Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Stunting, atau gangguan pertumbuhan pada anak, telah menjadi isu kesehatan yang mendesak di Indonesia, termasuk di provinsi Jawa Timur. Diperkirakan sekitar 19,2% rata-rata anak di Indonesia menderita stunting, dengan dampak jangka panjang yang serius terhadap kesehatan dan perkembangan anak. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, tidak luput dari tantangan ini.

Melansir data Badan Pusat Statistika Jawa Timur (BPS Jatim) 2022, angka stunting di tiap daerah berkisar paling rendah di Kota Surabaya 4,4% hingga tertingginya di Kabupaten Jember sebesar 38,9%, secara keseluruhan 19,2% dibawah 2% dari rata-rata nasional yakni sebesar 21,2%. Menurut Gubernur Jawa Timur dalam wawancara bersama pola gizi di tanggal 14 Maret 2023 mengatakan pentingnya penurunan hingga 1 digit di Jawa Timur dan tren ini membawakan penurunan yang signifikan di Jawa Timur selama 4 tahun terakhir dengan harapan kasus tetap menurun di tiap tahun.

Namun, faktor-faktor yang menyebabkan stunting bisa berbeda-beda di setiap wilayah, dan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang berperan di Jawa Timur sangat diperlukan untuk merancang intervensi yang efektif. Oleh karena itu, pada analisis ini akan menguraikan tentang faktor-faktor yang memengaruhi stunting di Jawa Timur, dibandingkan dengan rata-rata nasional, menjadi krusial. Pendekatan logistik akan memberikan wawasan mengenai karakteristik daerah yang mengalami prevalensi stunting mendalam tentang faktor-faktor tersebut. Dilakukan referensi untuk mengembangkan strategi yang sesuai dan efektif guna mengurangi prevalensi stunting di Jawa Timur.

1.2 Sumber Data

Data didasarkan pada data bertipe sekunder. Data diambil Dalam rangka menangani stunting secara efektif, penting untuk mengetahui faktor berpengaruh terhadap stunting dengan menggabungkan pendekatan multisektoral yang melibatkan sektor kesehatan, pangan, sanitasi.  Adapun data yang dihimpun adalah data sekunder dari BPS Jatim di tiap 38 kabupaten/kota Jawa Timur dan Survei Sensus Gizi Indonesia (SSGI) berdasarkan tahun 2022. Penggunaan metode yang dilakukan melalui metode analisis regresi logistik dikarenakan dalam metode ini akan mendapat informasi bagaimana pengaruh tiap variabel dan kontribusi variabel dalam pengaruh faktor stunting di daerah rata-rata nasional.

1.3 Tinjauan Pustaka

1.3.1 Stunting

Stunting dikenal juga sebagai kekerdilan adalah kondisi kesehatan yang ditandai dengan pertumbuhan fisik yang tidak optimal pada anak-anak, terutama dalam hal tinggi badan, sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis pada periode kritis pertumbuhan awal, yakni dari masa kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan. Meskipun prevalensinya bervariasi di seluruh dunia, stunting secara signifikan mempengaruhi negara-negara berkembang, terutama di Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Amerika Latin.

Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat berkontribusi terhadap kejadian stunting antara lain:

  • Asupan gizi yang tidak memadai, terutama protein, energi, zat besi, dan vitamin.

  • Kondisi kesehatan ibu selama kehamilan, termasuk gizi buruk, usia ibu yang terlalu muda atau terlalu tua, dan tingkat pendidikan yang rendah.

  • Akses terhadap air bersih, sanitasi yang buruk, dan kebersihan yang kurang.

  • Praktik pemberian makan dan asuh yang tidak optimal, seperti pemberian ASI yang tidak eksklusif, pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia anak, dan frekuensi infeksi yang tinggi.

  • Faktor sosial-ekonomi seperti kemiskinan, ketidakstabilan ekonomi, dan ketidaksetaraan gender.

1.3.2 Indeks Pembangunan Manusia

IPM menggabungkan ketiga dimensi tersebut dalam sebuah indeks tunggal yang memberikan gambaran tentang tingkat pembangunan manusia secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai IPM suatu negara, semakin tinggi pula tingkat pembangunan manusia di negara tersebut. IPM digunakan sebagai alat perbandingan antar negara dan juga sebagai alat untuk mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

1.3.3 Sanitasi

Kurangnya akses ke air bersih, sanitasi yang buruk, dan kondisi perumahan yang tidak layak dapat menyebabkan penyebaran penyakit dan infeksi yang mempengaruhi pertumbuhan anak-anak, seperti buang air besar tidak pada tempatnya merupakan penyebab peningkatan penyakit diare dan penyebaran kuman enterik.

