Praktikum 2 Regresi Data Pharma Sales tahun 2014-2019
Pemanggilan Packages
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.2.3
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
## Warning: package 'forecast' was built under R version 4.2.3
## Registered S3 method overwritten by 'quantmod':
## method from
## as.zoo.data.frame zoo
## Warning: package 'lmtest' was built under R version 4.2.3
## Loading required package: zoo
##
## Attaching package: 'zoo'
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## as.Date, as.Date.numeric
## Warning: package 'orcutt' was built under R version 4.2.3
## Warning: package 'HoRM' was built under R version 4.2.3
Impor Data
Data yang digunakan adalah data Pharma Sales tahun 2014-2019.
Eksplorasi Data
## 'data.frame': 70 obs. of 9 variables:
## $ datum: IDate, format: "2014-01-31" "2014-02-28" ...
## $ M01AB: num 128 133 137 113 102 ...
## $ M01AE: num 99.1 126.1 93 89.5 119.9 ...
## $ N02BA: num 152 177 148 131 132 ...
## $ N02BE: num 878 1002 779 698 629 ...
## $ N05B : num 354 347 232 209 270 323 348 420 399 472 ...
## $ N05C : num 50 31 20 18 23 23 21 29 14 30 ...
## $ R03 : num 112 122 112 97 107 57 61 37 115 182 ...
## $ R06 : num 48.2 36.2 85.4 73.7 123.7 ...
## [1] 70 9
Menamakan Peubah
Ringkasan data peubah respon
## Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
## 0.00 49.88 74.10 86.66 119.81 213.04
Histogram
## Warning: package 'ggplot2' was built under R version 4.2.3
ggplot(data, aes(x=y)) +
geom_histogram(fill="purple", bins=15, color='black', alpha=0.7) +
ggtitle("Sebaran Data Peubah y") + #Title
theme(plot.title = element_text(hjust = 0.5)) + #Title Position +
ylab("Frekuensi")+xlab("Penjualan Obat R06")ggplot(data, aes(x=x1)) +
geom_histogram(fill="purple", bins=15, color='black', alpha=0.7) +
ggtitle("Sebaran Data Peubah x1") + #Title
theme(plot.title = element_text(hjust = 0.5)) + #Title Position +
ylab("Frekuensi")+xlab("Penjualan Obat M01AB")ggplot(data, aes(x=x2)) +
geom_histogram(fill="purple", bins=15, color='black', alpha=0.7) +
ggtitle("Sebaran Data Peubah x2") + #Title
theme(plot.title = element_text(hjust = 0.5)) + #Title Position +
ylab("Frekuensi")+xlab("Penjualan Obat M01AE")ggplot(data, aes(x=x3)) +
geom_histogram(fill="purple", bins=15, color='black', alpha=0.7) +
ggtitle("Sebaran Data Peubah x3") + #Title
theme(plot.title = element_text(hjust = 0.5)) + #Title Position +
ylab("Frekuensi")+xlab("Penjualan Obat N02BA")ggplot(data, aes(x=x4)) +
geom_histogram(fill="purple", bins=15, color='black', alpha=0.7) +
ggtitle("Sebaran Data Peubah x4") + #Title
theme(plot.title = element_text(hjust = 0.5)) + #Title Position +
ylab("Frekuensi")+xlab("Penjualan Obat N02BE")Matriks Korelasi
## Warning: package 'GGally' was built under R version 4.2.3
## Registered S3 method overwritten by 'GGally':
## method from
## +.gg ggplot2
Berdasarkan matriks korelasi di atas, terlihat adanya hubungan / korelasi positif antara peubah y dengan peubah x1 sebesar 0.308 dan x2 sebesar 0.029, terlihat pada titik-titik plot yang naik ke arah kanan atas. Lalu terlihat pula adanya hubungan / korelasi negatif antara peubah y dengan peubah x3 sebesar -0.034 dan x4 sebesar -0.287, terlihat pada titik-titik plot yang turun ke arah kanan bawah.
Setalah mengetahui adanya hubungan antar dua peubah, maka model regresi dapat ditentukan.
