Ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan telah lama menjadi isu yang menonjol dalam diskusi kebijakan global dan lokal. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendidikan masih menjadi hak yang belum sepenuhnya dinikmati secara merata oleh semua lapisan masyarakat. Dalam konteks perkembangan dunia yang semakin kompleks dan terhubung, penting untuk memahami dan menangani ketimpangan pendidikan guna memastikan kesempatan yang setara bagi setiap individu dalam mencapai potensi penuh mereka dan berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Indeks Gini adalah salah satu alat statistik yang biasa digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan dalam suatu populasi. Namun, konsep ini juga dapat diterapkan untuk mengukur ketimpangan dalam bidang lain, seperti pendidikan. Ketika digunakan dalam konteks pendidikan, Indeks Gini membantu mengukur ketidakmerataan distribusi pendidikan di antara individu dalam suatu masyarakat. Thomas dkk (2001) juga menyebutkan ketimpangan pendidikan dapat melengkapi ukuran kesejahteraan yang sudah ada.

Pengukuran ketimpangan pendidikan dilihat dari capaian indikator Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). RLS adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk berusia 25 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sementara itu, HLS adalah harapan jumlah tahun lamanya sekolah yang akan dijalani oleh anak usia 7 tahun di masa mendatang. Kedua indikator ini merupakan representasi dari kemampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan di suatu wilayah (Badan Pusat Statistik,2022).

Ketimpangan dalam RLS dapat mengindikasikan adanya perbedaan signifikan dalam kesempatan pendidikan antara berbagai kelompok masyarakat. Studi oleh De Gregorio dan Lee (2002) menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi memiliki dampak yang positif dalam mengurangi ketimpangan pendapatan melalui peningkatan keterampilan tenaga kerja dan produktivitas, yang pada akhirnya mempersempit kesenjangan pendapatan antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah. Demikian pula, analisis oleh Keller (2010) menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan yang efektif dapat berkontribusi pada distribusi pendapatan yang lebih merata dengan meningkatkan akses dan kualitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat.

Load Packages

pacman::p_load(readxl,ineq)

Setting Working Directory

setwd("D:\\Materi\\")

1 Load Dataset

Dataset yang digunakan adalah Susenas Maret 2023.

dataku <- read_excel("Educ2023.xlsx")
dataku$x1 <- as.numeric(as.character(dataku$x1))
dataku$x2 <- as.numeric(as.character(dataku$x2))

# Fungsi untuk normalisasi min-max RLS
normalize_min_maxRLS <- function(x) {
  return((x - 0) / (15 - 0))
}
normalized_datax1 <- normalize_min_maxRLS(dataku$x1)
# Fungsi untuk normalisasi min-max HLS
normalize_min_maxHLS <- function(x) {
  return((x - 0) / (18 - 0))
}
normalized_datax2 <- normalize_min_maxHLS(dataku$x2)
datakuWorking <- cbind(dataku,normalized_datax1, normalized_datax2)
dataku$Indeks <- rowMeans(datakuWorking[, 9:10],na.rm=T)
str(dataku$Indeks)
##  num [1:514] 0.724 0.689 0.705 0.733 0.645 ...

2 Gini Provinsi

Koefisien Gini berkisar antara 0 (menunjukkan kesetaraan sempurna) hingga 1 (menunjukkan ketimpangan sempurna), dimana semakin tinggi nilai koefisien Gini, semakin tinggi ketimpangannya. Menurut Todaro & Smith (2011), indikator ketimpangan Gini dapat dikategorikan sebagai berikut:

  • Ketimpangan Rendah: Koefisien Gini antara 0-0,3 menunjukkan distribusi yang relatif merata.
  • Ketimpangan Sedang: Koefisien Gini antara 0,3-0,5 menunjukkan distribusi yang tidak merata, tetapi belum mencapai tingkat yang ekstrem.
  • Ketimpangan Tinggi: Koefisien Gini lebih dari 0,5 menunjukkan distribusi yang sangat tidak merata.

Besaran Gini yang diperoleh merupakan besaran yang berasal dari kumulatif. Oleh karena itu jika digunakan data berdasarkan masing-masing kabupaten/kota, maka besaran Gini yang diperoleh adalah 0 (nol).

gini_Pendidikan <- round(tapply(dataku$Indeks, dataku$Prov, Gini),4)
cat("Indeks Gini Pendidikan menurut Provinsi:\n")
## Indeks Gini Pendidikan menurut Provinsi:
print(t(gini_Pendidikan))
##          11     12     13     14     15     16     17     18     19     21
## [1,] 0.0403 0.0423 0.0552 0.0447 0.0485 0.0468 0.0401 0.0434 0.0449 0.0472
##          31     32     33     34     35     36     51     52     53     61
## [1,] 0.0327 0.0561 0.0558 0.0713 0.0643 0.0622 0.0556 0.0513 0.0336 0.0373
##          62     63     64     65     71     72     73     74     75     76
## [1,] 0.0345 0.0385 0.0388 0.0314 0.0441 0.0385 0.0439 0.0484 0.0464 0.0231
##         81    82     91     94
## [1,] 0.044 0.046 0.0618 0.1896
barplot(gini_Pendidikan, horiz = F, xlab = "Provinsi", ylab = "Gini", main ="Gini Provinsi")

Dari seluruh provinsi di Indonesia, 3 provinsi yang memiliki ketimpangan pendidikan tertinggi ada pada Provinsi Papua, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.

3 Gini Nasional

dataku$Nasional<-ifelse(dataku$Prov>0,1,0)
gini_Educ <- round(tapply(dataku$Indeks, dataku$Nasional, Gini),4)
cat("Indeks Gini Pendidikan 2023:")
## Indeks Gini Pendidikan 2023:
print(gini_Educ)
##      1 
## 0.0671

Dari hasil di atas terlihat bahwa ketimpangan pendidikan di Indonesia pada tahun 2023 adalah 0.0671. Ini mengindikasikan ketimpangan pendidikan yang cukup rendah.

4 Kurva Lorenz

Jika digunakan Kurva Lorenz akan tampak seperti gambar di bawah ini:

lorenz_data <- Lc(dataku$Indeks)
plot(lorenz_data, main = "Kurva Lorenz untuk Indeks Pendidikan", xlab = "Kumulatif Proporsi Populasi", ylab = "Kumulatif Proporsi Indeks Pendidikan", col = "blue", lwd = 2)
abline(0, 1, col = "red", lty = 2)  # Garis kesetaraan sempurna

5 References

  1. Badan Pusat Statistik. (2022). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Tahun 2022. Jakarta: BPS.
  2. De Gregorio, J., & Lee, J.-W. (2002). Education and income inequality: New evidence from cross-country data. Review of Income and Wealth, 48(3), 395–416.
  3. Keller, K. (2010). How can education policy improve income distribution? An empirical analysis of education stages and measures on income inequality. Journal of Development Areas, 43(2), 51–77.
  4. Thomas, V., Wang, Y., & Fan, X. (2001). Measuring education inequality: Gini coefficients of education (Policy Research Working Paper No. 2525). https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/19738
  5. Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2011). Pembangunan ekonomi (Edisi ke-11). Erlangga.

Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS,