#Stunting di NTT Berpotensi Naik di 11 Kabupaten/Kota, Bagaimana Mengantisipasinya?

Kupang — Kompas

Prevalensi tengkes atau stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 masih berada pada angka 37 persen, meleset dari target penurunan yang direncanakan. Tahun 2025, angka stunting berpotensi naik di sebelas kabupaten/kota.

“Data stunting NTT turun 0,9 persen,” ujar Kepala Dinas Kesehatan NTT, Iien Adriany, melalui pesan singkat pada Kamis (15/5/2025) petang. Penurunan dimaksud adalah dari 37,9 persen menjadi 37 persen.

Penurunan ini tidak signifikan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sekitar 40 dari 100 balita di NTT masih mengalami stunting. Secara nasional, NTT masih berada di posisi teratas sebagai provinsi dengan angka stunting tertinggi.

Penurunan angka stunting yang tidak signifikan terjadi meskipun berbagai lembaga terlibat dalam penanganannya. Pemerintah daerah, Polri, TNI, lembaga keagamaan, dan lembaga swasta turut mengambil bagian. Banyak sumber daya telah dikerahkan, termasuk anggaran yang besar.

“Mengapa tidak berkurang secara signifikan? Kami melihat di lapangan, banyak oknum yang menjadikan penanganan stunting sebagai proyek demi keuntungan sesaat, bukan sebagai program kemanusiaan,” ujar Vinsen Kia Beda, aktivis pemberdayaan masyarakat.

Puluhan tahun Vinsen terlibat dalam pemberdayaan, termasuk mendorong terciptanya sanitasi total berbasis masyarakat. Ia menyebut sanitasi yang buruk turut menentukan potensi stunting.

Menurutnya, solusi penanganan stunting dengan memberikan susu formula tidaklah tepat. Di banyak posyandu, kader kesehatan dan petugas medis mendorong balita yang berpotensi stunting untuk mengonsumsi susu formula. Demi target penurunan, balita dipaksa mengonsumsi susu formula.

“Susu formula yang terbuat dari susu sapi atau zat-zat tertentu justru bisa merusak pertumbuhan anak. Harusnya anak minum air susu ibu. Ibunya diberi makanan bergizi, seperti sayur sehat atau daging segar,” ujar Vinsen.

Iien menambahkan, pada tahun 2025 prevalensi stunting diprediksi naik di 11 dari total 22 kabupaten/kota di NTT. Potensi tersebut terlihat dari banyaknya kondisi ibu hamil dengan berat badan tidak ideal serta balita yang mengalami berat badan kurang.

Sejumlah langkah telah diambil, salah satunya melatih kader di setiap posyandu. Tahun ini, Pemprov NTT menargetkan 2.640 kader dilatih dan diberi sertifikasi kader berstandar nasional. Misi utama pelatihan adalah menekan angka stunting melalui pemantauan perkembangan anak selama 1.000 hari pertama kehidupan.

Kompetensi kader mencakup pemahaman bahwa berat badan ibu hamil minimal harus bertambah 12 kilogram dari sebelum hamil. Jika tidak tercapai, maka asupan gizi ibu hamil harus diperhatikan.

Beatrix (45), tenaga medis di Kupang, menyatakan makanan masyarakat banyak yang tidak sehat. Di antaranya sayuran menggunakan pupuk kimia, ayam dengan pakan kimia, serta telur ayam yang juga dipengaruhi obat-obatan. Untuk mengurangi hal itu, ia menanam kelor dan sayur di rumah menggunakan pupuk organik, memelihara ayam dengan pakan alami, serta budidaya lele.

Antonius Porat (67), yang mengelola kebun organik Mekon di Kupang, juga menggunakan pupuk berbahan organik.

Krisis air bersih di sejumlah wilayah, termasuk Timor Tengah Selatan, disebut sebagai faktor dominan tingginya angka stunting. Akses sanitasi berupa jamban sehat yang belum merata disebut turut memperburuk kondisi gizi anak.

Jika pola penanganan tidak berubah, prevalensi stunting di NTT dikhawatirkan tetap tinggi atau bahkan naik.

Kompas – Kupang ## prevalensi stunting NTT

## data prevalensi stunting NTT 
tahun <- c(2023, 2024)
prevalensi <- c(37.9, 37.0)

data <- data.frame(Tahun = tahun, Prevalensi = prevalensi)
data$Perubahan <- c(NA, diff(data$Prevalensi))

# Tampilkan datanya
print(data)
##   Tahun Prevalensi Perubahan
## 1  2023       37.9        NA
## 2  2024       37.0      -0.9
# Visualisasi
library(ggplot2)
ggplot(data, aes(x = Tahun, y = Prevalensi)) +
  geom_line(color = "blue", size = 1) +
  geom_point(size = 3) +
  labs(title = "Tren Prevalensi Stunting NTT", y = "Prevalensi (%)", x = "Tahun") +
  theme_minimal()
## Warning: Using `size` aesthetic for lines was deprecated in ggplot2 3.4.0.
## ℹ Please use `linewidth` instead.
## This warning is displayed once every 8 hours.
## Call `lifecycle::last_lifecycle_warnings()` to see where this warning was
## generated.

## Output: 1. Terjadi penurunan 0,9% dari tahun 2023 ke 2024.

  1. Penurunan itu tidak signifikan (karena hanya <1%, dan posisi NTT

Hasil Analisis

  1. Kinerja Tidak Sejalan dengan Besarnya Anggaran Anggaran besar yang digelontorkan tidak menghasilkan penurunan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya ketidakefisienan alokasi sumber daya serta lemahnya evaluasi program.

  2. Program Stunting Dijadikan Komoditas Proyek Terlalu banyak oknum yang menjadikan program stunting sebagai proyek keuntungan pribadi. Hal ini mengindikasikan lemahnya pengawasan internal dan integritas pelaksana di lapangan, serta mengaburkan esensi kemanusiaan dari program ini.

  3. Strategi Intervensi Tidak Tepat Sasaran Upaya seperti mendorong balita mengonsumsi susu formula justru tidak menyentuh akar masalah. Ini menunjukkan bahwa Pemda lebih fokus pada target angka, bukan perbaikan kualitas hidup anak dan ibu hamil.

Kritikan

Penanganan stunting di NTT terkesan hanya bersifat simbolis dan proyek formalitas semata. Meskipun anggaran besar dan banyak pihak dilibatkan, angka stunting hanya turun 0,9 persen, dari 37,9% menjadi 37% pada tahun 2024. Ini menunjukkan kebijakan yang dijalankan belum menyentuh akar masalah seperti kemiskinan, sanitasi buruk, dan kurangnya edukasi gizi. Penggunaan susu formula sebagai solusi utama justru mengabaikan pentingnya ASI dan pemberdayaan gizi lokal. Tanpa perubahan pola kebijakan yang lebih menyeluruh dan berbasis komunitas, prevalensi stunting di NTT berpotensi terus meningkat.

Kesimpuulan

Kesimpulan: Kebijakan penanganan stunting oleh Pemda NTT belum efektif menurunkan prevalensi secara signifikan. Hal ini disebabkan pendekatan yang cenderung proyek-oriented, solusi yang kurang tepat seperti distribusi susu formula, serta belum optimalnya perbaikan gizi, sanitasi, dan edukasi di tingkat akar rumput. Jika tidak ada pergeseran kebijakan ke arah yang lebih holistik dan berkelanjutan, angka stunting di NTT akan tetap tinggi dan mengancam kualitas generasi mendatang.