Regresi
##
## Call:
## lm(formula = y ~ x1 + x2 + x3 + x4, data = datapharma)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -75.369 -27.167 -3.581 22.357 103.234
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 25.14448 25.15308 1.000 0.321183
## x1 0.65941 0.18734 3.520 0.000794 ***
## x2 0.29474 0.27278 1.081 0.283906
## x3 0.01718 0.18900 0.091 0.927848
## x4 -0.08258 0.02012 -4.104 0.000116 ***
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 38.98 on 65 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.3194, Adjusted R-squared: 0.2775
## F-statistic: 7.627 on 4 and 65 DF, p-value: 4.215e-05
Model yang dihasilkan adalah \[y=25.144+0.6594x_1+0.2947x_2+0.01718x_3-0.0825x_4\] Berdasarkan ringkasan model dapat diketahui bahwa hasil uji F memiliki p-value < \(\alpha\) (5%). Artinya, minimal terdapat satu variabel yang berpengaruh nyata terhadap model. Hasil uji-t parsial parameter regresi, yaitu koefisien regresi untuk x1 dan x4 juga menunjukkan hal yang sama, yaitu memiliki p-value < \(\alpha\) (5%) sehingga nyata dalam taraf 5%. Selanjutnya dapat dilihat juga nilai \(R^2=0.3194\). Artinya, sebesar 31.94% keragaman nilai peubah y (penjualan obat R06) dapat dijelaskan oleh peubah x (M01AB, M01AE, N02BA, N02BE). Hasil ini menunjukkan hasil yang kurang bagus, sehingga belum mendapatkan hasil terbaik. Selanjutnya, kita perlu melakukan uji terhadap sisaannya seperti berikut ini.
Diagnostik secara Eksploratif
#sisaan dan fitted value
sisaan <- residuals(model)
fitValue <- predict(model)
#Diagnostik dengan eksploratif
par(mfrow = c(2,2))
qqnorm(sisaan)
qqline(sisaan, col = "steelblue", lwd = 2)
plot(fitValue, sisaan, col = "steelblue", pch = 20, xlab = "Sisaan", ylab = "Fitted Values", main = "Sisaan vs Fitted Values")
abline(a = 0, b = 0, lwd = 2)
hist(sisaan, col = "steelblue")
#plot sisaan vs urutan (sisaan saling bebas)
plot(x = 1:dim(data)[1],
y = model$residual,
type = 'b',
ylab = "Residual",
xlab = "Observasi")Dua plot di samping kiri digunakan untuk melihat apakah sisaan menyebar normal. Normal Q-Q Plot dan histogram dari sisaan di atas menunjukkan bahwa sisaan cenderung menyebar normal. Selanjutnya, dua plot di samping kanan digunakan untuk melihat autokorelasi. Plot Sisaan vs Fitted Value dan Plot Sisaan vs Order menunjukkan adanya pola pada sisaan. Untuk lebih lanjut akan digunakan uji formal melihat normalitas sisaan dan plot ACF dan PACF untuk melihat apakah ada autokorelasi atau tidak.
Diagnostik secara Uji Formal
#Melihat Sisaan Menyebar Normal/Tidak
#H0: sisaan mengikuti sebaran normal
#H1: sisaan tidak mengikuti sebaran normal
shapiro.test(sisaan)##
## Shapiro-Wilk normality test
##
## data: sisaan
## W = 0.9658, p-value = 0.05275
##
## Exact one-sample Kolmogorov-Smirnov test
##
## data: sisaan
## D = 0.09172, p-value = 0.5665
## alternative hypothesis: two-sided
Berdasarkan uji formal Saphiro-Wilk dan Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p-value > \(\alpha\) (5%). Artinya, cukup bukti untuk menyatakan sisaan berdistribusi normal.
Berdasarkan plot ACF dan PACF, terlihat tidak semua dalam rentang batas dan ada yang tidak signifikan. Namun, untuk lebih memastikan akan dilakukan uji formal dengan uji Durbin Watson.
