Bab 1 PENGUJIAN HIPOTESIS

1.1 Statistik Deskriptif dan Inferensial

Ketika kita ingin mengolah data, ada dua tujuan utama yang bisa kita kejar → memahami apa yang ada di data kita atau menggunakan data itu untuk membuat kesimpulan yang lebih besar tentang dunia. Di sinilah muncul dua cabang utama statistika yaitu deskriptif dan inferensial. Mari kita lihat terlebih dahulu cuplikan video di bawah ini :



1.1.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif yaitu cara kita untuk “meringkas” data sehingga mudah dipahami. Fokusnya cuma di data yang kita punya, tanpa mencoba membuat prediksi atau generalisasi.

Di awal video, kita disajikan untuk melihat contoh penelitian tentang pengaruh obat pada tekanan darah. Misalnya, kita mengumpulkan data tekanan darah dari 150 orang yang sedang diuji coba dengan obat tertentu. Statistik deskriptif akan membantu kita mendeskripsikan data dari sampel ini saja.


Apa saja yang bisa kita lakukan?

  1. Rata-rata tekanan darah → Kita menghitung rata-rata tekanan darah setelah minum obat. Misalnya, hasilnya adalah 120 mmHg.

  2. Standar deviasi → Kita melihat seberapa bervariasi tekanan darah di antara 150 orang tersebut.

  3. Distribusi data → Kita bisa membuat grafik atau tabel untuk melihat apakah sebagian besar tekanan darah peserta mendekati rata-rata, atau ada banyak variasi.

Hasil ini hanya menggambarkan kelompok 150 orang dalam sampel kita. Statistik deskriptif tidak membuat kesimpulan tentang semua orang dengan tekanan darah tinggi, hanya tentang sampel ini.


1.1.2 Statistik Inferensial

Statistik inferensial mengambil langkah lebih jauh.Tujuannya bukan hanya memahami data yang ada, tapi juga menggunakan data itu untuk membuat kesimpulan yang lebih besar tentang populasi yang lebih luas.

Misalkan kita melakukan penelitian untuk melihat apakah obat tertentu efektif dalam menurunkan tekanan darah pada orang dengan hipertensi. Berdasarkan sampel 150 orang, kita ingin menguji apakah ada pengaruh obat terhadap tekanan darah.

Bagaimana caranya ?

  1. Kita mulai dengan hipotesis
  • Null hypothesis (\(H_0\)) → Obat tidak memiliki efek pada tekanan darah.
  • Alternative hypothesis (\(H_1\)) → Obat memiliki efek pada tekanan darah.
  1. Lalu, kita hitung nilai statistik, seperti P-value.

Jika P-value lebih kecil dari 0,05 (batas signifikan), maka kita bisa menyimpulkan bahwa efek obat tidak mungkin terjadi karena kebetulan saja. Dengan kata lain, kita menolak null hypothesis dan menerima bahwa obat memiliki efek pada tekanan darah.

Namun, kesimpulan ini mengandung risiko, karena kita hanya bekerja dengan sampel, bukan seluruh populasi:

  • Type I error: Kita mungkin salah menolak null hypothesis. Bisa jadi obat sebenarnya tidak efektif, tapi sampel kita memberi hasil yang salah.

  • Type II error: Kita mungkin salah menerima null hypothesis. Artinya, obat sebenarnya efektif, tapi sampel kita tidak cukup kuat untuk menunjukkan perbedaannya.


1.2 Apa itu \(\alpha\) (alpha) dan \(\beta\) (beta)?

\(\alpha\) (alpha) adalah tingkat signifikansi yang kita pilih sebelum melakukan uji hipotesis. Sederhananya, ini adalah batas yang menunjukkan seberapa besar kita siap mengambil risiko untuk melakukan kesalahan saat menguji hipotesis. Biasanya, kita pilih \(\alpha = 0,05\) (5%), yang artinya kita siap menerima risiko 5% kalau kita salah dalam menolak hipotesis nol (\(H_0\)).

\(\beta\) (beta), di sisi lain, adalah kemungkinan terjadinya Type II Error, yang terjadi kalau kita gagal mendeteksi efek yang sebenarnya ada. Kalau kita gagal menemukan sesuatu yang sebenarnya benar, itu karena \(\beta\) ini. Artinya, kita bisa saja tidak sadar kalau ada efek yang seharusnya kita temukan.