Berdasarkan laporan dari badan kesehatan dunia, sanitasi menjadi penyumbang terbanyak sebesar 1,6 - 2,5 juta kematian, serta sebagian kematian didominasikan oleh anak - anak yang disebabkan karena buruknya pencemaran limbah sanitasi yang tidak terkontrol. Pada aspek ekonomi, penting untuk menonjolkan perlunya investasi dalam infrastruktur dasar, seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan perumahan yang layak. Meningkatkan kualitas lingkungan di daerah-daerah miskin akan membantu mengurangi risiko penyakit dan meningkatkan kesehatan anak-anak.

1.3.4 Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi di mana individu atau kelompok tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya material, seperti makanan, air bersih, perumahan yang layak, layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Kemiskinan bisa bersifat relatif atau absolut. Kemiskinan absolut mengacu pada kekurangan yang ekstrim, yang berarti individu atau keluarga tidak memiliki akses dasar terhadap kebutuhan hidup yang penting. Sementara itu, kemiskinan relatif berkaitan dengan kurangnya akses terhadap sumber daya dibandingkan dengan standar tertentu dalam suatu masyarakat.

Kemiskinan bisa disebabkan oleh sejumlah faktor yang kompleks dan saling terkait, antara lain:

  1. Faktor Ekonomi sebagai kurangnya pekerjaan yang layak, upah yang rendah, inflasi, dan ketidakstabilan ekonomi dapat menyebabkan kemiskinan.
  2. Diskriminasi, ketidaksetaraan gender, ketidakadilan sosial, dan praktik-praktik yang merugikan golongan tertentu juga dapat memperburuk kemiskinan.
  3. Biaya perawatan kesehatan yang tinggi, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, dan penyakit kronis dapat menjadi penyebab atau konsekuensi dari kemiskinan.
  4. Kurangnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi hambatan bagi mobilitas sosial dan ekonomi.
  5. Ketidakstabilan iklim, bencana alam, dan lokasi geografis yang terpencil dapat memperburuk kemiskinan.

1.3.5 Pengeluaran per Kapita Masyarakat

Pengeluaran per kapita mengacu pada jumlah rata-rata uang yang dihabiskan oleh individu dalam sebuah populasi dalam suatu periode waktu tertentu, biasanya dihitung dalam satuan tahunan. Pengukuran ini memberikan gambaran tentang tingkat kemakmuran atau kesejahteraan relatif individu atau kelompok dalam suatu masyarakat.

Pengeluaran per kapita sering digunakan sebagai indikator penting untuk mengukur tingkat pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah. Semakin tinggi pengeluaran per kapita, semakin besar kemungkinan individu atau keluarga untuk memiliki akses terhadap barang dan layanan yang memadai, seperti makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi.

Namun, perlu diingat bahwa pengeluaran per kapita hanya memberikan gambaran umum tentang tingkat kemakmuran relatif. Hal ini tidak selalu mencerminkan distribusi pendapatan yang adil di antara individu atau kelompok di dalam masyarakat. Ada negara dengan tingkat pengeluaran per kapita yang tinggi, tetapi memiliki ketidaksetaraan pendapatan yang besar antara kelompok-kelompok tertentu.

Pengeluaran per kapita juga dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan antara negara-negara atau wilayah-wilayah yang berbeda. Hal ini berguna dalam mengevaluasi perkembangan ekonomi suatu negara dari waktu ke waktu atau dalam perbandingan dengan negara lain.

Pengeluaran per kapita biasanya dihitung dengan membagi total pengeluaran atau total pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduknya. Namun, pengukuran ini dapat disesuaikan dengan faktor-faktor seperti inflasi, paritas daya beli, atau perbedaan biaya hidup antara negara-negara untuk memberikan gambaran yang lebih akurat tentang daya beli relatif dan kesejahteraan masyarakat.