#Deteksi autokorelasi dengan uji-Durbin Watson
#H0: tidak ada autokorelasi
#H1: ada autokorelasi
#install.packages("randtests")
library(randtests)
runs.test(model$residuals)##
## Runs Test
##
## data: model$residuals
## statistic = -2.1672, runs = 27, n1 = 35, n2 = 35, n = 70, p-value =
## 0.03022
## alternative hypothesis: nonrandomness
##
## Durbin-Watson test
##
## data: model
## DW = 1.1122, p-value = 1.49e-05
## alternative hypothesis: true autocorrelation is greater than 0
Berdasarkan hasil DW Test, didapatkan nilai \(DW = 1.1122\) dan p-value = \(0.0000149\). Dengan nilai p-value < 0.05 dapat disimpulkan bahwa tolak H0, cukup bukti mengatakan adanya autokorelasi. Oleh karena itu, diperlukan penanganan autokorelasi. Penanganan yang akan digunakan menggunakan dua metode, yaitu Cochrane-Orcutt dan Hildret-Lu.
Penanganan Autokorelasi
Metode Cochrane-Orcutt
Penanganan metode Cochrane-Orcutt dapat dilakukan dengan bantuan
packages Orcutt pada aplikasi R maupun secara manual.
Berikut ini ditampilkan cara menggunakan bantuan library
packages Orcutt.
## Cochrane-orcutt estimation for first order autocorrelation
##
## Call:
## lm(formula = y ~ x1 + x2 + x3 + x4, data = datapharma)
##
## number of interaction: 12
## rho 0.631268
##
## Durbin-Watson statistic
## (original): 1.11217 , p-value: 1.49e-05
## (transformed): 1.60645 , p-value: 5.659e-02
##
## coefficients:
## (Intercept) x1 x2 x3 x4
## 38.381612 0.418933 -0.040813 0.096879 -0.023067
Hasil keluaran model setelah dilakukan penanganan adalah sebagai berikut. \[y=38.3816+0.418933x_1-0.040813x_2+0.096879x_3-0.023067x_4\] Hasil juga menunjukkan bahwa nilai DW dan p-value meningkat menjadi \(1.60645\) dan \(0.05659\). Nilai p-value > 0.05, artinya belum cukup bukti menyatakan bahwa sisaan terdapat autokorelasi pada taraf nyata 5%. Autokorelasi telah berhasil tertangani.
Untuk nilai \(ρ ̂\) optimum yang digunakan adalah \(0.6312679\). Nilai tersebut dapat diketahui dengan syntax berikut.
## [1] 0.6312679
Selanjutnya akan dilakukan transformasi secara manual dengan syntax berikut ini.
#Transformasi Manual
y.trans <- y[-1]-y[-12]*rho
x1.trans<- x1[-1]-x1[-12]*rho
x2.trans<- x2[-1]-x2[-12]*rho
x3.trans<- x3[-1]-x3[-12]*rho
x4.trans<- x4[-1]-x4[-12]*rho
modelCOmanual<- lm(y.trans~x1.trans+x2.trans+x3.trans+x4.trans)
summary(modelCOmanual)##
## Call:
## lm(formula = y.trans ~ x1.trans + x2.trans + x3.trans + x4.trans)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -39.739 -11.327 -3.699 8.793 41.516
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 3.74164 9.81426 0.381 0.70428
## x1.trans 0.47776 0.19661 2.430 0.01792 *
## x2.trans 0.56453 0.26606 2.122 0.03773 *
## x3.trans -0.08618 0.21724 -0.397 0.69291
## x4.trans -0.05759 0.02029 -2.839 0.00606 **
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 17.82 on 64 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.1917, Adjusted R-squared: 0.1412
## F-statistic: 3.795 on 4 and 64 DF, p-value: 0.007864
Hasil model transformasi bukan merupakan model sesungguhnya. Koefisien regresi masih perlu dicari kembali mengikuti \(β_0^*=β_0+ρ ̂β_0\) dan \(β_1^*=β_1\).
