasus penyakit menular, pola seperti ini mengisyaratkan kemungkinan transmisi lokal yang kuat, misalnya karena mobilitas penduduk, kepadatan, atau kondisi lingkungan yang serupa antarwilayah tetangga. Temuan ini penting untuk perencanaan kesehatan masyarakat: upaya pengendalian, surveilans, dan intervensi pencegahan sebaiknya diprioritaskan pada klaster utara dan area sekitarnya agar dapat menekan laju penyebaran ke wilayah lain.

4. Hitung Getis–Ord \(G_i^*\)

x_raw <- Bandung_merged$rate10k
sum_x <- sum(x_raw)
# Matriks bobot biner (tidak distandarisasi)
Wb <- spdep::listw2mat(lwB) # diag=0 secara default
# G_i (tanpa i)
num_G <- as.numeric(Wb %*% x_raw) # Σ_{ji} w_ij x_j
den_G <- (sum_x - x_raw) # Σ_{ji} x_j
G_raw <- num_G / den_G
# G_i^* (dengan i) — set w_ii = 1
Wb_star <- Wb; diag(Wb_star) <- 1
num_Gs <- as.numeric(Wb_star %*% x_raw) # Σ_j w_ij^* x_j
den_Gs <- sum_x # Σ_j x_j
G_star_raw <- num_Gs / den_Gs
# Z-skor (yang dihitung spdep::localG)
Gz <- spdep::localG(x_raw, listw = lwW) # z(G_i^*) dengan listw yang diberikan
Bandung_G <- dplyr::mutate(Bandung_merged,
G_raw = G_raw,
G_star_raw = G_star_raw,
z_Gistar = as.numeric(Gz),
hotcold = dplyr::case_when(
z_Gistar >= 1.96 ~ "Hot spot (p0.05)",
z_Gistar <= -1.96 ~ "Cold spot (p0.05)",
TRUE ~ "Not significant"
))
summary(dplyr::select(Bandung_G, G_raw, G_star_raw, z_Gistar))
##      G_raw           G_star_raw         z_Gistar                geometry 
##  Min.   :0.00000   Min.   :0.01069   Min.   :-1.7571   MULTIPOLYGON :30  
##  1st Qu.:0.05115   1st Qu.:0.07107   1st Qu.:-1.1364   epsg:NA      : 0  
##  Median :0.09574   Median :0.11959   Median :-0.9334   +proj=long...: 0  
##  Mean   :0.13832   Mean   :0.16419   Mean   :-0.2353                     
##  3rd Qu.:0.16788   3rd Qu.:0.18923   3rd Qu.: 0.1827                     
##  Max.   :0.48942   Max.   :0.53346   Max.   : 4.1541
ggplot(Bandung_G) +
geom_sf(aes(fill = G_star_raw), color="white", size=0.2) +
scale_fill_viridis_c() +
labs(title="Raw Getis–Ord G* (proporsi massa tetangga)", fill="G*_raw") +
theme_minimal()

ggplot(Bandung_G) +
geom_sf(aes(fill = hotcold), color="white", size=0.2) +
scale_fill_manual(values=c("Hot spot (p0.05)"="maroon",
"Cold spot (p0.05)"="yellow",
"Not significant"="grey85")) +
labs(title="Getis–Ord Gi* — Hot/Cold Spots (z-skor)", fill=NULL) +
theme_minimal()

Tentukan kecamatan yang termasuk hot spot dan cold spot.

Peta Getis–Ord Gi* menandai kecamatan di bagian utara sebagai hot spot signifikan (p < 0,05), terlihat dengan warna merah pada peta kedua. Tidak ditemukan kecamatan dengan z-score negatif yang signifikan, sehingga tidak ada cold spot dalam analisis ini.

Bandingkan hasilnya dengan peta LISA.

Wilayah yang terdeteksi sebagai hot spot Gi* tersebut sama dengan klaster “High–High” pada peta Local Moran’s I (LISA), yaitu deretan kecamatan di bagian utara yang memiliki tingkat kasus tinggi dan dikelilingi tetangga dengan nilai tinggi pula.

Apakah ada perbedaan wilayah yang ditandai sebagai klaster signifikan?

Secara spasial tidak terdapat perbedaan berarti: baik Gi* maupun LISA menyoroti area utara sebagai pusat konsentrasi penyakit menular. Perbedaan hanya pada metode—Gi* menekankan kepadatan hotspot, sedangkan LISA mengukur autokorelasi lokal—namun keduanya mengarah pada lokasi risiko tinggi yang sama.

Bagian D (Diskusi Kritis)

1. Bagaimana hasil analisis autokorelasi spasial bisa membantu dinas kesehatan dalam menyusun strategi pencegahan dan intervensi penyakit menular di Kota Bandung?

Hasil analisis autokorelasi spasial, seperti Moran’s I, Geary’s C, dan peta LISA/Getis-Ord Gi*, memberikan peta risiko berbasis bukti yang sangat berguna bagi Dinas Kesehatan. Dengan mengetahui bahwa kecamatan di bagian utara Bandung membentuk klaster “High-High” (hot spot), dinas dapat:

  • Memusatkan sumber daya: memprioritaskan vaksinasi, pemeriksaan massal, dan distribusi obat atau alat pelindung di kecamatan yang menjadi pusat penyebaran, sehingga anggaran dan tenaga lapangan digunakan lebih efisien.

  • Memperkuat surveilans aktif: menempatkan pos pemantauan dan pelaporan cepat di wilayah klaster untuk mendeteksi lonjakan kasus sedini mungkin.

  • Mengendalikan faktor lingkungan dan sosial: fokus pada perbaikan sanitasi, pengendalian vektor (misalnya nyamuk), edukasi perilaku hidup bersih, dan pengurangan kepadatan atau mobilitas yang memicu penularan di area hot spot.

  • Merancang intervensi bertahap: wilayah sekitar klaster (tetangga “High-High”) bisa menjadi zona penyangga, sehingga kegiatan pencegahan—penyemprotan, penyuluhan, surveilans—dilakukan lebih awal sebelum penularan meluas.

Dengan demikian, analisis spasial bukan hanya memetakan kasus, tetapi memberi arah strategis berbasis data agar kebijakan pencegahan dan intervensi penyakit menular di Kota Bandung lebih tepat sasaran dan berdampak nyata.

2. Sebutkan keterbatasan dari analisis autokorelasi spasial, misalnya terkait dengan:

  • MAUP (Modifiable Areal Unit Problem)

    Hasil uji autokorelasi spasial dapat berubah tergantung pada cara wilayah dibagi (skala dan batas administrasi). Misalnya, jika analisis dilakukan per‐RT, per‐kelurahan, atau per‐kecamatan, nilai Moran’s I atau identifikasi hot spot bisa berbeda. Perubahan batas atau penggabungan unit analisis bisa menimbulkan pola “buatan” yang tidak merefleksikan proses penularan sebenarnya.

  • Ukuran bobot spasial (rook, queen, k-nearest neighbors)

    Matriks bobot (rook, queen, k-nearest neighbors, jarak tertentu) sangat memengaruhi hasil.

    • Rook vs. Queen: rook hanya menghubungkan sisi bersinggungan, sedangkan queen juga mempertimbangkan sudut.

    • k-nearest neighbors: jumlah tetangga tetap walaupun jarak fisiknya berbeda-beda.

    Perbedaan definisi “tetangga” dapat menghasilkan nilai statistik dan peta klaster yang berbeda, sehingga keputusan kebijakan juga bisa berubah.

  • Masalah multiple testing pada analisis lokal

    Analisis lokal seperti LISA atau Getis-Ord Gi* melakukan banyak uji signifikansi sekaligus untuk setiap unit wilayah. Tanpa koreksi (misalnya Bonferroni atau False Discovery Rate), peluang menemukan “klaster signifikan” secara kebetulan meningkat, sehingga beberapa hot spot atau cold spot mungkin false positive.

    Kesimpulannya, hasil autokorelasi spasial perlu ditafsirkan dengan hati-hati dan, bila memungkinkan, diuji sensitivitasnya terhadap skala wilayah, definisi bobot, dan koreksi untuk pengujian ganda.