1.3.6 Regresi Berganda

Regresi biasanya mengacu pada metode statistika yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara satu atau lebih variabel independen (disebut sebagai variabel prediktor atau variabel eksplanatori) dan satu variabel dependen. Tujuan utama dari regresi adalah untuk memahami dan menggambarkan hubungan antara variabel-variabel tersebut, serta untuk membuat prediksi tentang nilai variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diberikan.

Asumsi-asumsi dasar dalam analisis regresi meliputi:

  1. Asumsi Linearitas, asumsi bahwa hubungan antara variabel independen dan dependen adalah linier. Ini berarti bahwa perubahan dalam variabel independen akan menghasilkan perubahan yang proporsional dalam variabel dependen. Jika hubungan tidak linier, maka regresi linear mungkin tidak sesuai.
  2. Asumsi Homoskedastisitas berarti bahwa varians dari kesalahan (residuals) adalah konstan di semua tingkat nilai variabel independen. Dengan kata lain, ada homogenitas dalam distribusi kesalahan.
  3. Asumsi Normalitas mengatakan bahwa distribusi kesalahan (residuals) adalah normal. Dalam regresi linear, ini berarti bahwa kesalahan harus terdistribusi secara normal di sepanjang garis regresi.
  4. Asumsi Non-Multikolinearitas berlaku khusus untuk regresi berganda, dan mengatakan bahwa tidak ada hubungan linier sempurna antara dua atau lebih variabel independen. Multikolinearitas dapat menyebabkan kesulitan dalam menafsirkan koefisien regresi.
  5. Asumsi Multikolinieritas berlaku khusus untuk data time series, dan mengatakan bahwa tidak ada hubungan residual pada dirinya sendiri.

Asumsi-asumsi ini perlu dipenuhi agar hasil analisis regresi dapat dianggap valid dan dapat diinterpretasikan dengan benar. Jika salah satu dari asumsi ini dilanggar, analisis regresi mungkin menjadi tidak akurat atau tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, sebelum melakukan analisis regresi, penting untuk memeriksa asumsi-asumsi tersebut dan mengambil tindakan yang diperlukan jika ada yang dilanggar.

1.3.7 Regresi Logistik

Regresi logistik adalah metode statistika yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara satu atau lebih variabel independen (prediktor) dengan variabel dependen biner (variabel yang memiliki dua nilai, misalnya, 0 atau 1). Tujuan utama dari regresi logistik adalah untuk memprediksi probabilitas bahwa suatu kejadian akan terjadi berdasarkan nilai-nilai variabel prediktor.

Seperti halnya dengan analisis regresi lainnya, penting untuk memeriksa asumsi-asumsi ini sebelum menggunakan regresi logistik. Melanggar asumsi-asumsi ini dapat menghasilkan estimasi yang bias atau tidak akurat. Asumsi yang hanya dilakukan tidak memerlukan normalitas karena datanya yang bersifat kategorik.

1.3.8 Asumsi Regresi Logistik

Pemenuhan asumsi yang dilakukan hanya pada pemenuhan asumsi non-multikolinieritas. Multikolinieritas terjadi ketika dua atau lebih variabel independen sangat berkorelasi satu sama lain. Dalam regresi logistik, multikolinieritas dapat menyebabkan peningkatan variabilitas dalam estimasi koefisien, yang membuat interpretasi koefisien menjadi tidak stabil.

1.4 Tujuan Analisis

Analisis ini bertujuan untuk melakukan analisis regresi logistik untuk memahami hubungan antara stunting pada tiap daerah Jawa Timur di tahun 2022 dengan faktor-faktor yang memengaruhi, dengan mempertimbangkan lima variabel utama. Tujuan utama dari laporan ini adalah sebagai berikut:

  1. Menilai hubungan antara stunting dan faktor gizi melakukan identifikasi apakah faktor pengaruh dari beberapa variabel.
  2. Mengevaluasi dampak faktor terhadap stunting dengan menyelidiki apakah faktor lingkungan, termasuk sanitasi, akses terhadap air bersih, dan kepadatan penduduk, berkontribusi pada risiko stunting pada anak-anak.
  3. Menganalisis variabel sosial-ekonomi, seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, dan akses terhadap layanan kesehatan, memengaruhi kemungkinan stunting pada anak-anak.
  4. Merumuskan rekomendasi kebijakan dan pada variabel yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan dalam analisis regresi logistik.