1.2.1 Perbedaan \(\alpha\) dan \(\beta\) dalam konteks kesalahan

Di dalam uji hipotesis, ada dua jenis kesalahan yang bisa kita lakukan yaitu :

  1. Type I Error (\(\alpha\)): Ini terjadi kalau kita salah menolak hipotesis nol yang sebenarnya benar. Misalnya, kita berpikir ada efek padahal sebenarnya nggak ada. Kita jadi keliru, dan klaim kita salah.

  2. Type II Error (\(\beta\)): Ini terjadi kalau kita gagal menolak hipotesis nol yang sebenarnya salah. Artinya, kita nggak bisa mendeteksi efek yang seharusnya ada. Jadi, kita kelewatan kesempatan untuk menemukan sesuatu yang penting.

Contohnya : Bayangin kita lagi menguji apakah obat baru bisa menurunkan tekanan darah. Hipotesis nol (\(H_0\)) kita adalah “Obat ini tidak berpengaruh terhadap tekanan darah,” dan hipotesis alternatif (\(H_1\)) adalah “Obat ini berpengaruh terhadap tekanan darah.”


1.2.2 \(\alpha\) (Tingkat Signifikansi / Type I Error):

Misalnya, kita pilih \(\alpha = 0,05\). Ini artinya kita siap menerima 5% risiko untuk salah menolak hipotesis nol dan berpikir kalau obat itu berpengaruh padahal sebenarnya nggak ada pengaruhnya.

Contoh Type I Error: Misalnya, kita uji hipotesis, dan hasilnya menunjukkan P-value \(< 0,05\). Jadi, kita simpulkan kalau obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Tapi ternyata, itu cuma kebetulan aja, dan obat tersebut sebenarnya nggak berpengaruh sama sekali. Itu adalah kesalahan Type I Error atau false positive.

\(\beta\) (Type II Error):

Kalau \(\beta = 0,20\), artinya kita punya 20% kemungkinan untuk gagal mendeteksi efek meskipun obat itu sebenarnya berpengaruh terhadap tekanan darah.

Contoh Type II Error: Misalnya, obat tersebut memang benar-benar bisa menurunkan tekanan darah, tapi kita nggak bisa mendeteksinya karena sampel yang kita ambil terlalu kecil atau nggak mewakili populasi secara keseluruhan. Jadi, kita nggak bisa menemukan efek obat tersebut. Ini adalah kesalahan Type II Error atau false negative.


1.2.3 Hubungan antara \(\alpha\) dan \(\beta\):

\(\alpha\) dan \(\beta\) ini sebenarnya saling berhubungan. Jadi kalau kita menurunkan nilai \(\alpha\) (misalnya dari 0,05 jadi 0,01 supaya lebih ketat), maka kemungkinan untuk terjadinya \(\beta\) (Type II Error) cenderung naik. Artinya, kita jadi lebih sering gagal mendeteksi efek yang sebenarnya ada.

Sebaliknya, kalau kita menaikkan \(\alpha\) (misalnya dari 0,05 jadi 0,10 supaya lebih longgar), \(\beta\) akan lebih kecil, tapi kita jadi lebih sering salah menolak hipotesis nol, alias kita akan lebih sering menganggap ada efek padahal sebenarnya nggak ada.

Kenapa Harus Seimbang?

Kita nggak bisa asal pilih nilai \(\alpha\) dan \(\beta\) begitu aja. Penentuan nilai ini perlu hati-hati banget supaya hasil uji hipotesis kita nggak salah. Kalau kita terlalu fokus untuk menghindari Type I Error (misalnya dengan menurunkan \(\alpha\)), bisa jadi kita malah lebih sering gagal mendeteksi efek yang ada (Type II Error).

Misalnya:

  • Kalau kita pilih \(\alpha\) yang terlalu ketat (misalnya 0,01), kita jadi lebih hati-hati untuk menolak \(H_0\), tapi kita juga jadi lebih sering gagal mendeteksi efek yang seharusnya ada.
  • Kalau kita pilih \(\alpha\) yang terlalu longgar (misalnya 0,10), kita lebih sering menyatakan ada efek, meskipun sebenarnya efeknya nggak ada, dan ini jadi Type I Error.

