Pengentasan kemiskinan masih menjadi tema pembangunan, agenda utama, dan berkelanjutan di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Dalam Outcome Document Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development, mengakhiri kemiskinan juga menjadi tujuan pertama dari tujuh belas tujuan yang disepakati dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Menurut Haughton & Khandker (2009), ada empat alasan mengukur kemiskinan yaitu:
Merupakan instrumen yang kuat untuk memfokuskan pembuat kebijakan pada kehidupan orang miskin
Mengidentifikasi orang miskin sehingga dapat memberikan intervensi kebijakan yang tepat
Memantau dan mengevaluasi proyek dan kebijakan yang digunakan untuk orang miskin
Mengevaluasi lembaga yang mempunyai tujuan membantu masyarakat miskin.
Secara asal penyebab, kemiskinan terbagi menjadi 2 macam:
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan atau dengan perkataan lain ”seseorang atau sekelompok masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin”.
Secara konseptual menurut standard penilaiannya, kemiskinan dibagi menjadi kemiskinan relatif dan absolut:
Ukuran kemiskinan relatif merupakan standard kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subjektif oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal serta mereka yang berada dibawah standard penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif.
Standard penilaian kemiskinan secara absolut merupakan standard kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhaan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non-makanan. Standard kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini disebut sebagai garis kemiskinan.
Konsep kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar ( basic needs approach) digunakan oleh BPS sebagai pendekatan dalam mengukur kemiskinan. Dari pendekatan tersebut, seseorang dikategorikan miskin apabila secara ekonomi mengalami ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya selama sebulan (baik kebutuhan makanan maupun nonmakanan) yang diukur dari sisi pengeluaran. Selanjutnya batasan dari kebutuhan dasar tersebut menggunakan garis kemiskinan (GK) yang meliputi Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) (BPS, 2022).
\[ GK = GKM + GKNM \] Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Ke-52 jenis komoditas ini merupakan komoditas-komoditas yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin.
GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan.
Formula Foster-Greer-Thorbecke (FGT) digunakan oleh BPS di dalam penghitungan kemiskinan. Melalui formula tersebut dapat diperoleh Headcount Index (P0), Poverty Gap Index/Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), serta Poverty Severity Index/Indeks Keparahan Kemiskinan (P2).
Headcount Ratio (P0)
Headcount Index (P0), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Nilai ini belum dapat memberikan informasi seberapa dalam intensitas kemiskinan tersebut
Ukuran P0 dihitung dengan rumus: \[ P_0 = \frac{1}{N} \sum_{i=1}^{N} I(y_i < z) \]
dimana \(I\) adalah fungsi indikator yang bernilai 1 jika \(y_i < z\) dan 0 sebaliknya, \(y_i\) adalah pendapatan individu, dan \(z\) adalah garis kemiskinan.
Poverty Gap Index (P1)
Poverty Gap Index (P1) atau Indeks Kedalaman Kemiskinan yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari GK. Nilai P1 dapat dijadikan sebagai penentu besaran transfer yang dibutuhkan untuk mengeluarkan seseorang dari kemiskinan. Tetapi, indeks tersebut belum menampilkan kesenjangan di antara setiap orang yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita di bawah GK.
Ukuran P1 dihitung dengan rumus: \[ P_1 = \frac{1}{N} \sum_{i=1}^{N} \frac{z - y_i}{z} I(y_i < z) \]
Poverty Severity Index (P2)
Poverty Severity Index (P2) atau Indeks Keparahan Kemiskinan yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Ukuran P2 dihitung dengan rumus: \[ P_2 = \frac{1}{N} \sum_{i=1}^{N} \left(\frac{z - y_i}{z}\right)^2 I(y_i < z) \]
(Foster dkk, 1984)
Pada tulisan ini, penghitungan kemiskinan dilakukan melalui pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar ( basic needs approach). Pendekatan ini mengukur kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut Garis Kemiskinan (GK), yang menjadi batas minimum pengeluaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Penghitungan dilakukan dengan data Susenas Maret 2023 untuk memperoleh gambaran kemiskinan penduduk dan anak.
pacman::p_load(foreign, readxl, dplyr, haven, tidyr, writexl)
Fungsi untuk menghitung FGT Index (P0, P1, P2)
fgt_summary <- function(df, vrbl_kapita, vrbl_GK, vrbl_weight) {
result <- calculate_FGT(df, vrbl_kapita, vrbl_GK, vrbl_weight)
return(result)
}
Filter Unit analisis: Penduduk
penduduk_data <- dataku %>%
filter(R407 >=0)
Menghitung FGT Provinsi: Penduduk
Pov_pddk1 <- round(penduduk_data %>%
group_by(R101) %>%
summarise(
FGT = list(fgt_summary(cur_data(), "KAPITA", "GK", "FWT"))
) %>%
unnest(cols = FGT),2)
DT::datatable(round(Pov_pddk1,4))
Menghitung FGT Nasional: Penduduk
Pov_pddk2 <- round(penduduk_data %>%
summarise(
FGT = list(fgt_summary(cur_data(), "KAPITA", "GK", "FWT"))) %>%
unnest(cols = FGT),2)
DT::datatable(round(Pov_pddk2,4))
write_xlsx(Pov_pddk1, path = "FGT_pddk_Prov_2023.xlsx")
write_xlsx(Pov_pddk2, path = "FGT_pddk_Nas_2023.xlsx")
Filter Unit analisis: Anak
anak_data <- dataku %>%
filter(R407 < 18)
Menghitung FGT Provinsi: Anak
Pov_anak1 <- round(anak_data %>%
group_by(R101) %>%
summarise(
FGT = list(fgt_summary(cur_data(), "KAPITA", "GK", "FWT"))
) %>%
unnest(cols = FGT),2) # Expand kolom FGT menjadi kolom-kolom terpisah
# Membulatkan hasil FGT per Provinsi
DT::datatable(round(Pov_anak1,4))
Menghitung FGT Nasional: Anak
Pov_anak2 <- round(anak_data %>%
summarise(
FGT = list(fgt_summary(cur_data(), "KAPITA", "GK", "FWT"))) %>%
unnest(cols = FGT),2) # Expand kolom FGT menjadi kolom-kolom terpisah
DT::datatable(round(Pov_anak2,4))
write_xlsx(Pov_anak1, path = "FGT_anak_Prov_2023.xlsx")
write_xlsx(Pov_anak2, path = "FGT_anak_Nas_2023.xlsx")
Berikut merupakan trend kemiskinan yang dihitung dari Susenas pada bulan Maret (y-o-y).
Trend Kemiskinan Penduduk
library(ggplot2)
library(patchwork)
# Menggabungkan semua data dalam satu data frame
data_combined <- bind_rows(
mutate(data.All.P0, Type = "P0"),
mutate(data.All.P1, Type = "P1"),
mutate(data.All.P2, Type = "P2")
)
# Membuat grafik dengan semua garis dalam satu grafik
ggplot(data_combined, aes(x = Year, y = Value, color = Type)) +
geom_line(size = 1) +
geom_point(size = 2) +
geom_text(aes(label = round(Value, 2)), vjust = -0.5, hjust = 0.5) +
labs(x = "Year", y = "Value", title = "Trend P0, P1, dan P2 Penduduk") +
scale_x_continuous(breaks = c(2019, 2020, 2021, 2022, 2023)) +
coord_cartesian(ylim = c(0, 15), xlim = c(2018, 2024)) +
theme_minimal() +
scale_color_manual(values = c("P0" = "blue", "P1" = "brown", "P2" = "red")) +
labs(color = " ")
Trend Kemiskinan Anak
library(ggplot2)
library(patchwork)
# Menggabungkan semua data dalam satu data frame
data_combined <- bind_rows(
mutate(data.All.P0, Type = "P0"),
mutate(data.All.P1, Type = "P1"),
mutate(data.All.P2, Type = "P2")
)
ggplot(data_combined, aes(x = Year, y = Value, color = Type)) +
geom_line(size = 1) +
geom_point(size = 2) +
geom_text(aes(label = round(Value, 2)), vjust = -0.5, hjust = 0.5) +
labs(x = "Year", y = "Value", title = "Trend P0, P1, dan P2 Anak") +
scale_x_continuous(breaks = c(2019, 2020, 2021, 2022, 2023)) +
coord_cartesian(ylim = c(0, 15), xlim = c(2018, 2024)) +
theme_minimal() +
scale_color_manual(values = c("P0" = "blue", "P1" = "brown", "P2" = "red")) +
labs(color = " ")
[1] Badan Pusat Statistik (BPS). (2022). Kesejahteraan Anak Indonesia: Analisis Kemiskinan Anak Moneter 2022. Jakarta: BPS.
[2] Foster, J., Greer, J., & Thorbecke, E. (1984). A class of decomposable poverty measures. Econometrica, 52(3), 761-766.
[3] Haughton, J., & Khandker, S. R. (2009). Handbook on poverty and inequality. World Bank. https://hdl.handle.net/10986/11985
Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS, saptahas@bps.go.id