Dengan merumuskan dan mencapai tujuan-tujuan ini, laporan ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting pada anak-anak, serta memberikan dasar bagi perencanaan kebijakan dan intervensi yang efektif dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat ini.

BAB II Library dan Source Code

2.1 Penyiapan Data

Penggunaan Library dan Source Code pada penyiapan data hanya menggunakan konsep data frame untuk dilakukan pemformatan. Tujuan pemformatan antara lain untuk memudahkan pembacaan tabel yang terbentuk nantinya juga pada sistem dala pengidentifikasian nilai dari perhitungan yang diolah sistem. Data dilakukan pengambilan contoh manual agar membantu untuk melihat data mentah yang tersajikan. Dilakukan penginpputan data denan memasukkan kolom baris dengan koma yang satu karakteristik agar karena pembacaan data frame ang dibentuk.Penggunaan Library tidak diperlukan dikarenakan pada dasarnya penggunaan syntax ini disesuaikan merupakan dasar dari R yang sudah didapat di awal tanpa perlu ekstensi packages.Berikut sebagai contoh dalam pemrosesan pengolahan analisis dalam kasus ini:

data <- data.frame(
  Nama_Daerah = c("Kabupaten Bangkalan", "Kabupaten Banyuwangi", "Kabupaten Blitar", "Kabupaten Bojonegoro", "Kabupaten Bondowoso", "Kabupaten Gresik", "Kabupaten Jember", "Kabupaten Jombang", "Kabupaten Kediri", "Kabupaten Lamongan", "Kabupaten Lumajang", "Kabupaten Madiun", "Kabupaten Magetan", "Kabupaten Malang", "Kabupaten Mojokerto", "Kabupaten Nganjuk", "Kabupaten Ngawi", "Kabupaten Pacitan", "Kabupaten Pamekasan", "Kabupaten Pasuruan", "Kabupaten Ponorogo", "Kabupaten Probolinggo", "Kabupaten Sampang", "Kabupaten Sidoarjo", "Kabupaten Situbondo", "Kabupaten Sumenep", "Kabupaten Trenggalek", "Kabupaten Tuban", "Kabupaten Tulungagung", "Kota Batu", "Kota Blitar", "Kota Kediri", "Kota Madiun", "Kota Malang", "Kota Mojokerto", "Kota Pasuruan", "Kota Probolinggo", "Kota Surabaya"),
  Stuntingbiasa = c(25.2, 18.1, 14.3, 23.8, 32, 10.7, 34.9, 22.1, 21.6, 27.5, 23.6, 17.6, 14.9, 23, 11.8, 20, 28.5, 20.5, 8.1, 20.5, 12.8, 17.3, 6.9, 16.1, 30.9, 21.6, 19.5, 24.9, 17.3, 25.2, 12.8, 14.3, 9.7, 18, 8.4, 21.1, 23.3, 4.3),
  Stunting = c(1, 0, 0, 1, 1, 0, 1, 1, 1, 1, 1, 0, 0, 1, 0, 1, 1, 1, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 1, 1, 1, 1, 0, 1, 0, 0, 0, 0, 0, 1, 1, 0),
  Kemiskinan = c(19.44, 7.51, 8.71, 12.21, 13.47, 11.06, 9.39, 9.04, 10.65, 12.53, 9.06, 10.79, 9.84, 9.55, 9.71, 10.7, 14.15, 13.8, 13.93, 8.96, 9.32, 17.12, 21.61, 5.36, 11.78, 18.76, 10.96, 15.02, 6.71, 3.79, 7.37, 7.23, 4.76, 4.37, 5.98, 6.37, 6.65, 4.72),
  RLS = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51),
  Pengeluaran = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51),
  IPM = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51),
  Sanitasi = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51)
  )
datax <- data.frame(
  Kemiskinan = c(19.44, 7.51, 8.71, 12.21, 13.47, 11.06, 9.39, 9.04, 10.65, 12.53, 9.06, 10.79, 9.84, 9.55, 9.71, 10.7, 14.15, 13.8, 13.93, 8.96, 9.32, 17.12, 21.61, 5.36, 11.78, 18.76, 10.96, 15.02, 6.71, 3.79, 7.37, 7.23, 4.76, 4.37, 5.98, 6.37, 6.65, 4.72),
  RLS = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51),
  Pengeluaran = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51),
  IPM = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51),
  Sanitasi = c(5.97, 7.66, 7.82, 7.43, 6.22, 9.75, 6.50, 8.76, 8.23, 8.33, 6.87, 7.94, 8.66, 7.68, 8.97, 8.12, 7.59, 7.82, 6.88, 7.42, 7.77, 6.13, 5.06, 10.77, 6.63, 5.93, 7.89, 7.37, 8.65, 9.63, 10.65, 10.45, 11.67, 10.69, 10.8, 9.67, 9.29, 10.51)
  )