Jadi, penting sekali untuk menjaga keseimbangan antara \(\alpha\) dan \(\beta\), biar hasil penelitian kita tetap valid.


1.3 Kesalahan Type I dan Kesalahan Type II

1.3.1 Kesalahan Tipe I \(\alpha\) Pesimis

Kesalahan Type I bisa kita anggap “pesimis”. Kenapa? Karena kita lebih cenderung berpikir buruk atau menganggap bahwa ada efek padahal enggak ada. Ini terjadi ketika kita terlalu cepat percaya bahwa hipotesis kita (alternatif) itu benar, padahal kenyataannya tidak ada efek sama sekali.

Contoh Penggunaan Type I

Ketika kita menguji apakah obat baru efektif untuk menurunkan tekanan darah. Hipotesis nol kita adalah “Obat ini tidak berpengaruh.” Tapi kalau kita sangat pesimis, kita akan sangat hati-hati dan langsung menganggap bahwa obat ini berpengaruh, meskipun itu belum tentu benar.

Kesalahan type I terjadi kalau kita menyimpulkan obat berfungsi padahal sebenarnya tidak, hanya karena kita ingin menghindari melewatkan efek apapun. Ini bisa berbahaya karena kita bisa saja menyebarkan klaim yang salah, yang seharusnya tidak terjadi.

Jadi, bisa dibilang, kesalahan Type I itu cenderung terjadi kalau kita “terlalu cepat” percaya dan “terlalu yakin” pada klaim kita. Pesimis di sini berarti kita enggak mau kehilangan kesempatan untuk menemukan efek, meskipun sebenarnya efek tersebut tidak ada.

1.3.2 Kesalahan Tipe II (β) Optimis

Sementara itu, Kesalahan Type II bisa kita anggap “optimis”. Kenapa? Karena dalam hal ini kita terlalu yakin bahwa efek itu memang ada, dan meskipun data kita tidak terlalu menunjukkan efek yang jelas, kita tetap berharap ada hasil yang signifikan. Jadi, kita gagal menolak hipotesis nol padahal seharusnya kita menolaknya karena ternyata ada efek yang signifikan.

Contoh Penggunaan Type II

Ketika kita menguji apakah obat baru bisa menurunkan tekanan darah. Hipotesis nol kita adalah “Obat ini tidak berpengaruh.” Kalau kita optimis, kita akan terus berharap bahwa obat itu pasti punya efek, meskipun dalam data yang kita ambil tidak cukup bukti untuk mengatakan obat ini bekerja.

Kesalahan Type II terjadi ketika kita gagal menolak hipotesis nol, padahal seharusnya kita menolaknya karena obat itu memang berpengaruh. Dengan kata lain, kita terlalu optimis dan enggak mau menginginkan hasil negatif walaupun kenyataannya ada efek.

1.3.3 Kapan Penggunaan Type I dan Type II Dibutuhkan?

  • Type I (Pesimis) lebih sering dipakai ketika kita tidak mau mengklaim sesuatu yang salah. Misalnya, kalau kita ingin menguji apakah obat itu aman untuk digunakan, kita lebih memilih untuk hati-hati dan tidak mengklaim ada efek besar jika belum cukup bukti.

  • Type II (Optimis) lebih sering terjadi ketika kita optimis ingin menemukan efek meskipun bukti atau data belum cukup mendukung. Misalnya, dalam penelitian medis atau uji coba obat, kita mungkin menghindari Tipe II kalau kita takut tidak menemukan obat yang sebenarnya bekerja, meskipun data awal tidak begitu jelas. Kita ingin tetap percaya bahwa obat tersebut bisa memberi hasil, meskipun belum ada bukti yang cukup kuat.

Jadi, Type I (Pesimis) dan Type II (Optimis) masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Pesimis membuat kita berhati-hati, sementara Optimis membuat kita percaya ada sesuatu yang bisa ditemukan. Tapi, kalau kita terlalu pesimis atau optimis, kita bisa salah mengambil keputusan.