#Mencari Penduga Koefisien Regresi setelah Transformasi ke Persamaan Awal
b0bintang <- modelCOmanual$coefficients[-2]
b0 <- b0bintang/(1-rho)
b1 <- modelCOmanual$coefficients[-1]
b0## (Intercept) x2.trans x3.trans x4.trans
## 10.1473257 1.5310121 -0.2337204 -0.1561872
## x1.trans x2.trans x3.trans x4.trans
## 0.47775775 0.56453329 -0.08618020 -0.05759123
Hasil perhitungan koefisien regresi tersebut akan menghasilkan hasil yang sama dengan model yang dihasilkan menggunakan packages.
Metode Hildreth-Lu
Penanganan kedua adalah menggunakan metode Hildreth-Lu. Metode ini
akan mencari nilai SSE terkecil dan dapat dicari secara manual maupun
menggunakan packages. Jika menggunakan packages, gunakan
library packages HORM.
#Penanganan Autokorelasi Hildreth lu
# Hildreth-Lu
hildreth.lu.func<- function(r, model){
x1 <- model.matrix(model)[,2]
x2 <- model.matrix(model)[,3]
x3 <- model.matrix(model)[,4]
x4 <- model.matrix(model)[,5]
y <- model.response(model.frame(model))
n <- length(y)
t <- 2:n
y <- y[t]-r*y[t-1]
x1 <- x1[t]-r*x1[t-1]
x2 <- x2[t]-r*x2[t-1]
x3 <- x3[t]-r*x3[t-1]
x4 <- x4[t]-r*x4[t-1]
return(lm(y~x1+x2+x3+x4))
}
#Pencariab rho yang meminimumkan SSE
r <- c(seq(0.1,0.9, by= 0.1))
tab <- data.frame("rho" = r, "SSE" = sapply(r, function(i){deviance(hildreth.lu.func(i, model))}))
round(tab, 4)## rho SSE
## 1 0.1 90341.01
## 2 0.2 83717.37
## 3 0.3 78330.97
## 4 0.4 74150.66
## 5 0.5 71257.69
## 6 0.6 69853.34
## 7 0.7 70221.24
## 8 0.8 72654.65
## 9 0.9 77384.21
Pertama-tama akan dicari di mana kira-kira \(ρ\) yang menghasilkan SSE minimum. Pada hasil di atas terlihat \(ρ\) minimum ketika 0.6. Namun, hasil tersebut masih kurang teliti sehingga akan dicari kembali \(ρ\) yang lebih optimum dengan ketelitian yang lebih. Jika sebelumnya jarak antar \(ρ\) yang dicari adalah 0.1, kali ini jarak antar \(ρ\) adalah 0.001 dan dilakukan pada selang 0.4 sampai dengan 0.5.
#Rho optimal di sekitar 0.4
rOpt <- seq(0.4,0.5, by= 0.001)
tabOpt <- data.frame("rho" = rOpt, "SSE" = sapply(rOpt, function(i){deviance(hildreth.lu.func(i, model))}))
head(tabOpt[order(tabOpt$SSE),])## rho SSE
## 101 0.500 71257.69
## 100 0.499 71279.67
## 99 0.498 71301.80
## 98 0.497 71324.08
## 97 0.496 71346.51
## 96 0.495 71369.09
#Grafik SSE optimum
par(mfrow = c(1,1))
plot(tab$SSE ~ tab$rho , type = "l", xlab = "Rho", ylab = "SSE")
abline(v = tabOpt[tabOpt$SSE==min(tabOpt$SSE),"rho"], lty = 2, col="red",lwd=2)
text(x=0.500, y=71257.69 , labels = "rho=0.500", cex = 0.8)Perhitungan yang dilakukan aplikasi R menunjukkan bahwa
nilai \(ρ\) optimum, yaitu saat SSE
terkecil terdapat pada nilai \(ρ=0.500\). Hal tersebut juga ditunjukkan
pada plot. Selanjutnya, model dapat didapatkan dengan mengevaluasi nilai
\(ρ\) ke dalam fungsi
hildreth.lu.func, serta dilanjutkan dengan pengujian
autokorelasi dengan uji Durbin-Watson. Namun, setelah pengecekan
tersebut tidak lupa koefisien regresi tersebut digunakan untuk
transformasi balik. Persamaan hasil transformasi itulah yang menjadi
persamaan sesungguhnya.
##
## Call:
## lm(formula = y ~ x1 + x2 + x3 + x4)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -53.517 -22.325 -3.658 15.815 99.520
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 17.67857 11.24554 1.572 0.1209
## x1 0.47628 0.18522 2.571 0.0125 *
## x2 0.01142 0.22957 0.050 0.9605
## x3 0.08331 0.22653 0.368 0.7143
## x4 -0.03437 0.01989 -1.728 0.0888 .
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 33.37 on 64 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.1451, Adjusted R-squared: 0.0917
## F-statistic: 2.716 on 4 and 64 DF, p-value: 0.03736
## y = 35.35713+0.4762813x
Setelah dilakukan tranformasi balik, didapatkan model dengan metode Hildreth-Lu sebagai berikut. \[y_i=17.67857+0.47628x_1+0.01142x_2+0.08331x_3--0.03437x_4\]
##
## Durbin-Watson test
##
## data: modelHL
## DW = 1.4925, p-value = 0.01578
## alternative hypothesis: true autocorrelation is greater than 0
Hasil uji Durbin-Watson juga menunjukkan bawah nilai DW sebesar \(1.4925\) berada pada selang daerah tidak ada autokorelasi, yaitu pada rentang DU < DW < 4-DU. Hal tersebut juga didukung oleh p-value sebesar \(0.01578\), di mana p-value > \(\alpha\)=5%. Artinya tak tolak \(H_0\) atau belum cukup bukti menyatakan bahwa ada autokorelasi dalam data penjualan obat dengan metode Hildreth-Lu pada taraf nyata 5%.
Terakhir, akan dibandingkan nilai SSE dari ketiga metode (metode awal, metode Cochrane-Orcutt, dan Hildreth-Lu).
#Perbandingan
sseModelawal <- anova(model)$`Sum Sq`[-c(1,2,3,4)]
sseModelCO <- anova(modelCOmanual)$`Sum Sq`[-c(1,2,3,4)]
sseModelHL <- anova(modelHL)$`Sum Sq`[-c(1,2,3,4)]
mseModelawal <- sseModelawal/length(y)
mseModelCO <- sseModelCO/length(y)
mseModelHL <- sseModelHL/length(y)
akurasi <- matrix(c(sseModelawal,sseModelCO,sseModelHL,
mseModelawal,mseModelCO,mseModelHL),nrow=2,ncol=3,byrow = T)
colnames(akurasi) <- c("Model_Awal", "Model_Cochrane-Orcutt", "Model_Hildreth-Lu")
row.names(akurasi) <- c("SSE","MSE")
akurasi## Model_Awal Model_Cochrane-Orcutt Model_Hildreth-Lu
## SSE 98760.831 20334.5928 71257.686
## MSE 1410.869 290.4942 1017.967
Hasil penanganan autokorelasi dengan metode Cochrane-Orcutt dan
Hildreth-Lu imemiliki nilai SSE sebesar \(20334.5928\) dan \(71257.686\). Jauh lebih rendah dibandingkan
model awal dengan SSE sebesar \(98760.831\). Hal ini menunjukkan bahwa
model setelah penanganan lebih baik dibandingkan model awal ketika
autokorelasi masih terjadi.
Simpulan
Autokorelasi dapat dideteksi secara eksploratif melalui plot sisaan, ACF, dan PACF, serta dengan uji formal Durbin-Watson. Namun, autokorelasi tersebut dapat ditangani dengan metode Cochrane-Orcutt dan Hildreth-Lu. Kedua metode menghasilkan nilai SSE yang lebih kecil dibandingkan model awal, artinya keduanya baik untuk digunakan. Akan tetapi, masing-masing metode menghasilkan nilai SSE yang berbeda, metode Cochrane-Orcutt menghasilkan nilai SSE yang lebih kecil dibandingkan metode Hildreth-Lu. Karena itu, metode Cochrane-Orcutt lebih baik digunakan dalam menangani kasus autokorelasi pada model ini.