2.2 Statistika Deskriptif

Penggunaan Library dan Source Code statistika deskrippti dalam contoh kasus berikut menggunakan diagram batang untuk dilakukan pembentukan data dalam memvisualisasikan data. Tujuan pemformatan antara lain untuk memudahkan pembacaan tabel yang terbentuk nantinya juga pada sistem dala pengidentifikasian nilai dari perhitungan yang diolah sistem. Data dilakukan pengambilan contoh manual agar membantu untuk melihat data mentah yang tersajikan. Dilakukan penginpputan data denan memasukkan kolom baris dengan koma yang satu karakteristik agar karena pembacaan data frame ang dibentuk.Penggunaan Library tidak diperlukan dikarenakan pada dasarnya penggunaan syntax ini disesuaikan merupakan dasar dari R yang sudah didapat di awal tanpa perlu ekstensi packages.Berikut sebagai contoh dalam pemrosesan pengolahan analisis dalam kasus ini:

library(ggplot2)
ggplot(data, aes(x = Nama_Daerah, y = Stuntingbiasa)) +
  geom_bar(stat = "identity", fill = "red") +
  labs(x = "Nama Daerah", y = "Prevalensi Stunting (%)", title = "Diagram Batang Stunting Jawa Timur 2022")

Note that the echo = FALSE parameter was added to the code chunk to prevent printing of the R code that generated the plot.

2.3 Model Regresi Logistik

model <- glm(Stunting ~ Kemiskinan + RLS + Pengeluaran + IPM + Sanitasi, data = data, family = binomial)

2.4 Ringkasan Regresi Logistik

summary(model)

2.5 ANOVA Model Regresi Logistik

null_model <- glm(Stunting ~ 1, data = data, family = binomial)
anova_result <- anova(null_model, model, test = "Chisq")
print(anova_result)

2.6 Asumsi Non-Multikolinieritas Model Regresi Logistik

library(corrplot)
korelasi_matriks <- cor(datax)
print(korelasi_matriks)
corrplot(korelasi_matriks, method = "circle")

2.7 AIC Model Regresi Logistik

library(MASS)
aic <- AIC(model)
print(aic)

2.8 Pemilihan Model Regresi Logictik dengan Metode AIC Backward

library(MASS)
model_terbaik <- stepAIC(model, direction = "forward")

2.9 Ringkasan Regresi Logistik Terbaik

summary(model_terbaik)

2.10 ANOVA Model Regresi Logistik Terbaik

null_model <- glm(Stunting ~ 1, data = data, family = binomial)
anova_result <- anova(null_model, model_terbaik, test = "Chisq")
print(anova_result)

2.11 Evaluasi Model Regresi Logistik

library(pROC)
prediksi <- predict(model_terbaik, type = "response")
ROC <- roc(data$Stunting, prediksi)
plot(ROC)
nilai_AUC <- auc(ROC)
print(nilai_AUC)

BAB III Analisis Data dan Pembahasan

3.1 Penyiapan Data

3.2 Statistika Deskriptif

You can also embed plots, for example:

Note that the echo = FALSE parameter was added to the code chunk to prevent printing of the R code that generated the plot.

3.3 Model Regresi Logistik

3.4 Ringkasan Regresi Logistik

## 
## Call:
## glm(formula = Stunting ~ Kemiskinan + RLS + Pengeluaran + IPM + 
##     Sanitasi, family = binomial, data = data)
## 
## Coefficients: (3 not defined because of singularities)
##             Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)  
## (Intercept)   8.5703     4.9977   1.715   0.0864 .
## Kemiskinan   -0.1341     0.1547  -0.867   0.3859  
## RLS          -0.8568     0.4345  -1.972   0.0486 *
## Pengeluaran       NA         NA      NA       NA  
## IPM               NA         NA      NA       NA  
## Sanitasi          NA         NA      NA       NA  
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## 
## (Dispersion parameter for binomial family taken to be 1)
## 
##     Null deviance: 52.574  on 37  degrees of freedom
## Residual deviance: 45.494  on 35  degrees of freedom
## AIC: 51.494
## 
## Number of Fisher Scoring iterations: 4

3.5 ANOVA Model Regresi Logistik

## Analysis of Deviance Table
## 
## Model 1: Stunting ~ 1
## Model 2: Stunting ~ Kemiskinan + RLS + Pengeluaran + IPM + Sanitasi
##   Resid. Df Resid. Dev Df Deviance Pr(>Chi)  
## 1        37     52.574                       
## 2        35     45.494  2   7.0794  0.02902 *
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1

3.6 Asumsi Non-Multikolinieritas Model Regresi Logistik

## Warning: package 'corrplot' was built under R version 4.3.3
## corrplot 0.92 loaded
##             Kemiskinan        RLS Pengeluaran        IPM   Sanitasi
## Kemiskinan   1.0000000 -0.8204089  -0.8204089 -0.8204089 -0.8204089
## RLS         -0.8204089  1.0000000   1.0000000  1.0000000  1.0000000
## Pengeluaran -0.8204089  1.0000000   1.0000000  1.0000000  1.0000000
## IPM         -0.8204089  1.0000000   1.0000000  1.0000000  1.0000000
## Sanitasi    -0.8204089  1.0000000   1.0000000  1.0000000  1.0000000

3.7 AIC Model Regresi Logistik

## [1] 51.4945

3.8 Pemilihan Model Regresi Logictik dengan Metode AIC Backward

## Start:  AIC=51.49
## Stunting ~ Kemiskinan + RLS + Pengeluaran + IPM + Sanitasi
## 
## 
## Step:  AIC=51.49
## Stunting ~ Kemiskinan + RLS + Pengeluaran + IPM
## 
## 
## Step:  AIC=51.49
## Stunting ~ Kemiskinan + RLS + Pengeluaran
## 
## 
## Step:  AIC=51.49
## Stunting ~ Kemiskinan + RLS
## 
##              Df Deviance    AIC
## - Kemiskinan  1   46.265 50.265
## <none>            45.494 51.494
## - RLS         1   50.155 54.155
## 
## Step:  AIC=50.26
## Stunting ~ RLS
## 
##        Df Deviance    AIC
## <none>      46.265 50.265
## - RLS   1   52.574 54.574

3.9 Ringkasan Regresi Logistik Terbaik

## 
## Call:
## glm(formula = Stunting ~ RLS, family = binomial, data = data)
## 
## Coefficients:
##             Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)  
## (Intercept)   4.7584     2.0695   2.299   0.0215 *
## RLS          -0.5620     0.2466  -2.279   0.0227 *
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## 
## (Dispersion parameter for binomial family taken to be 1)
## 
##     Null deviance: 52.574  on 37  degrees of freedom
## Residual deviance: 46.265  on 36  degrees of freedom
## AIC: 50.265
## 
## Number of Fisher Scoring iterations: 4

3.10 ANOVA Model Regresi Logistik Terbaik

## Analysis of Deviance Table
## 
## Model 1: Stunting ~ 1
## Model 2: Stunting ~ RLS
##   Resid. Df Resid. Dev Df Deviance Pr(>Chi)  
## 1        37     52.574                       
## 2        36     46.265  1   6.3089  0.01201 *
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1

3.11 Evaluasi Model Regresi Logistik

## Warning: package 'pROC' was built under R version 4.3.3
## Type 'citation("pROC")' for a citation.
## 
## Attaching package: 'pROC'
## The following objects are masked from 'package:stats':
## 
##     cov, smooth, var
## Setting levels: control = 0, case = 1
## Setting direction: controls < cases

## Area under the curve: 0.7292

BAB IV Penutup

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara rata-rata lama sekolah dengan tingkat penurunan stunting yang lebih rendah di suatu daerah. Artinya, semakin tinggi rata-rata lama sekolah penduduk di suatu daerah, semakin rendah tingkat stunting di daerah tersebut.

Hal ini menunjukkan pentingnya pendidikan dalam mempengaruhi kesehatan anak, terutama dalam mengurangi tingkat stunting. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan mungkin mempengaruhi perilaku dan praktik kesehatan yang lebih baik, seperti pemahaman tentang nutrisi yang tepat, perawatan kesehatan yang adekuat, dan akses yang lebih baik terhadap layanan kesehatan.

Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung peningkatan akses dan kualitas pendidikan di suatu daerah dapat menjadi strategi yang efektif dalam mengurangi tingkat stunting dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak. Dalam konteks ini, program-program pendidikan yang mencakup aspek kesehatan dan gizi juga dapat menjadi langkah yang efektif untuk memerangi stunting dan masalah kesehatan terkait lainnya.

4.2 Saran

Berdasarkan pemaparan dan hasil analisa, dapat ditarik informasi lebih lanjut dalam keberlanjutan riset ini ke dalam kebiajakan baru dan juga pengembangan penelitian analisa lebih lanjut di antara lain sebagai berikut:

  1. Pemerintah diharapkan dapat melakukan pemerataan sekolah untuk generasi mendatang dalam upaya orang tua masa depan untuk anak Jawa Timur dengan melakukan pemerataan sekolah, pembelajaran yang murah atau gratis SPP, dan diharapkan bahwa kuliah di perguruan tinggi bukan hanya dianggap pendidikan tersier namun jadi perhatian khusus padi Pemprov Jawa Timur.
  2. Berdasarkan analisis, daerah dengan lama sekolah masyarakat di wilayah Jawa Timur yang tinggi terdapat bukti signifikan nmenunjukkan kecenderungan 1,75 kali lebih rendah daerahnya berada di atas rata-rata terjadi stunting secara nasional dibanding daerah dengan rata-rata lama sekolah yang rendah.
  3. Penelitian dapat dilakukan pengembangan berupa data time series dalam mengambil kesimpulan yang lebih luas dengan mengikuti tren waktu.
  4. Pengembangan penelitian kasus ini dapat menelisik dengan moderasi dari sebab-sebab rata-rata lama sekolah dalam melihat bagaimana kecenderungan masyarakat dalam menghadapi permasalahan mendapat akses ke pendidikan.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2022. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota 2020-2022. Tersedia: Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kebupaten/Kota 2020-2022.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2022. Pengeluaran Per Kapita Riil Disesuaikan (Ribu Rupiah) 2020-2022. Tersedia: https://jatim.bps.go.id/indicator/26/34/1/pengeluaran-per-kapita-riil-disesuaikan.html.

Dewanti, C., V. Ratnasari, and A. T. Rumiati., 2019. “Pemodelan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Balita Stunting Di Provinsi Jawa Timur Menggunakan Regresi Probit Biner.” JURNAL SAINS DATA DAN SENI ITS 8(2):2337–3520.

Hijrawati, Usman, A. N., Syarif, S., Hadju, V., As’ad, S., & Baso, Y. S., 2021. Use of technology for monitoring the development of nutritional status 1000 hpk in stunting prevention in Indonesia. Gaceta Sanitaria, 35, S231–S234. https://doi.org/10.1016/j.gaceta.2021.10.028.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia., 2022. Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Tahun 2022. Tersedia: https://kesmas.kemkes.go.id/assets/uploads/contents/attachments/09fb5b8ccfdf088080f2521ff0b4374f.pdf. [Akses 22 Juni 2023]

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia: http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__28_Th_2019_ttg_Angka_Kecukupan_Gizi_Yang_Dianjurkan_Untuk_Masyarakat_Indonesia.pdf.

Marni, L., 2020. Dampak Kualitas Sanitasi Lingkungan Terhadap Stunting. JURNAL STAMINA, 3(12), 865–872.

Masfufah, Prasetyo, A. A., Aminiah, N., & Nafisa, L. A. I., 2022. Data Dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota Tahun 2022.

Rajagopal R., 2019. Contemporary marketing strategy: Analyzing consumer behavior to drive managerial decision making. In Contemporary Marketing Strategy: Analyzing Consumer Behavior to Drive Managerial Decision Making. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3030-11911-9.

Rosyadi, K., 2021. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Jawa Timur Pada Masa dan Pasca Pandemi Covid-19; Refleksi Sosiologis. Prosiding Seminar Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 1–6.

Syahrial. S., 2020. DAMPAK COVID-19 TERHADAP TENAGA KERJA DI INDONESIA. Jurnal Ners, 4(2), 21–29. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2022. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota 2020-2022. Tersedia: Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kebupaten/Kota 2020-2022.